Pada tanggal 15 Agustus 1945 pasca penjatuhan bom atom yang sangat dahsyat diHiroshima dan Nagasaki yang meratakan ke dua kota industri Jepang itu dengan tanah, Maha Kaisar Hirohito (Tenno Heika) telah memutuskan Jepang menyerah kalah.
Suara Tenno Heika berkumandang di medan perang Asia dan Samudra Pasifik, dan oleh karena Tenno Heika adalah pemegang kekuasaan absolut di Jepang yang dipercaya sebagai Anak Matahari, maka balatentara Jepang tunduk kepada perintah penyerahan tanpa syarat tersebut.
Kendati penguasa perang di Jakarta melarang Kantor Berita Domei menyiarkan berita penyerahan tersebut, bahwa banyak warga Jakarta terutama para Pemuda Revolusioner telah mendengar desas-desus tentang peristiwa sangat penting tersebut, malah beberapa hari sebelumnya.
Suatu malam di pertengahan Agustus 1945. Sekelompok 11 pemuda mendatangi kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bung Karno, yang sudah mengetahui kedatangan utusan pemuda ini, segera menemui mereka di beranda rumah.
” Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”
Pemuda asal Sumedang, Jawa Barat, itu melangkah dengan sebilah pisau terjulur di tangannya. “Revolusi di tangan kami sekarang dan kami memerintah Bung. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, maka…”
“Maka apa?” teriak Bung Karno yang bangkit dari kursinya. “”Ini batang leherku,” katanya setengah berteriak sambil mendekati Wikana. “Seret saya ke pojok itu dan potong malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!” kata Bung Karno dengan setengah berteriak.
Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu?”
Namun, para pemuda terus mendesak; “ apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya‘!”. “ Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa?”.
Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan?Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri“.Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.