Mohon tunggu...
Pak Cilik
Pak Cilik Mohon Tunggu... Pegiat Teknologi Informasi -

berpikir, berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pak Jokowi Tidak Blusukan ke Teluk Jakarta?

15 September 2016   06:07 Diperbarui: 15 September 2016   16:14 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat, dan teluk."

Di atas adalah penggalan pidato bersejarah Bapak Jokowi ketika dilantik menjadi orang nomor satu di Indonesia.

 "Sehingga jalesveva jayamahe, di laut kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu kembali membahana," lanjutnya.

Diiringi tepuk tangan riuh, harapan dan suka cita.

Terbayanglah. Bagaimana seluruh Nusantara tersambung oleh kapal-kapal raksasa 'tol laut'. Singgah pada pelabuhan-pelabuhan laut dalam. Yang kapalnya bersih, produk lokal tapi kualitasnya internasional. Yang membawa sapi. Yang membawa semen dan beras ke ujung Papua. Yang membawa buah merah ke Merauke. Dikawal oleh angkatan laut yang perkasa. Yang bisa menjaga ikan dan menenggelamkan para pencuri.

***

Beberapa tahun kemudian, pada suatu sore di bulan September tahun 2016. Menjelang malam. Bapak Luhut selaku 'menteri utama' negara ini, menyatakan bahwa reklamasi Teluk Jakarta akan segera dilanjutkan dengan cara saksama dan dalam tempo yang tidak lama lagi. Karena sudah 'dikaji', walaupun belum jelas kajian itu diselenggarakan kapan dan di mana, dan menghadirkan ustadz siapa.

Soalan itu memang tidak terlalu mengejutkan, sebab publik sudah bisa menduga. Dan sudah semakin pintar menduga. Ahai. Paling-paling ada pro dan ada kontra.

Hal itu biasa saja dan masing-masing sudah punya alasan.

Bagi yang menolak, terutama ya karena lingkungan hidup. Sudah pernah dilakukan kajian beberapa tahun silam dan hasilnya: JANGAN. Itu sudah cukup sebenarnya, karena kajian itu dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup yang dipenuhi oleh para ahli.

Bisa saja studi seperti itu diulang dengan cara seksama dan dalam tempo yang tidak terburu-buru, tapi bisa-bisa hasilnya malah: JANGAN BANGED. Duh.

Sementara itu, yang setuju, memiliki seribu lima belas alasan atau lebih.

Misalnya soal ekonomi. Bahwasanya Kota Jakarta itu sudah terlalu padat dan membutuhkan lahan baru untuk menampung manusia-manusianya. Baik yang sudah ada maupun yang akan datang. Maklum, menurut mitos, di Ibu Kota uang gampang dicari. Maka pada berbondong-bondong kemari. Dari kampung dan kota lain, dari seluruh Indonesia bahkan dari negeri-negeri jauh di sana.

Mau dibangun lagi ke arah belakang, kiri, kanan, sudah mentok provinsi tetangga, lain partai pula. Mau di bangun di dalam Jakarta tanah mahalnya selangit. Mau tidak mau ke arah laut, yang belum pernah dibikin sertifikat sama siapapun. Lagipula daerah dekat air adalah daerah kaki naga, konon di situ cocok untuk usaha. Selain itu juga dekat dengan pelabuhan jadi mudah mencari barang-barang. Selain itu orang juga pada ke sana untuk mencari barang-barang.

Soal lingkungan yang mungkin rusak, itu bisa ditepis bahwa Teluk Jakarta dari dulu memang sudah rusak. Jangan-jangan malah Tuhan menciptakan Teluk Jakarta sudah dalam keadaan rusak. Di Teluk Jakarta sudah tidak ada ikan lagi, katanya. Buktinya tidak ada orang memancing di Ancol. Tidak ada nelayannya. Nelayan akhirnya membuat pembuktian terbalik di mana mereka membawa ikan-ikan. Tapi dibantah bahwa ikan-ikan itu terlalu kecil. Jangan-jangan bukan diambil dari Teluk Jakarta. Kan Teluk Jakarta belum dipasangi CCTV. 

No pic = hoax. Here is the fish, they said. But the fish is not the pic.

Juga karena pulau sudah terlanjur dibangun, kena tanggung. Dana yang dikucurkan sudah teramat besar. Agar investor tidak lari. Kasihan investor. Bagaimanapun investor juga manusia biasa seperti kita, memiliki anak dan bini. Kalau investor lari, tidak ada yang membantu membangun Jakarta lagi. Kan belakangan Jakarta semakin dibangun oleh investor. Mau bukti? Tuh, simpang susun Semanggi.

Kalau investor bangkrut, siapa yang bertanggung jawab pada pendidikan anak-anaknya? Apa bus sekolah yang ada sudah cukup untuk mengantar anak-anak yang sekolahnya berlain-lainan? Apa nunggunya tidak kelamaan?

Ada kabar bahwa soal reklamasi ini adalah 'warisan rezim sebelumnya"' Jadi supaya mikul dhuwur mendem jero, daripada apa-apa yang sudah diwarisken itu hendaklah dilanjutken. Paling tidak bila ada yang menyalahken, bisa semangkin melihat ke belakang pada Keppres yang sudah diterbitken pada masa Eyang. Semua gara-gara Eyang kan.

Hasil urugan itu cukup dekat dengan 'Monas', yang berarti harganya bisa diperhitungkan. Bisa diadu misalnya dengan membuat hunian di Cibubur. Cibubur tuh jauh sekali dari Sudirman, Thamrin. Cibubur Timur lebih jauh lagi, apalagi kalau orang katakan Timur Cibubur. Ujung dunia itu. Orang-orang Cibubur nanti naik mobil pribadi yang membuat macet di sekitar Cibubur. Sedang kalau di pantura Jakarta, orang-orangnya juga naik mobil, yang membuat macet. Tapi macetnya di Jakarta Utara, bukan di Cibubur. Beda, kan?

Mengurug laut juga semacam program transmigrasi. Bedanya kalau transmigrasi yang dipindahkan orangnya. Kalau reklamasi, yang dipindahkan 'pulau'nya. Dari suatu pulau ke lautan supaya membentuk pulau baru. Baru terakhir orangnya, he he. Pulau lama bisa saja hilang, tapi kan dapat pulau baru yang lebih dekat dan strategis. Ingat 3L, lokasi, lokasi dan lokasi. Senin harga pun naik. 

Supaya tidak menghilangkan pulau, pasirnya bisa diambil dari lereng Merapi. Tapi itu kejauhan. Jangan khawatir, negara kita memiliki 13777 pulau atau lebih. Stok banyak kok.

Mengurug laut juga mengurangi pencuri ikan. Sebab pulau-pulau itu kan dijaga satpam. Dijamin pencuri ikan lebih segan untuk mencuri ikan baik tepat di atas pulau reklamasi itu maupun perairan di sekitarnya. Terlebih lagi kalau ikannya sudah berkurang atau tidak ada. Pencurinya mending jadi maling radio.

Mengenai nelayan, itu akan dipindahkan ke rumah susun. Dulu keberadaan nelayan sempat diragukan. Tapi belakangan jumlahnya sudah disepakati menjadi lebih kurang sekitar 12.000 jiwa. Di rusun, nanti nelayan bisa menjemur baju di balkon lantai 10 sambil mengawasi dari ketinggian, apakah perahu dan jaringnya masih ada di tempatnya atau tidak. Apakah ikan yang dijemur dikerubung lalat atau diintai kucing. Juga bisa melihat jauh ke arah laut barangkali ada tanda-tanda ikan hidup yang mulai berseliweran. 

Bila pulang melaut, bisa naik lift sambil menenteng ikan. Yang penting tidak membawa jala, apalagi cantrang. Cantrang sudah resmi dilarang.

Tapi jangan suudhzon begitu. Rusun-rusun nelayan itu kan masih direncanakan. Kok berimajinasi terlalu jauh. Baru direncanakan, kok sudah diragukan. Apatis sekali. Lebih baik berdoa agar rusun-rusun itu segera menjadi kenyataan. Dan agar supaya air di rusun itu tidak mati-mati dan warga harus membeli air dari drum yang harganya naik pada Hari Senin.

Lihatlah yang konkret-konkret saja. Tahukah kau, artinya konkret itu?

***

"Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat, dan teluk."

Dalam hitungan bulan dan hari saja setelah pidato bersejarah itu, renungkanlah kembali.

Sepertinya hari ini kita sudah tak lagi memunggungi lautan. Sudah balik badan untuk menatap Dewi Laut. Pantai, matahari yang semakin terik, burung-burung yang terbang menjauh. Tiang-tiang kapal yang merapuh. Air kehitaman dengan bungkus-bungkus mie instan, timbul tenggelam. Ikan-ikan kurus di balik botol-botol plastik, mengapung.

Bukankah tidak ada penjelasan, apakan menatap pantai itu untuk berjongkok dan menanam kembali benih-benih mangrove. Menegakkan lagi pohon-pohon kelapa supaya ada melambai-lambai nyiur di pantai. Seperti di lagu itu. Melepas kembali burung-burung yang dibeli dari pedagang pasar tadi pagi.

Atau menatap lautan itu dengan yang konkret-konkret saja.

Yaitu konkret (concrete) yang dibuat dari pasir dicampur semen alias beton.

Bukankah lautnya ada, dananya ada, pasir banyak. Tinggal mau mengurug atau tidak. Itu saja. (PCL)

Referensi:

Sumber 1, liputan6.com
Sumber 2, jpnn.com
Sumber 3, kompas.com
Sumber 4, tempo.co

(PCL September 2016)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun