Mohon tunggu...
Pak Cilik
Pak Cilik Mohon Tunggu... Pegiat Teknologi Informasi -

berpikir, berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Diamnya Megawati Kali Ini adalah Galau

20 Agustus 2016   00:02 Diperbarui: 20 Agustus 2016   02:01 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu banyak yang meragukan gaya diamnya Megawati. Padahal pepatah mengatakan diam itu emas. Sementara sulit juga membedakan diamnya orang bijak dan diamnya orang yang tidak paham. Lambat laun, dengan lengan terkepal dan suaranya serak-serak parau: "Merdeka!", Megawati membuktikan bahwa kekuatan konsistensi (dan sejumlah keberuntungan) telah mengantarkannya untuk tetap di antara orang-orang paling penting di negara ini.

Termasuk menjadi orang paling dinantikan keputusannya pada babak penyisihan Pilkada DKI Jakarta. Adalah karena partainya itu, menyimpan kandidat yang sangat mungkin mengalahkan Ahok yaitu Risma, walikota Surabaya.

Andaikata Bu Mega bukan cendekiawan, juga kader PDIP tidak didominasi oleh para intelektual, mengapa belakangan partai itu pun berhasil, kader-kadernya cukup berhasil (Ganjar, Risma) dan bahkan sangat berhasil (jadi presiden - Joko Widodo). 

Satu-satunya penjelasan yang masuk akal selain keberuntungan adalah  ideologi. Kita tidak harus mengatakan bahwa Mega dan kelompoknya itu teguh memegang ideologi.  Tetapi bahwa pilihan ideologi PDIP (kerakyatan, pro wong cilik) terbukti ampuh dan menjadi trending topic di jaman ini.

Bagaimanapun secara alamiah manusia Indonesia bersifat kerakyatan. Terbukti cerita-cerita masa kini pun didominasi oleh manusia-manusia menderita yang akhirnya memperoleh keadilan seperti "Putri yang Tertukar", "Pembantu yang akhirnya dinikahi Tuannya", "Tukang ojek yang ternyata Lebih Ganteng" dan lain-lain. Masyarakat yang sangat sosial pada dasarnya menyukai solidaritas yang maksimal pada sesamanya.

Betapa air matamu tak leleh bila melihat pejabat yang turun dari sepedanya lalu menyapa Mbok Jamu yang sedang istirah di bawah pohon untuk sekedar bertanya bagaimana kabar anaknya yang katanya diterima kuliah di kota. Betapa kamu tak haru bila duduk di kereta api dan kamu sadar di sebelahmu seorang menteri membaca koran pagi dan minum kopi dan kali-kali kamu bisa selfie.

Marhaenisme adalah salah satu gagasan terbaik dari Soekarno. Ia adalah suatu solusi orisinil atas kebutuhan akan ideologi yang cocok bagi situasi sosial masyarakat Indonesia. Komunisme pada masa itu kelihatannya terlalu ekstrim dan kapitalisme terlalu kebarat-baratan. Marhaenisme diambil dari seorang petani atau PKL yang dijumpai Soekarno bernama "Marhaen". Dia memiliki gerobak sendiri sehingga bukan buruh. Dia tidak mempekerjakan orang lain jadi dia bukan kapitalis. Ia adalah wong cilik yang tidak mengecilkan orang lain. Ia adalah orang kecil yang jiwanya besar. Di luar rumit-rumitnya konsepsi itu, kasarannya marhaenisme ialah"merakyat", "pro wong cilik", "blusukan" dan sejenisnya.

Ok lah, ideologi hanyalah buku utama yang bisa dipolitisir saja selama manusia memiliki darah dan merindukan daging. Namun Megawati dan PDIP sebagai benda politik, suka tidak suka, tetap terkurung atau terbatasi oleh gagasan yang dia agung-agungkan sendiri. Keluar dari ideologi kira kira setara dengan murtad. Kemurtadan yang bisa jadi tidak ditakutkan tetapi fenomena itu sendiri bisa menghancurkan imaji-imaji atau struktur mental yang sudah terbentuk. Lalu  sebuah benda politik menjadi perlahan pudar dan menemui senjakalanya.

Di sinilah saya menduga, diamnya Bu Mega sampai titik-titik terakhir pada Pilkada DKI Jakarta adalah sebuah kegalauan. Mungkin Megawati memiliki ketertarikan personal (bukan asmara lho) terhadap Ahok, ketika Ahok menempatkan diri sebagai seseorang yang cukup menghormatinya. Mengecualikan ibunda dari sumpah serapah yang mendarah daging. Akan tetapi Ahok, si pribadi yang mencoba penurut semaksimal mungkin di depan Megawati itu adalah makhluk politik yang tidak ada marhaen-marhaennya babar blas.

Kelihatannya Ahok menganut filosofi pengorbanan. Untuk mencapai kesuksesan harus berkorban, termasuk bila orang lain yang ternyata berkorban. Demi DKI yang tertata rapi, digusurnya orang-orang kecil tanpa silsilah tanpa ragu. Didiktenyalah bahwa tinggal di rumah susun adalah yang terbaik meskipun seorang nelayan harus naik busway supaya bisa menemui ikannya. Diberinya orang-orang miskin itu, kesejahteraan menurut gue. Dijadikannya mereka loe. Diusirlah mereka dari tanah, dari air atau dari tanah bercampur air yang bukan punya moyang loe. Diurugnya pantai itu dengan mengusir ikan-ikan kecil dan orang orang kecil. Pergi lue. Nenek moyang loe tidak punya ikan lagi. Dar, der, dor itu bunyinya. Petasan-petasan gue.

Dia menempatkan dirinya sebagai CEO dan mungkin seluruh warga adalah karyawan, atau lebih rendah dari itu. Suatu relasi yang tidak dikehendaki dunia permarhaenan. Dimana CEO seharusnya takut dengan pemegang saham yaitu rakyat.

Ahok adalah goal oriented person (berorientasi tujuan). Walaupun tujuannya adalah menyejahterakan masyarakat dari berbagai lapisan dan diri sendiri karena diri sendiri pun bagian dari masyarakat. Walaupun terlepas dari apapun tujuannya. Tetapi keengganan untuk duduk bersama dengan orang-orang tergusur jelas bukan jiwa seorang marhaen. Marhaenisme dengan sendirinya adalah process oriented (berorientasi proses). Marhaen sang PKL adalah untuk didengarkan dan dihargai eksistensinya walaupun agak merana. Bukan malah dipindahkan ke suatu rusun higienis dan  sistematis (mbayarnya pun sistematis) dan lain lain yang membuatnya malah kehilangan jatidiri kalau bukan matapencahariannya.

Menerima pinangan Ahok bagi PDIP dan marhaenismenya ibarat kawin paksa, Megawati sebagai penghulunya. 

Lima tahun berikutnya, Megawati dan PDIP akan dipaksa menyanyikan lagu-lagu sumbang untuk menenangkan rakyat kecil yang akan sejahtera "satu saat nanti" (sekarang digusur dulu). Kampung yang diratakan dengan rumput hijau yang bisa membersihkan udara dan orang miskin sekaligus. Pantai-pantai yang tertata dan terlihat rapi (bagi yang sanggup ke sana), gaji lurah yang melangit supaya terlanjur kaya, dan sejenisnya.

Dan itu dari Jakarta. Jantungnya negeri ini. Ada orang potong kumis masuk berita. Coba kamu potong kumis paspampres. Jakarta adalah episentrum yang sedikit banyak mempengaruhi kejadian lainnya.  Pada buku sejarah. Sejarah yang selama ini masih  berpihak pada Megawati, dan kerakyatannya, dan teriakan merdekanya itu.

Terakhir, dengarlah petuah orang dahulu,

"Wong pinter kalah karo wong beja" (Orang pintar dikalahkan orang yang beruntung)

"Wong bener kalah karo wong kebeneran" (Orang betul dikalahkan orang yang kebetulan)

Dan saya tambahkan: Wong cilik harus tetap berjuang. Ramai-ramai maupun sendirian. Merdeka!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun