Ahok adalah goal oriented person (berorientasi tujuan). Walaupun tujuannya adalah menyejahterakan masyarakat dari berbagai lapisan dan diri sendiri karena diri sendiri pun bagian dari masyarakat. Walaupun terlepas dari apapun tujuannya. Tetapi keengganan untuk duduk bersama dengan orang-orang tergusur jelas bukan jiwa seorang marhaen. Marhaenisme dengan sendirinya adalah process oriented (berorientasi proses). Marhaen sang PKL adalah untuk didengarkan dan dihargai eksistensinya walaupun agak merana. Bukan malah dipindahkan ke suatu rusun higienis dan  sistematis (mbayarnya pun sistematis) dan lain lain yang membuatnya malah kehilangan jatidiri kalau bukan matapencahariannya.
Menerima pinangan Ahok bagi PDIP dan marhaenismenya ibarat kawin paksa, Megawati sebagai penghulunya.Â
Lima tahun berikutnya, Megawati dan PDIP akan dipaksa menyanyikan lagu-lagu sumbang untuk menenangkan rakyat kecil yang akan sejahtera "satu saat nanti" (sekarang digusur dulu). Kampung yang diratakan dengan rumput hijau yang bisa membersihkan udara dan orang miskin sekaligus. Pantai-pantai yang tertata dan terlihat rapi (bagi yang sanggup ke sana), gaji lurah yang melangit supaya terlanjur kaya, dan sejenisnya.
Dan itu dari Jakarta. Jantungnya negeri ini. Ada orang potong kumis masuk berita. Coba kamu potong kumis paspampres. Jakarta adalah episentrum yang sedikit banyak mempengaruhi kejadian lainnya.  Pada buku sejarah. Sejarah yang selama ini masih  berpihak pada Megawati, dan kerakyatannya, dan teriakan merdekanya itu.
Terakhir, dengarlah petuah orang dahulu,
"Wong pinter kalah karo wong beja" (Orang pintar dikalahkan orang yang beruntung)
"Wong bener kalah karo wong kebeneran" (Orang betul dikalahkan orang yang kebetulan)
Dan saya tambahkan: Wong cilik harus tetap berjuang. Ramai-ramai maupun sendirian. Merdeka!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H