Bukan karena pamornya saja benda itu merah. Panas dan membara ketika lelaki muda mencabutnya dari perapian.
Diangkatnya setinggi wajah. “Hari ini seharusnya sudah milikku” katanya.
Di depannya, lelaki tua tersenyum. Berhenti menggosok sebuah bakal warangka, ia menatap sebilah benda merah di antara dua mata pemesannya.
“Arok, kesempurnaan membutuhkan waktu, ” katanya.
Jengkrik malam masih bersahutan. Angin dingin menembus sela-sela anyaman dinding bambu. Tetapi bilik itu dihangatkan hawa logam yang membara.
“Gandring, engkau tidak menepati janji. ” kata si pemuda.
Ditatapnya mata pemuda itu. Ada kelancangan. Ada keberanian. Ada prajurit yang berbaris menabuh genderang. Ada kapal-kapal, rumah-rumah yang terbakar. Ada asap.
Asap juga mendesis di dadanya sendiri. Ngilu, amat ngilu di ulu hati, merayap ke arah punggung, menjadi dingin. Semakin dingin, menyebar ke penjuru tubuh. Arok telah menyatukan sebilah logam itu dengan dada Gandring.
“Bayar!” Dalam sekarat ia membentak.
“Yang ingkar janji tidak dibayar, ” jawab Arok.
Giginya gemeretak. Tubuhnya masih berdiri karena disangga keris. Tetapi dari bibirnya masih keluar suara.