Mohon tunggu...
Pak Cilik
Pak Cilik Mohon Tunggu... Pegiat Teknologi Informasi -

berpikir, berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tuhan Tidur di Saku Pak Boediono

26 Januari 2010   02:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:16 1473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara teknis para ekonom sepakat bahwa bank Century kala itu, amat tidak sistemik. Tapi tidak perlu menjadi seorang ekonom untuk menentukan apakah Bank Century sistemik atau tidak sistemik. Sebab Pak Boediono, sang profesor, punya alasan lain untuk mengatakan bahwa bank Century sistemik, yang sulit dibantah yaitu: psikologis.

Siapakah yang dapat menjamin masyarakat tidak panik bila bank Century dilikuidasi? Berhubung tidak ada yang menjamin, termasuk para psikolog, kiranya Tuhan saja yang dapat menjamin. Sayangnya Tuhan tidak gemar berkomunikasi langsung dengan para pengambil kebijakan. Jadinya soal jamin-menjamin ini tetaplah misterius.

Bahkan untuk menjamin apakah Pak Esbeye yang bershio kerbau akan langgeng pada tahun macan logam ini, saya rasa tidak ada orang yang bersedia. Pertama tama karena tidak banyak orang yang berprofesi paranormal, kedua karena paranormal pun tidak memiliki akurasi 100%, ketiga karena urusan jamin-menjamin tersebut tidak ada manfaatnya. Lebih baik orang memikirkan jaminan sosialnya sendiri-sendiri.

Baiklah kita tidak tahu rahasia jamin-menjamin itu, tapi bolehlah kita ikut bicara psikologi, sebab katanya setiap orang adalah psikolog amatir. Dan karena psikolog amatir adalah psikolog, setiap orang adalah psikolog.

Ada anekdot untuk saya ceritakan di sini.

Di suatu hari yang cerah di sorga, apabila Adam dan Hawa masih boleh bercengkarama di bawah pohon-pohon terlarang, terdengar langkah-langkah Tuhan mengetuk bergema, sebelum Ia bicara,

Tuhan : "Adam ..." Adam : "Hamba, Tuhanku". Tuhan : "Hari ini aku akan memberimu satu kabar gembira, dan satu kabar buruk". Adam : "Mohon katakan itu, Tuhanku. Tak sabar aku mendengarnya" Tuhan : “Kabar gembiranya, Aku akan memberimu dua buah organ tubuh." Adam : "Tak kuasa aku tampik kemurahan Mu, o, Tuhan. Apakah yang dua itu?” Tuhan : "Yang pertama adalah otak. Dengan otak engkau akan bisa berpikir. Engkau bisa mengingat, engkau bisa belajar, engkau bisa menimbang, mengambil kesimpulan dan memecahkan masalah" Adam : "Terimakasih, Tuhanku" Tuhan : "Yang kedua yaitu penis. Dengan itu engkau bisa bersenang-senang dengan Hawa dan memperoleh keturunan." Adam : "Dua anugerah yang luar biasa, Tuhanku. Lalu apakah kabar buruk itu?” Tuhan : "Kabar buruknya adalah, dua organ itu tidak bisa kamu gunakan pada saat bersamaan."

Kalau anda sudah berhenti tertawa, atau sudah cukup menyesalkan kelancangan anekdot di atas, marilah kita lanjutkan.

Kiranya hikmah dari cerita tersebut adalah, bahwa rasionalitas dan syahwat tidaklah rukun: syahwat mengancam rasionalitas. Untuk memperkuat cerita tersebut, sebenarnya ada hadits yang mengatakan "Apabila dzakar berdiri, pikiran tinggal sepertiga". Soal kesahihannya, tanyakan pada ahli hadits, sebab saya cuma tukang cerita. Tapi makin jelaslah bagaimana tidak rukunnya dua organ itu.

Satu hal yang belum disebut Tuhan dalam cerita itu yakni akal manusia, selain dapat melakukan pertimbangan (rasio), juga dapat melakukan yang akan sering ia lakukan yaitu: rasionalisasi. Bukan dalam pengertian para ekonom, dimana rasionalisasi adalah pengurangan karyawan untuk menyehatkan korporasi.

Tapi rasionalisasi dalam arti mencari alasan, atau merasional-rasionalkan.

Sebagaimana kita terbiasa, alasan adalah sesuatu yang penting. Kita sudah belajar mencari alasan semenjak dini, ketika sebagai makhluk kecil kita sering dipersalahkan. Yang semakin berkembang seiring sekolah yang mengajarkan anak-anak logika. Lalu karena guru-guru, atasan, istri atau suami hanya menerima penjelasan logis atas kelemahan dan kesalahan kita.

Soal mencari-cari alasan ini, ternyata juga istilah dalam ilmu psikologi. Inilah yang saya baca di diktat “Dasar-dasar Ilmu Kedjiwaan” milik paman saya yang kuliah di psikologi dan sekarang jadi guru konseling di sebuah SMA.

Diri kita memiliki mekanisme-mekanisme pertahanan diri. Tanpa mekanisme pertahanan diri tersebut, niscaya bangunan psikologis diri kita akan runtuh. Mekanisme pertahanan banyak jenisnya, dan rasionalisasi adalah salah satunya.

Misal ketika anda gagal dalam ujian, anda akan menjelaskan kepada diri anda, bahwa itu karena anda sedang tidak sehat. Memang betul bahwa saat tersebut anda tidak sehat.

Tetapi coba ingat kembali, apakah benar anda duduk memperhatikan pada saat pelajaran? Apakah sebelum ujian yang gagal tersebut, anda sudah belajar dengan cukup? Apakah anda sakit karena banyak baca buku atau karena kebanyakan nonton bola?

Terlepas dari jawabannya, anda tetap dapat membuat penjelasan bahwa sakitlah yang menyebabkan kegagalan anda. Ini disebut rasionalisasi.

Bahwa satu hal dapat diakibatkan oleh banyak faktor, atau dijelaskan dengan berbagai cara, itulah yang memungkinkan rasionalisasi.

Saya yakin rasionalisasi sering digunakan secara luas, lebih luas dari yang dijelaskan oleh buku kecil ilmu kedjiwaan tersebut. Yakni ketika kita membawa rasionalisasi ke alam komunikasi.

Suatu hari saya bertanya kepada Suster, mengapa setengah jam dari jadwalnya, Dokter belum juga datang. Jawab Suster, macet di jalan. Macet memang menyebabkan keterlambatan. Sebuah kebenaran rasional.

Tetapi di kota yang setiap saat dan tempat macet, seharusnya seseorang berangkat dengan memperhitungkan kemacetan tersebut. Jadi jawaban suster tersebut adalah rasionalisasi. Si Suster telah menggunakan rasionalisasi untuk menenangkan diri saya, menjaga reputasinya sebagai penjawab, dan membela citra dokter dan rumah sakit.

Penjelasan yang sesungguhnya mengapa Dokter terlambat, mungkin saja tidak diketahui oleh si Suster. Bisa jadi anak dokter sakit, mungkin saja dokter ketiduran, istri dokter lupa mencuci seragam dll. Yang jelas, sebuah argumen rasional telah digunakan oleh si suster untuk menutupi fakta yang sesungguhnya.

Demikian pula alam komunikasi politik dipengaruhi oleh medan-medan syahwat (baca: kepentingan) dimana kita dapat mempertanyakan rasionalitas dari argumen-argumen yang nampak. Misal, apakah benar BLT dikeluarkan untuk semata-mata membantu orang miskin. Ataukah "membantu orang miskin" hanyalah alasan untuk memperoleh penguatan popularitas, dengan mengorbankan anggaran pemerintah yang dibiayai hutang, dengan kata lain, hanyalah rasionalisasi?

Soal BLT di atas hanya sekedar ilustrasi, untuk memperdebatkannya, adalah di luar tulisan ini.

Kembali ke soal bank Century. Dapat dipastikan keputusan penyelamatan bank Century, sesuatu yang menyangkut uang triliun-triliunan, dipengaruhi oleh medan syahwat yang besar pula, siapapun orang-orang itu.

Saya yakin seorang 'liberal' yang terdidik seperti Pak Boediono, yang lebih percaya pada tangan Tuhan di pasar-pasar, dengan pertimbangannya yang jernih akan melihat bahwa fenomena kematian bank yang dirampok oleh pemiliknya, hanyalah sunnatullah yang sedang mengoreksi keadaan yang salah. Menyelamatkan bank tersebut adalah dosa. Sebaliknya untuk membiarkannya mati, lalu mengerahkan segala daya untuk menenangkan “psikologi masyarakat” agar menerima takdir tersebut adalah tugas suci.

Sama saja ketika pemerintah mencabut subsidi BBM, yang nyata-nyata akan mengonjang-ganjingkan psikis masyarakat, ternyata dilakukan juga, demi sehatnya tangan-tangan Tuhan itu. Sering tangan-tangan Tuhan itu harus dibiarkan, at any cost, dengan segala cara. Sayup kita ingat pemerintah berkata, “Ini adalah pil pahit demi sehatnya negeri di masa yang akan datang.”

Tetapi ketika Pak Boediono, mengatakan, "Secara psikologis Century sistemik, harus diselamatkan", ia sedang menentang tangan Tuhan. Mana pil pahit itu, Profesor. Mana?

Sehingga memang harus diragukan, apakah argumen tersebut lahir dari rasio pak Boediono, atau sekedar rasionalisasi saja, untuk membela syahwat-syahwat yang belum muncul namanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun