Sebagaimana kita terbiasa, alasan adalah sesuatu yang penting. Kita sudah belajar mencari alasan semenjak dini, ketika sebagai makhluk kecil kita sering dipersalahkan. Yang semakin berkembang seiring sekolah yang mengajarkan anak-anak logika. Lalu karena guru-guru, atasan, istri atau suami hanya menerima penjelasan logis atas kelemahan dan kesalahan kita.
Soal mencari-cari alasan ini, ternyata juga istilah dalam ilmu psikologi. Inilah yang saya baca di diktat “Dasar-dasar Ilmu Kedjiwaan” milik paman saya yang kuliah di psikologi dan sekarang jadi guru konseling di sebuah SMA.
Diri kita memiliki mekanisme-mekanisme pertahanan diri. Tanpa mekanisme pertahanan diri tersebut, niscaya bangunan psikologis diri kita akan runtuh. Mekanisme pertahanan banyak jenisnya, dan rasionalisasi adalah salah satunya.
Misal ketika anda gagal dalam ujian, anda akan menjelaskan kepada diri anda, bahwa itu karena anda sedang tidak sehat. Memang betul bahwa saat tersebut anda tidak sehat.
Tetapi coba ingat kembali, apakah benar anda duduk memperhatikan pada saat pelajaran? Apakah sebelum ujian yang gagal tersebut, anda sudah belajar dengan cukup? Apakah anda sakit karena banyak baca buku atau karena kebanyakan nonton bola?
Terlepas dari jawabannya, anda tetap dapat membuat penjelasan bahwa sakitlah yang menyebabkan kegagalan anda. Ini disebut rasionalisasi.
Bahwa satu hal dapat diakibatkan oleh banyak faktor, atau dijelaskan dengan berbagai cara, itulah yang memungkinkan rasionalisasi.
Saya yakin rasionalisasi sering digunakan secara luas, lebih luas dari yang dijelaskan oleh buku kecil ilmu kedjiwaan tersebut. Yakni ketika kita membawa rasionalisasi ke alam komunikasi.
Suatu hari saya bertanya kepada Suster, mengapa setengah jam dari jadwalnya, Dokter belum juga datang. Jawab Suster, macet di jalan. Macet memang menyebabkan keterlambatan. Sebuah kebenaran rasional.
Tetapi di kota yang setiap saat dan tempat macet, seharusnya seseorang berangkat dengan memperhitungkan kemacetan tersebut. Jadi jawaban suster tersebut adalah rasionalisasi. Si Suster telah menggunakan rasionalisasi untuk menenangkan diri saya, menjaga reputasinya sebagai penjawab, dan membela citra dokter dan rumah sakit.
Penjelasan yang sesungguhnya mengapa Dokter terlambat, mungkin saja tidak diketahui oleh si Suster. Bisa jadi anak dokter sakit, mungkin saja dokter ketiduran, istri dokter lupa mencuci seragam dll. Yang jelas, sebuah argumen rasional telah digunakan oleh si suster untuk menutupi fakta yang sesungguhnya.