Sebelumnya, saya ingin menyampaikan suatu "disclaimer", bahwa ini hanya merupakan tulisan lepas saja, sangat "opinion-based" dan bisa mengandung bias.
Saya bukan ahli sosiologi, bukan ahli gender, dan bukan ahli apapun. Saya hanya ingin menyalurkan kegeraman saya terhadap apa yang terjadi akhir-akhir ini tentang masalah foto-foto mahasiswi yang diburamkan oleh suatu pihak.
Kejadian pertama ditemukan saat kepengurusan BEM suatu universitas di Jakarta yang memburamkan foto-foto pengurus perempuan mereka.
Tentu bagi orang-orang yang memiliki pemikiran konservatif akan berpikir bahwa hal ini sah-sah saja ketika orang-orang tersebut "memilih untuk diburamkan foto-fotonya", walaupun pernyataan ini patut dipertanyakan kebenarannya.
Ketua BEM tersebut kemudian memberikan pernyataan klarifikasi seperti pernyataan di atas, bahwa foto-foto mahasiswi memang "atas pilihan" mereka dan akhirnya disetujui bahwa foto-foto mereka diturunkan "opacity"-nya.
Kasus tersebut terulang di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) salah satu universitas termuka di Yogyakarta. Foto-foto mahasiswi juga diburamkan. Rektor mereka pun menanggapi hal tersebut dan akan memberikan nasihat kepada UKM yang bersangkutan.
Pertanyaan-pertanyaan kemudian muncul dalam benak saya: benarkah pernyataan tersebut? Bahwa foto-foto yang dikaburkan tersebut memang atas dasar pilihan mereka masing-masing karena ideologi masing-masing?
Apakah justru terdapat kesepakatan internal yang memang merepresikan perempuan sehingga tidak bebas untuk mengekspresikan diri akibat pemikiran dan budaya patriarkis dan misoginis di dalam lingkungan kemahasiswaan tersebut?
Apabila memang dalih daripada pengaburan foto-foto tersebut disebabkan oleh beberapa mahasiswi (juga bisa mahasiswa) memiliki paham bahwa memang semestinya perempuan harus "dilindungi" dengan tindakan seperti itu, tentu akan terkesan sangat miris dan ironis.Â
Pasalnya, kampus justru mengampanyekan progresivitas dan kesetaraan gender, namun mahasiswanya justru melawan adanya kenyataan tersebut.
Ideologi itu didapat dari mana? Dogma-dogma yang diajarkan di dalam keluarga serta yang tersebar di media sosial, kemudian diterima secara bulat-bulat tanpa ada penyaringan melalui literasi, bisa saja memainkan peran yang besar dalam kasus ini.