Mohon tunggu...
Azeem Amedi
Azeem Amedi Mohon Tunggu... Freelancer - Blog Pribadi

Masih belajar, mohon dimaklumi. | S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran | F1 & Racing Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ironi Diskriminasi Gender di Lingkungan Progresif Pendidikan Tinggi

15 Februari 2020   20:26 Diperbarui: 16 Februari 2020   05:40 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dogma-dogma tersebut kemudian mengakibatkan tradisi patriarkis dan misoginis, laki-laki dianggap superior dan perempuan hanya sekedar "makhluk yang lemah" dan menjadi kalangan subordinat. Diskriminatif.

Perempuan dikekang agar sesuai dengan kehendak para lelaki. Hal ini menjadi "kanker" di lingkungan akademik yang seharusnya progresif.

Walaupun begitu, kesalahan juga tidak serta-merta terdapat pada lelaki yang merepresikan perempuan. Perempuan-perempuan yang ada dalam lingkungan akademik seharusnya dapat berpikir lebih progresif dan bisa menentang represi tersebut dan menuntut pemenuhan hak untuk disetarakan dengan laki-laki. 

Dogma-dogma yang ditularkan oleh keluarga, lingkaran sosial, dan media sosial pun berpengaruh besar pula pada pola pemahaman perempuan, bahwa mereka dipaksa untuk memahami peran perempuan yang pantas dikekang dan hanya sebagai subordinat dari lelaki.

Padahal, hal itu salah besar. Tidak ada stratifikasi berdasarkan jenis kelamin. Hanya paham misoginistik saja yang mengonstruksikan tingkatan berdasarkan gender tersebut.

Kampus memiliki pekerjaan rumah yang banyak dalam hal ini; yakni bagaimana mempromosikan progresivitas, menghapus kultur diskriminatif di kampus, dan membuat mahasiswa bebas berpikir dan berekspresi tanpa adanya kekangan dogmatis. 

Inilah tugas dari tingkat pemerintah pusat sampai tingkat perguruan tinggi, harus bisa adakan pembukaan wawasan dengan meningkatkan partisipasi mahasiswa terhadap diskusi publik, seminar, workshop, dll. yang serupa dan membahas topik-topik sosial humaniora seperti ini, tentang kesetaraan gender dan anti-diskriminasi. 

Forum-forum tersebutlah yang dapat memungkinkan terjadinya pertukaran pikiran, kemampuan berpikir kritis bisa muncul, sehingga mahasiswa dapat berpikir bebas tanpa belenggu oleh dogma.

Pembuatan pakta mungkin juga bisa diterapkan sebagai "janji" membebaskan segala kegiatan kemahasiswaan dari segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi gender.

Para pihak - yang termasuk di dalamnya adalah mahasiswa dan pihak kampus - tentunya harus memastikan bahwa pakta ini benar-benar dipegang secara penuh tanggung jawab.

Apabila ada yang melanggar berarti pihak kampus siap memberikan teguran, dan perlu digarisbawahi bahwa pihak kampus harus dapat bersikap progresif pula guna tercapainya lingkungan anti-diskriminasi di pendidikan tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun