Mohon tunggu...
Azeem Amedi
Azeem Amedi Mohon Tunggu... Freelancer - Blog Pribadi

Masih belajar, mohon dimaklumi. | S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran | F1 & Racing Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Keanggotaan DPR, Meritokrasi, dan Hak Asasi

15 Oktober 2019   15:36 Diperbarui: 15 Oktober 2019   16:07 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Indonesia kembali dibuat heboh dengan fenomena-fenomena anggota legislatif, yang sebenarnya tidak asing lagi, dengan adanya anggota-anggota yang sejatinya merupakan selebriti belaka dan anggota-anggota arogan. Nama Mulan Jameela dan Arteria Dahlan yang muncul ke permukaan, menggemparkan jagat media dan politik Indonesia karena ulah mereka. Mulan merupakan artis dan selebriti yang hanya tamatan SMA namun berhasil merangsek ke parlemen walaupun perolehan suaranya kalah dibandingkan dengan kandidat lain, sementara itu Arteria adalah tokoh senior di PDIP namun terjebak permasalahan etik pasca perseteruannya dengan Emil Salim.

Hal ini kemudian menyeret kembali persoalan mengenai kepantasan kedua orang tersebut menduduki kursi perwakilan. Melansir pernyataan Yudi Latif, bahwa demokrasi menuntut adanya meritokrasi, dapat dijalankan oleh orang-orang yang memang benar-benar memiliki prestasi. Konsep meritokrasi pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Aristotle dan Plato yang percaya bahwa sebuah negara seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang paling pandai, paling baik dan paling berprestasi. 

Selain sebagai cara untuk menghilangkan nepotisme, hemat saya meritokrasi dapat mencegah 'lack of competence' dari para pejabat, terutama dalam konteks perwakilan rakyat, agar dapat benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat yang menjadi konstituen mereka dan mampu menambah kualitas politik hukum.

Merit ini dapat dilakukan dengan memberikan spesifikasi khusus mengenai persyaratan apa saja yang harus dipenuhi bagi para pemangku jabatan, mulai dari standar pendidikan, rekam jejak, hingga bebasnya dari pidana. Tujuannya tentu untuk memberikan kesempatan pada orang-orang yang benar-benar pantas dengan prestasi yang pasti pula, sehingga efektifitas dalam pemerintahan akan bertambah. Misalnya, menaikan standar riwayat pendidikan terakhir bagi anggota legislatif menjadi S2, dari yang semula hanya dibatasi sampai SMA.

Walaupun demikian, persoalan untuk merit ini dengan menaikan standar kepantasan muncul dari sisi hak asasi manusia. Tentu kita paham bahwa dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), khususnya pada Pasal 28D ayat (3) telah diatur bahwa setiap warga negara berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Tafsiran terhadap ketentuan tersebut ialah setiap warga negara berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat turut serta dalam pemerintahan, baik sebagai pejabat maupun rakyat biasa yang turut serta menyuarakan aspirasinya kepada siapapun yang mereka pilih untuk mewakilkan mereka.

Hal inilah yang lantas menjadi 'payung' untuk berlindung bagi para anggota maupun calon anggota dewan yang merumuskan mengenai syarat-syarat keanggotaan mereka di dalam UU MD3 dan UU Pemilu, berlindung di balik 'setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan'. Padahal, perlu diingat bahwa tafsirannya tidak hanya sebatas turut serta sebagai pejabat, namun juga sebagai masyarakat biasa pun juga bisa, sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika merumuskan mengenai syarat pencalonan dan keanggotaan, ketentuan konstitusi itu ditafsirkan secara sempit.

Berdasarkan hal tersebut, meritokrasi tetap harus dijalankan agar dapat memenuhi ketentuan 'kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar'. Agar terpenuhi tujuan tersebut, maka harus dimaksimalkan pula para legislator ini. Jika hanya berlindung pada dalih hak asasi dan memperbolehkan lulusan SMA untuk mencalonkan diri dan menjadi anggota apabila terpilih, bagaimana nantinya kualitas legislasi kita? Sementara staf ahli mereka harus minimal sudah menempuh S2, hal ini tanpa adanya merit system akan menghambat transfer knowledge dari staf ahli kepada anggota dewan. 

Oleh karena itu, urgensi untuk menaikan persyaratan pendidikan terakhir anggota dewan adalah salah satu cara mencegah penurunan kualitas legislasi, karena setidaknya para perwakilan harus memiliki keahlian atau pemahaman yang komprehensif mengenai suatu ilmu, selain daripada kemudahan transfer knowledge, juga pada pendalaman isu yang hendak dilakukan pengaturan baru atau diselenggarakan perubahan pengaturan.

Selain daripada standar pendidikan, tentunya riwayat pengalaman kerja atau prestasi menjadi hal penting yang perlu diterapkan. Tidak hanya terbatas pada pengalaman eksekutif, rekam jejak legislatif pun juga perlu diperhatikan, karena akan berpengaruh pula bagaimana pengalaman tersebut dapat dibawa untuk meningkatkan kualitas legislasi, penyaluran aspirasi, dan menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Apabila tidak dibarengi hal ini, kecil harapan untuk adanya perbaikan dari kualitas kinerja lembaga perwakilan, dan tidak tersalurkannya aspirasi dengan baik.

Bagaimana dengan masalah etik? Tentu kita sulit mengukur ini dari riwayat pendidikan, karena gelar yang diraih tidak semata-mata mencerminkan etika layaknya seorang intelektual. Sosok Arteria Dahlan, meskipun berpendidikan S2 Ilmu Hukum, namun miskin etik. 

Hal ini perlu dilakukan kaderisasi yang baik di internal partai, bagaimana nanti para kader harus bersikap di depan publik, sehingga tidak hanya menyikapi isu dengan mengkajinya saja. Perlu ditetapkannya standar kaderisasi di dalam internal partai, namun perlu juga memperhatikan agar pengaturan standar tersebut tidak mengancam independensi partai.

Mengapa tidak menggunakan mekanisme Kehormatan Dewan? Itu mekanisme setelah keanggotaan tersebut sudah terpenuhi, sebagai langkah represif pasca menjadi anggota DPR.

Sebenarnya banyak cara pula untuk menerapkan meritokrasi dalam menyeleksi siapa yang akan menduduki jabatan yang vital di pemerintahan. Sejauh para legislator memiliki idealisme tinggi untuk dapat menetapkan standar kepantasan bagi pejabat selanjutnya, meritokrasi dapat diimplementasikan secara maksimal. 

Tidak ada lagi bargaining atau adanya spoil system (patronage system) karena balas jasa membantu menaikan jumlah suara partai politik atau karena lobi-lobi politik. Semua benar-benar diseleksi dengan kelayakan.

Memang betul dalam mencalonkan diri untuk turut serta langsung dalam pemerintahan merupakan hak asasi, hanya saja perlu adanya pemilahan dan pemilihan untuk mampu menjawab pertanyaan: siapa yang pantas memangku jabatan tersebut? Bagaimana pengukuran kepantasan tersebut sehingga nanti akan berpengaruh kepada kualitas kinerja dan integritas masing-masing pejabat.

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun