24 Hadrian Ave. Aku tertegun di depan sebuah rumah berpintu merah tua. Saat itu adalah musim panas di bulan Agustus dengan tiupan angin yang sangat kencang.Â
Berkali-kali hanya rasa syukur yang terpanjat dalam hati karena bisa bertahan dari serangan hawa dingin yang masih saja bertiup dengan sweter tipis yang masih melekat di tubuhku. Ah, sebenarnya memenuhi undangan dinner kali ini harus mulus meski tanpa seorang teman pun yang menemaniku dalam perjalanan.Â
Toh suasana kota York telah semakin menyatu dengan diriku. Mungkin tak ada salahnya jika aku mencoba mengetuk pintu merah tua itu. Ini adalah rumah kelima yang kudatangi di sore ini. Ada penyesalan yang cukup dalam mengapa alamat temanku itu tidak aku catat atau aku simpan sebagai bekal jika ternyata aku membutuhkannya lagi dan tidak malah tersesat seperti ini.
Ya, mungkin kakiku harus diajak istirahat sejenak. Ada kaitan besi di pintu pagarnya yang terkunci. Namun akan kuberanikan diri untuk berteriak pelan. Hmm, tanam-tanaman yang kurang terawat dengan halaman yang tak seberapa luas.Â
Hening, masih ragu untuk membuka kaitan pintu pagar kayu itu. Ya, sedikit ragu untuk masuk ke halaman rumah itu. Namun belum sempat aku berteriak untuk sekedar meminta izin masuk ke pekarangan, pintu rumah itu akhirnya terbuka.Â
Seorang perempuan tua keluar dengan langkah pelan sambil menatapku tajam disertai sebuah senyuman yang terasa akrab. Apakah ini yang namanya tipikal orang York yang telah beberapa kali kujumpai di jalan-jalan? Orang York yang terkenal ramah tamah itu? Aku cukup lega. Perempuan tua itu berjalan sangat pelan menuju ke arahku.
Rasa keceleku karena salah alamat lagi kali ini tak berlangsung lama dan akhirnya kutunda untuk mencari alamat temanku yang telah mengundangku makan malam itu.Â
Bersapa dan berbicara dengan perempuan tua yang kutaksir usianya pasti telah 90 tahun itu telah merebut rasa simpatiku. Dia memang tipikal orang Inggris yang sangat ramah.Â
Ah, dialog dengannya cukup memakan waktu lama. Aku terbius akan keramahtamahannya! Betapa tidak, akhirnya aku berjanji untuk berteman dengannya dan akan mengunjunginya lagi di kali lain. Kami sepakat dan setuju. Namanya Kathleen.
Pikiranku terus melayang ke sosok tubuhnya yang telah tua renta itu setelah kutinggalkan halaman rumahnya. Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Langit yang masih terang-benderang di musim panas menguntungkan langkah-langkahku malam itu karena belum sedikit pun gelap menghadangku. Rasa penasaran yang tak bertepi masih menghadirkan sosok perempuan tua itu di benakku.
Dan pencarian alamat temanku yang tadi tertunda lama pun terus kulanjutkan. Tak apalah, yang penting aku bisa hadir malam itu. Tanpa putus asa kureka-reka lagi alamat rumah temanku itu. Aku memang pernah berkunjung ke rumah private yang disewa olehnya. Dia seorang teman kursus Inggrisku, asal Jepang. Bergaul dengan teman-teman asal Jepang selalu membuatku merasa nyaman. Entah mengapa, aku tak tahu.
Sebuah pencarian yang cukup menghibur, mencari di tengah-tengah perumahan yang bangunannya semua mirip, mulai dari pagar, luasnya halaman, atap sampai cat rumah! Aku terus mencari.Â
Dan kulontarkan juga sebuah pertanyaan pada serombongan anak-anak bule yang bermain di tepi jalan yang lengang itu. Wah, hanya keberuntungan saja yang lagi memihak padaku saat itu karena mereka tahu di mana temanku itu tinggal. Aku pun mengetuk pintu dapur sebuah rumah dengan sebuah keyakinan.Â
Dan setelah pintu itu terbuka, aku bisa langsung melihat ada lima orang teman perempuan lagi, semua asal Jepang, yang telah hadir di acara dinner itu. Mereka pun langsung tersenyum begitu melihatku. Hal itu cukup membuatku merasa terkejut. Betapa tidak, dinner itu adalah untuk memperingati ulang tahunku! Aku sangat terharu tentu. Makan malamnya telah mereka lahap karena aku datang terlambat. Ah sudahlah, tak mengapa. Namun sebuah kejutan lain diberikan oleh mereka: kue tar untukku masih tersimpan."Happy Birthday, ya......", teriak mereka serempak.
Sebuah kenangan yang sangat manis berulang tahun di negeri orang. Aku bahagia, tak mengira ada teman-teman yang baik hati seperti mereka. Bagaimana dengan perempuan tua itu? Mungkinkah dia juga tengah menikmati dinner-nya seorang diri? Ah, perempuan tua yang rumahnya tak jauh dari tempat kami berkumpul malam itu terus berdiri dalam ingatanku.
 ***
24 Hadrian Ave. Masihkah alamat ini adalah tempat tinggal perempuan tua itu? Aku menepati janjiku kali lain, bertemu dengannya tapi tanpa appointment! Â Semoga dia tidak keberatan meski aku datang ke rumahnya tanpa perjanjian terlebih dahulu. Ia pernah memberikan nomor ponselnya padaku.
Tapi kali ini aku berkunjung ke kota York yang penuh nostalgia ini tanpa rencana sedikit pun. Aku ingin membeli sebuah printer bekas pada seorang teman di York. Aku pun sudah tak tinggal di kota itu lagi. Kota itu telah kutinggalkan tiga bulan yang lalu dan memilih meneruskan kuliah di kota lain. Kini musim pun telah berganti, autumn yang terasa dingin bagiku.
Kuketuk pintu rumah perempuan tua itu. Dan serta-merta kulihat dia membuka pintu itu dan langsung tersenyum begitu melihatku: pertanda dia masih mengenaliku dengan sangat. Tapi apa benar dia masih mengenaliku? Kutahu dia cukup terkejut. Ternyata nomor ponselnya tak kugunakan kalau aku berniat untuk berkunjung. Aku memang tak sempat untuk meneleponnya.
Diajaknya aku masuk ke dalam rumahnya dengan isyarat anggukan kepala. Sebuah hitter sentral dan sebuah hitter kecil di samping tempat duduknya cukup menghangatkan ruang kecil yang sangat berantakan itu. Dia tinggal seorang diri di rumahnya itu. Dan di situlah dia mulai bercerita banyak pada diriku.Â
"Ini aneh", batinku. Tak mudah bagi seseorang  untuk langsung menceritakan semua bagian dan sisi-sisi kehidupannya pada orang asing yang baru dikenalnya seperti diriku ini. Tapi dia telah memercayaiku! Bagaimana tak kaget begitu dia mengatakan berapa tahun umurnya waktu itu? 60 tahun! Sungguh usia yang belum begitu tua bagiku. Dia hampir seumur dengan bapakku! Tapi mengapa penampilan serta postur tubuhnya telah menampakkan sebuah usia yang telah tua renta?
Ah, dia bisa membuatku terpana dengan cerita-ceritanya. Bahwa suaminya telah meninggal karena menderita kanker paru-paru enam tahun silam.Â
Ada sebentuk kaca berkilat di kedua bola matanya yang masih kelihatan jenaka di usianya saat itu ketika dia menceritakan tentang kenangan-kenangan silam bersama suaminya  dan dua orang anaknya yang kini telah beranjak dewasa dan berkeluarga serta mempunyai tiga orang cucu.Â
Dia juga membuatku terpesona karena betapa dia masih sangat hafal dengan tanggal kelahiran setiap anggota keluarganya serta setiap detail pengalaman-pengalamannya di masa lalu.Â
Ah, perempuan tua yang belum pikun! Dan ada lagi, meski kematian suaminya kemudian cukup membuatnya sangat terpukul dan kesepian, namun ia terlihat begitu tegar di tengah hiruk pikuk kota York yang asri. Katanya lagi padaku, ia sangat mencintai kota itu. Ia telah tinggal di kota itu selama 29 tahun.Â
Begitu pula ia telah akrab dengan para tetangganya yang sesekali tak segan membantunya jika ia membutuhkan pertolongan. Ah, sebuah perumahan orang-orang Inggris yang masih memperhatikan kehidupan saling tolong-menolong di antara mereka. Ini juga yang membuatku sangat terharu.
 ***
24 Hadrian Ave. Apakah perempuan tua itu masih tinggal di alamat yang sama? Aku bergegas masuk ke pekarangan rumah itu. Pintu rumah itu terbuka dan sesaat kemudian perempuan tua itu telah tersenyum dengan sangat hangat padaku. Diajaknya aku masuk ke rumahnya yang juga terasa sangat hangat.
Kali itu aku datang ke kota York bukan untuk menjenguknya sebenarnya. Aku hanya rindu pada sebuah sepeda tua yang pernah kutitipkan pada seorang teman asal Belanda. Kupikir temanku itu akan merawat sepeda itu dengan baik dengan harapan jika sewaktu-waktu aku berkunjung ke kota itu lagi, aku bisa bersepeda keliling kota itu.Â
Kenyataannya ia membiarkan sepeda itu dicuri orang. Betapa tak kecewa, sengaja kutitipkan sepeda itu padanya karena aku tahu orang Belanda pastilah sangat mencintai sebuah benda yang namanya sepeda. Kutahu pula sebuah sepeda adalah barang yang cukup berharga di negara Belanda! Namun sudahlah. Temanku itu pun telah meminta maaf atas kealpaannya itu.
Sesaat kemudian aku telah duduk dan mulai tertawa serta bercanda dengan Kathleen yang masih terlihat sangat energik. Tubuh ringkihnya tak menghalangi dirinya untuk tertawa terbahak-bahak denganku sore itu di musim dingin. Begitu pula dengan batuknya yang kian meraja.Â
Diceritakannya bahwa ia baru saja keluar dari rumah sakit untuk beberapa waktu karena penyakitnya kambuh lagi. Kukatakan pula padanya dengan tulus bahwa aku sangat prihatin dengan kondisinya itu. Kami terus tertawa sore itu.
Lalu kutanyakan padanya apakah ia suka mendengarkan musik? Jenis musik apa yang paling disenanginya? Dan ternyata aku dan dia menyukai jenis musik yang sama: musik klasik. Dia lalu berdiri menuju ke sebuah laci lemari di ruang tamu itu. Dibolak-baliknya beberapa koleksi CD-nya dan akhirnya diambilnya  sebuah CD kompilasi musik klasik dan menyerahkannya padaku. Katanya lagi, CD itu boleh aku ambil sebagai pemberian darinya.
 Ditanyanya pula aku dengan penuh selidik jika aku pernah mendengar salah satu lagu yang dinyanyikan oleh Pavarotti yang ada di CD itu. Aku sungguh tak tahu dan tak hafal dengan judul-judul yang ada di CD itu. Dia kemudian tertawa mengejekku. Katanya, aku ini hidup di belahan bumi bagian mana hingga tak mengenali judul lagu yang dinyanyikan oleh petenor terkenal asal Italia itu? Ah, dia begitu humoris.
Tak terasa keceriaan kami saat itu telah memakan waktu dua jam. Kukatakan padanya bahwa hari telah mulai gelap dan aku harus meninggalkan kota York segera. Dia pun kembali tersenyum padaku dengan arif dan mempersilakan jika aku ingin datang mengunjunginya lagi di lain waktu. Nampaknya ia mulai menyayangiku sebagai temannya, atau sebagai anaknyakah? Udara begitu dinginnya di luar saat kutinggalkan rumahnya, meninggalkan kota York. Â Â Â Â
 ***
24 Hadrian Ave. Aku bertanya-tanya apakah Kathleen masih tinggal di rumah tua itu? Musim kali ini telah berganti. Pohon-pohon yang tadinya meranggas dengan sangat ganasnya di musim dingin kini telah berkuncup dan berbunga. Daun-daun telah menghijau dan bunga-bunga daffodil yang cukup banyak di sepanjang jalan telah bermekaran. Mungkin inilah keistimewaan kota York di musim semi. Kota York yang antik. Aku selalu bernostalgia dengan City Wall-nya yang menampakkan ketegarannya sampai ke River Ouse-nya yang begitu romantis dengan para turis yang selalu membanjiri kota itu.
Telah kuresapi perjalanan empat musim yang selalu berganti. Ah, sebuah perjalanan dan perkenalan tak terduga dengan seorang perempuan tua yang menderita infeksi paru-paru di dadanya.Â
Perempuan tua yang telah mengidap penyakit itu sekian lama dengan sangat tertekannya. Di saat itu aku pun telah melihat semua foto-foto dirinya di masa muda dulu. Di usia yang sangat belia memutuskan untuk menikah dengan pemuda tampan pilihannya yang juga adalah tetangganya di kota Belfast, Northern Ireland, Inggris. Ia memulai hidup menjadi pendamping suami untuk berikrar sehidup semati, ceritanya lagi sore itu.Â
Kathleen, perempuan tua yang telah merasa sangat akrab denganku meski kulitku berwarna coklat dan berasal dari belahan dunia lain. Kain penutup kepalaku tak pernah menghalangi keakrabran yang terasa sangat mudah terjalin itu. Seperti katanya lagi, dirinya pun seakan telah menyatu dengan ketenteraman dan kecantikan Asia karena dirinya pernah tinggal di Singapura untuk beberapa tahun lamanya mengikuti suaminya yang bertugas di Angkatan Laut. Hanya ada dua musim di Singapura, katanya lagi saat mulai bernostalgia denganku senja itu, yakni: Summer dan Monsoon!
***
24 Hadrian Ave. "Kathleen, aku datang lagi untuk menemuimu kali ini setelah sekian lama...", kataku berbisik dengan sedikit senang membayangkan pertemuan yang pasti sangat mengejutkannya kali ini. Tadi sudah kuluangkan waktu untuk membeli beberapa macam buah di sebuah toko buah dan sayuran dalam perjalananku menuju ke rumahnya. Dan kantung plastik hijau berisi sesisir buah pisang, delapan buah jeruk segar serta enam buah kiwi itu kutenteng di tangan kananku sambil berjalan masuk ke pekarangan rumahnya.
Hmm, pagar rumahnya tak terkunci di siang bolong ini. Rerumputan di pekarangan pun lebih tak terawat lagi dibandingkan dengan kedatanganku pada waktu-waktu lalu. Kulangkahkan kakiku masuk ke pekarangan rumah perempuan tua itu. Kuketuk sekali. Dua kali. Tak ada suara langkah pelan seperti yang selalu kudengar pada saat-saat lalu jika ia menyeret langkah-langkahnya untuk membukakan pintu untukku. Kuketuk pintu itu untuk ketiga kalinya. Hening. Kompleks perumahan itu pun kelihatan sangat sunyi ditingkahi angin yang bertiup semilir.
Masih tercenung di depan pintu rumah warna merah tua itu. Kulongokkan kepalaku melihat ke jendela-jendela di lantai atas rumah itu. Tak bertirai. Dimana Kathleen? Ini sungguh terasa aneh. Sepertinya rumah itu telah kosong, tak berpenghuni. Kucoba melongokkan kembali kepalaku ke jendela lantai atas rumah itu untuk lebih meyakinkan diriku.
"Kathleen, kau dimana? Apakah saat ini kau tertidur saat tengah menonton televisi, caramu membunuh setiap waktumu saban hari? Atau jangan-jangan saat ini kau tengah berbaring di rumah sakit lagi seperti ceritamu tempo hari saat rasa sakitmu tak henti menggerogoti tubuhmu yang kian ringkih? Atau kau masih berada di rumah salah satu anakmu, rumah yang tak seberapa jauh dari rumahmu ini?" Tanyaku dalam hati, tak henti.
Rasa penasaran dan juga rasa rindu pada perempuan tua itu mulai mengaliri nadiku. Aku merasa tak tega membayangkan dirinya yang tinggal seorang diri di masa-masa sakit yang kian hari semakin parah itu. Apalagi melihat bagaimana dia berusaha menghirup oksigen dari tabung yang tak bisa absen berada di samping sofa tempat duduknya yang terkadang juga sekaligus menjadi tempat tidurnya.
Tak sabar ingin mengetahui keberadaan dirinya, akhirnya kuketuk pintu rumah tetangganya, persis di sebelah kanan rumahnya. Ada sebuah mobil bertengger persis di depan rumah. Kupikir pastilah ada orang di rumah itu. Seorang ibu yang kutaksir bukanlah seorang native speaker itu membukakan pintu untukku sambil menatapku dengan penuh selidik. Lalu kutanyakan apakah ia mengetahui keberadaan tetangganya, Kathleen, saat itu? Ibu itu terbata saat menjawab pertanyaanku: Kathleen telah meninggal dunia dua bulan yang lalu! Aku terperanjat dan tiba-tiba aliran napasku sesak terasakan di dada, "Ya Tuhan..."
Langkahku gontai. Aku berlalu dari komplek perumahan itu. Masih sunyi yang bersemayam di sana saat aku mulai mencoba mengurai kembali semua kenanganku: bertemu dan bersahabat dengan seorang perempuan tua yang baik hati bernama Kathleen.
Mengapa saat niat untuk mengunjunginya kali ini benar-benar membuncah di dada dia telah pergi untuk selamanya? Lalu kubayangkan tubuh ringkih dan batuk akut yang dideritanya. Aku tahu dia adalah perokok berat di masa lalu. Kubayangkan pula bagaimana dia selalu tegar menghadapi penyakitnya yang kutahu itu sunguh-sungguh menyiksanya. Dan di saat lain bagaimana dia bermanja padaku dengan mengeluhkan semua rasa sakit terutama rasa sesak di dadanya dan juga di persendian-persendian tubuhnya.
"Kathleen, maafkan aku yang tak begitu sering mengunjungimu...", batinku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Satu lagi yang masih kuingat darimu, Kathleen. Kau ingin aku membawakan fotomu yang telah kuabadikan saat aku berkunjung ke rumahmu di musim yang lalu. Tapi kau tak sempat lagi menerimanya. Dan percayakah kau Kathleen, aku selalu ada untukmu, mendengarkan cerita-ceritamu dan juga semua keluh kesahmu dengan berusaha mengunjungimu meski kita tidak tinggal satu kota lagi? Ya, aku tahu kau selalu percaya padaku dengan berbinarnya bola matamu setiap kali memandangku dengan penuh sayang", bisikku lirih dalam perjalananku meninggalkan sisa-sisa kenangan manis bersamanya.
***
"Sebuah memoar yang kupersembahkan untukmu, Kathleen.
Semoga kau tenang di alam sana..."
Leeds, 30 May '06
Catatan:
*Summer dan Monsoon : Musim panas dan musim hujan
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H