Mohon tunggu...
WON Ningrum
WON Ningrum Mohon Tunggu... Konsultan - Peace of mind, peace of heart...

Hello, welcome to my blog!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Batu Berbunga

1 April 2020   20:32 Diperbarui: 3 April 2020   04:13 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ndoke, Kabupaten Muna, 1960

Malam ini adalah malam takbiran, jelang hari lebaran. Suasana malam gelap gulita ditimpali suara samar-samar para pemuda kampung di kejauhan yang mengumandangkan takbir dari masjid kecil. Hanya ada beberapa lampu minyak yang dinyalakan di jalan utama kampung Ndoke.

Dina nampak gelisah. Keputusannya telah bulat untuk berkunjung ke kampung neneknya yang berjarak kira-kira sepuluh kilometer dari kampungnya malam ini. 

Seperti tahun lalu di malam jelang lebaran seperti ini neneknya akan menunggu kedatangannya untuk mendapatkan makanan kesukaannya yakni berupa sisa nasi dari beras ketan untuk membuat lapa-lapa. 

Neneknya hanya berani memberikan nasi sisa lapa-lapa yang masih berada di wajan itu karena keesokan harinya lapa-lapa yang berjumlah tak seberapa banyak itu akan dihidangkan untuk seluruh keluarga besar juga untuk para tetua kampung yang merayakan lebaran di masjid. Dan ia selalu menyukai pemberian neneknya itu yang dianggapnya sebagai berkah.

Dina beranjak keluar rumah sambil meneriakkan suatu kode tertentu yang telah disepakati olehnya dan empat orang temannya beberapa hari yang lalu. Mereka sepakat untuk berangkat malam ini ke kampung neneknya bersama-sama.

Meski Dina dan juga teman-temannya masih terbilang belia, tapi mereka mencoba memberanikan diri untuk berjalan kaki di malam ini. Tak ada waktu lain yang paling tepat selain malam ini. 

Kalau menunggu esok pagi, mungkin lapa-lapa yang dijanjikan neneknya telah habis dimakan. Toh dia akan pergi ditemani oleh empat orang teman yang seumuran dengannya. 

Titin, Frida, Tini dan Ningsih adalah teman-teman sekolah Dina yang juga tinggal tak jauh dari rumahnya. Dan sesaat kemudian mereka berlima telah berkumpul di depan rumah Dina.

Sebenarnya Dina dan teman-temannya telah tahu situasi apa yang akan mereka lalui malam ini. Kampung nenek Dina yang berjarak sepuluh kilometer dari kampung mereka adalah jarak yang cukup jauh untuk ditempuh oleh anak-anak seumuran mereka. 

Jalan menuju ke kampung neneknya akan melewati hutan-hutan jati dan sebuah kebun tebu yang sangat luas dengan daun-daun yang tumbuh sangat tinggi dan lebat.

Di samping itu ada lagi yang menjadi kekhawatiran mereka, yakni begitu jarangnya rumah penduduk di sepanjang jalan yang akan mereka lalui nanti. Mungkin hanya terdapat dua atau tiga rumah di setiap jarak satu kilometer. 

Mereka pun menyadari bahwa perjalanan yang akan mereka lalui malam ini akan menemui banyak resiko lainnya. Namun dengan tekad bulat, setelah mereka telah benar-benar siap, Dina memimpin teman-temannya untuk berdoa sejenak agar mereka diberi kemudahan dan kemantapan hati untuk memulai perjalanan.

Mereka pun mulai berjalan di kegelapan malam tanpa satu pun alat penerangan di tangan mereka. Satu-satunya penerangan yang sangat mereka andalkan saat itu adalah cahaya rembulan di atas mereka.

Dina dipercaya oleh teman-temannya untuk memimpin perjalanan. Ia berjalan dengan 'mata awas' di bawah sinar rembulan yang tak seberapa terang. Suara-suara jangkrik di kejauhan terdengar riuh rendah mengiringi perjalanan mereka. 

Mereka pun seakan tak berani bersuara. Hutan-hutan jati mereka lalui dengan hati berdebar. Sebagai anak kampung, mereka sebenarnya telah terbiasa dengan perjalanan seperti ini. 

Jauhnya jarak pun tak menjadi hambatan bagi mereka karena mereka juga sudah terbiasa berjalan jauh setiap harinya baik itu ke sekolah, ke kebun atau berkunjung ke rumah sanak keluarga di lain kampung.  Mereka hanya sedikit khawatir akan berpapasan dengan orang-orang jahat atau perampok.

Di setiap kampung yang mereka lalui, mereka akan berteriak sebagai tanda bahwa orang dari kampung lain sedang melewati kampung setempat. Dan penduduk kampung yang mendengarkan teriakan orang yang lewat tadi akan menjawab dengan teriakan pula.

Sampai akhirnya mereka memasuki bagian terakhir dari perjalanan itu: sebuah kebun tebu sepanjang tiga kilometer. Suasana begitu sunyi senyap. Jalan yang akan mereka lalui pun berupa jalan setapak yang di sebelah kiri dan kanan jalan itu ditumbuhi oleh tebu-tebu yang tinggi daunnya melebihi tinggi badan mereka. 

Dina berjalan paling depan atas permintaan teman-temannya. Angin bertiup dan menggoyangkan daun-daun tebu di samping mereka. Terkadang daun-daun tebu yang bergoyang itu memantulkan bayang-bayang yang bergerak-gerak di sekeliling mereka. Mereka tetap berjalan dengan langkah cepat tanpa menghiraukan bayang-bayang dedaunan itu.

Dengan mata masih menatap ke depan, Dina sekonyong-konyong melihat seseorang berjalan menuju ke arah mereka dari jarak kira-kira sepuluh meter di depannya. Dina yakin itu adalah bayangan seorang laki-laki. 

Ya, seorang laki-laki bertubuh sangat tinggi berjalan dengan sangat cepat menuju ke arah mereka! Dina terhenyak. Dalam satu, dua detik ia tak bisa memikirkan apa-apa dan tak bisa berbuat apa-apa.

Bahkan ia tidak sempat memberi tahu teman-temannya tentang sebuah bayangan di depan mereka dan memberi komando agar teman-temannya bisa minggir dan merapat masuk ke dalam kebun tebu di samping mereka karena jalan yang mereka lalui hanyalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh satu orang.

Namun bayangan itu bergerak bagaikan angin! Bayangan itu berlalu begitu saja dari pandangan Dina. Menghilang. Ada hawa dingin yang menyusup ke tubuhnya. Dirasakannya tubuhnya tiba-tiba merinding.

Dibalikannya tubuhnya cepat ke arah teman-temannya. Tapi teman-temannya hanya berjalan biasa sepertinya tidak merasakan apa-apa seperti yang baru saja dirasakannya.

"Kemana orang itu? Siapa orang itu?" Tanya Dina dalam hati. Bayangan itu bergerak dengan sangat cepatnya, seperti bayangan seorang yang terbang.

"Ada apa, Dina?" Tanya Tini yang persis berada di belakang Dina. Ia terpaksa ikut menghentikan langkahnya. Dina terpana, sepertinya teman-temannya tak melihat bayangan itu sedikit pun!

Dina pun memberi komando agar mereka kembali mempercepat langkah-langkah mereka. Mereka hanya bisa berdoa sepanjang jalan yang masih menyisakan hawa dingin di kulit mereka. Hanya satu yang mereka harapkan malam itu: mereka bisa tiba dengan selamat di kampung nenek Dina tanpa kekurangan suatu apa pun!

***

Setelah merayakan lebaran bersama neneknya, akhirnya Dina dan teman-temannya bersiap-siap untuk kembali ke kampung mereka.

"Mau langsung pulang, Dina?" Tanya nenek Dina dengan senyum penuh sayang.

"Kami ingin rekreasi ke kota Raha, Nek. Masih pukul dua, masih bisa jalan-jalan sebentar. Kami ingin melihat kapal-kapal di pelabuhan lalu kami akan kembali ke Ndoke", jawab Dina penuh semangat.

Mereka pun kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Raha, ibukota kabupaten yang hanya berjarak satu kilometer dari rumah neneknya. Dina dan teman-temannya ingin melihat-lihat kota Raha dan pelabuhannya siang ini. 

Sangat jarang perjalanan ini mereka lakukan mengingat jauhnya kampung mereka dengan ibukota kabupaten. Lagipula di mana-mana pemandangan yang mereka jumpai masih berupa hutan belantara sekali pun itu di ibukota kabupaten.

Selama dua jam Dina dan teman-temannya mengitari kota Raha. Ada perasaan senang karena mereka bisa berlebaran di ibukota kabupaten sekaligus berekreasi sebelum akhirnya kembali ke kampung Ndoke dengan berjalan kaki lagi. Mereka bercanda di sore yang sangat cerah dan mereka sudah memasuki hutan lagi tapi bukan hutan yang semalam mereka lalui.

"Dina, kita tersesat!" Seru Tini tiba-tiba. Ada peluh yang membasahi dahinya.

"Jadi kira-kira kita harus mengambil jalan mana?" Tanya yang lainnya hampir beruntun. Dina sejenak terdiam. Ia yang dipercaya teman-temannya sebagai pemimpin rombongan harus bisa menemukan jalan pulang. 

Tapi ia tak juga bisa memutuskan jalan mana yang harus mereka tempuh. Di depan mereka ada beberapa jalan setapak yang mereka tak tahu akan menuju ke mana. Namun Dina mempunyai ide.

"Kita masing-masing berjalan di jalan setapak yang berbeda. Jika salah satu di antara kita yakin telah menemukan jalan menuju kampung, dia harus berteriak keras agar semua bisa mendengar dan mengikuti jalannya", papar Dina yang kemudian diiyakan oleh teman-temannya. Dina membagi teman-temannya untuk menyusuri jalan-jalan setapak yang berbeda. Dia sendiri mengambil jalan yang menuju ke Barat.

Beberapa menit berselang, masing-masing yang telah mengambil jalan yang berbeda tak ada yang bersuara. Hingga waktu telah menunjukkan pukul lima sore, salah satu dari mereka belum juga ada yang berteriak memberikan kode. Mereka memang tak berani berjalan lebih jauh karena takut akan lebih tersesat dan terpisah dengan teman-teman lainnya.

Dina merasakan letih telah menguasai tubuhnya. Sejak perjalanan semalam, mereka hanya beristirahat sebentar di rumah neneknya karena sehabis menyantap nasi sisa lapa-lapa yang telah masak, mereka tak langsung tidur melainkan bertukar cerita dengan neneknya sampai pukul dua dini hari tentang perjalanan mereka dan "keanehan" yang dialami Dina ketika melihat bayangan seseorang berkelebat di kebun tebu.

Dina menyandarkan tubuhnya sebentar. Dipasangnya telinganya lebar-lebar siapa tahu ada di antara temannya yang sudah menemukan jalan pulang. Pandangannya bergerak ke sekeliling sampai matanya tertuju pada kuntum-kuntum bunga yang bermekaran indah berwarna ungu muda. 

Tapi ada yang aneh. Bunga-bunga itu berasal dan tumbuh dari sebuah batu besar yang sedang disandarinya! Ia segera berdiri dan berbalik. Betapa takjubnya ia memandangi berpuluh-puluh kuntum bunga yang cantik bermekaran dari sebuah batu. 

Dirabanya batu itu seolah tak percaya dengan penglihatannya. Ia merinding. Entah, apakah ia takjub atau "ngeri" dengan apa yang dilihatnya. Dengan suara senang bercampur heran ia berteriak sekencang-kencangnya memanggil teman-temannya.

Tak berapa lama teman-temannya sudah menemukannya di dekat batu itu. Teman-temannya merasa sangat senang karena mereka mengira Dina sudah menemukan jalan pulang.

Ilustrasi gambar: freepik.com
Ilustrasi gambar: freepik.com

"Kalian lihat bunga-bunga ungu itu?" Tanya Dina dengan suara sedikit bergetar.

"Ya...", jawab teman-temannya belum mengerti. Tentu saja bunga sudah tak asing bagi mereka.

"Lihat...mereka tumbuh di atas batu yang tegak berdiri itu!" Seru Dina sambil menunjuk sebuah bongkahan batu besar yang berdiri tegak setinggi tiga meter dan berlebar hampir sama.

"Hei...sungguh aneh. Batu ini berbunga!" Teriak teman-temannya sambil berlomba memetiki bunga-bunga itu.

"Lihat, ada juga yang berwarna putih!" Teriak mereka lagi dengan penuh semangat.

"Bagaimana ya, kita tidak mempunyai kantung untuk membawa bunga-bunga ini dan memperlihatnya pada orang kampung kita", tanya Ningsih.

"Bagaimana kalau kita taruh saja di baju kita masing-masing", jawab Frida sambil menaruh bunga yang didapatnya pada lipatan baju kaosnya. Satu tangan memegang lipatan baju, satu tangan lainnya memetik kuntum bunga. Teman-temannya kemudian mengikutinya.

Setelah merasa puas dengan perolehan mereka, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Cahaya merah di ufuk mulai terlihat. Mereka akhirnya menemukan jalan menuju ke kampung karena berpapasan dengan para petani yang menunjukkan arah kepada mereka.

Lagi-lagi kegelapan sudah menghadang mereka. Untunglah mereka mendapat petunjuk untuk mengambil jalan pintas yang terdekat, jadi mereka hanya akan menempuh lima kilometer perjalanan lagi.

Ya, akhirnya hanya kegelapan. Hingga mereka harus melewati sebuah kebun tebu lagi. Angin bertiup agak kencang. Daun-daun tebu bergerak meliuk-liuk. Entah, malam itu cahaya bulan redup. Cahayanya tidak begitu terang. 

Tiba-tiba dari kejauhan mereka mendengar seperti ada suara tembakan-tembakan senapan. Serentak Dina dan teman-temannya merunduk, tiarap. Tidak ada yang berani berkata-kata. Mereka sangat takut. Ya, tak salah lagi, itu memang bunyi tembakan-tembakan senapan!

Doorrrrr..dooorrrr..dooorrrrrrr...

Beberapa detik suara-suara tembakan itu berhenti. Mereka cepat-cepat bangkit dan mulai berjalan dengan sangat cepat, setengah berlari. Mereka berharap akan segera sampai ke rumah masing-masing. Meski udara begitu dingin, keringat mereka tak henti bercucuran sambil memegangi erat-erat lipatan baju kaos mereka.

Dan lagi, dooorrrr.....doorrrrrrr...doorrrrrrrr...

Tubuh Dina dan teman-temannya sudah bermandikan keringat. Ketakutan mereka semakin bertambah. Setiap kali bunyi tembakan bergemuruh di kejauhan, mereka langsung tiarap, takut kalau-kalau keberadaan mereka ketahuan oleh para pemegang senapan yang mungkin pasti adalah orang-orang dewasa yang tidak mereka kenal. Saat itu di Muna memang terdapat kelompok orang-orang bersenjata yang dikenal dengan sebutan "Gerombolan".

Suara-suara tembakan itu terus berulang-ulang. Meski hanya di kejauhan, namun jika suara tembakan itu berhenti, mereka hanya bisa terus berlari dengan sedikit berjongkok. 

Sampai jarak yang harus mereka tempuh semakin dekat, napas mereka terasa sudah semakin habis. Langkah semakin dipacu hingga akhirnya mereka sudah memasuki kampung mereka.

"Ayo, kita istirahat di rumahku dulu sebelum kalian kembali ke rumah masing-masing", kata Titin yang rumahnya paling dulu terlihat oleh pandangan mata mereka.

"Kita selamat...," bisik Dina pelan yang diiringi tatapan sayu teman-temannya. "Bunga kita...," suara Dina terputus ketika melihat sudah tidak ada satu pun kuntum bunga di dalam lipatan baju kaosnya padahal seingatnya ia memegangi erat-erat lipatan baju kaosnya itu.

Serentak teman-temannya pun melihat ke dalam lipatan baju mereka. Bunga-bunga itu sudah tidak ada, lenyap tak berbekas! 

***

Kendari, 2006

"Kontu kowuna tolu ghonu..."

Malam itu Sari tidak sengaja mendengar sebuah senandung lirih ibunya. Ibu bersenandung dalam bahasa daerah, gumam Sari dalam hati. Ia merasa penasaran dengan nyanyian yang disenandungkan berulang-ulang oleh ibunya itu. Dilangkahkannya kakinya menuju kamar orang tuanya sambil mengetuk pintu perlahan.

"Kontu kowuna tolu ghonu..."

 "Lagu apa itu, Bu?" Tanya Sari dengan suara pelan sambil tersenyum pada ibunya.

"Oh, itu lagu Kontu Kowuna, lagu dalam bahasa daerah kita yang artinya Batu Berbunga", jawab ibunya sambil ditatapnya mata anak semata-wayangnya itu. Kapan-kapan Ibu ingin bercerita padamu tentang Kontu Kowuna itu.

Besoknya Dina akhirnya menepatinya janjinya pada anaknya itu. Dan setelah Sari mendengar cerita ibunya yang saat itu ibunya baru berumur dua belas tahun tapi telah berpetualang serta menemukan sesuatu yang dulunya hanya dikenal sebagai legenda di masyarakat Muna serta diragukan keberadaannya, yakni legenda Batu Berbunga, ia kini juga penasaran ingin melihat yang namanya Batu Berbunga itu apakah nyata adanya seperti yang pernah disaksikan oleh ibunya dulu meski rentang waktu saat itu dan kini telah 46 tahun lamanya.

Dan hari yang telah ditunggu-tunggu oleh Sari pun akhirnya tiba. Ia dan ibunya telah siap berada di atas perahu jet yang akan membawa mereka menuju ke pulau Muna yang akan menempuh waktu dua jam dari Kendari untuk mencari tahu sisa-sisa peninggalan dan legenda tentang Batu Berbunga itu.

"Jadi bunga-bunga dalam cerita Ibu berjatuhan dari lipatan baju kaos saat Ibu dan teman-teman Ibu berlari karena mendengar suara-suara tembakan itu?" Tanya Sari yang masih penasaran dengan cerita ibunya.

"Hmm...Ibu tidak tahu persis, Nak. Tapi menurut firasat Ibu, suara tembakan-tembakan itu sesungguhnya berasal dari bunga-bunga itu. Setiap kali bunga-bunga itu meletus, terdengar seperti suara tembakan senapan di kejauhan..." jawab ibunya pelan tapi pasti.

"Ah, seperti sebuah misteri, keramat", gumam Sari pelan. Dipandanginya debur ombak yang berkejaran di samping perahu jet sambil membayangkan apakah Batu Berbunga itu masih ada di tanah Muna?

***

Leeds, October '06 - Jakarta, 4 November '08

Catatan:

 

Ndoke: Nama sebuah kampung di Muna, Sulawesi Tenggara

Lapa-lapa: Makanan khas daerah Muna yang terbuat dari beras ketan dan santan dibungkus dengan daun pisang dan daun kelapa muda

Kontu Kowuna (Bahasa Muna): Batu Berbunga

Kontu Kowuna tolu ghonu (Bahasa Muna): Batu Berbunga tiga buah

Raha: Ibukota Kabupaten Muna di Sulawesi Tenggara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun