Seekor kenari mungil memandang ke arah jendela persegi yang berukuran cukup kecil dengan penuh perhatian. Sesekali burung kuning itu berjingkatan melompat-lompat di atas sebuah ranting pohon jambu yang menjorok hingga cukup dekat dengan jendela kamar Elina.
Kaki gelapnya lincah berpindah-pindah ke kiri, ke kanan, lalu ke kiri lagi. Melelahkan menunggu gadis itu duduk bermalas-malasan sambil sesekali menguap di atas kasur yang terlihat begitu hangat, pikir si kenari.
Baru sesaat kenari berpaling, Elina sudah pergi dari pandangannya. "Ke mana perginya manusia itu?" Kini kenari kuning tampak begitu cemas.
Kenari tak punya kalender untuk membantunya menghitung hari. Atau sebuah jam dinding yang mengingatkannya jadwal bangun tidur Elina. Namun dia mengerti, ini adalah hari minggu yang cerah. Minggu pagi yang selalu kenari nantikan di enam hari lain yang menurutnya tidak terlalu berkesan. Kenari hanya berpindah-pindah dari satu dahan ke dahan lain, terbang tanpa tujuan kecuali perutnya mulai terasa lapar.
Elina yang tampak bersemangat, melompat keluar dari kamar mandi sambil mengelap wajah dan rambut hitam sebahunya dengan selembar handuk merah muda. Seringai senyumnya tampak segar sekarang. Dia berlari menuju gudang belakang. Masih mengenakan piama putih Minnie Mouse, dia sibuk mencari sesuatu.
Apa yang dia temukan sampai membuatnya sangat senang? Sebuah sangkar cokelat, cukup kecil, berbahan kayu cendana yang dihaluskan dengan begitu rapi. Elina membawanya menuju balkon. Meletakkan sangkar itu dengan hati-hati di atas salah satu sisi beton pembatas. Dia beringsut mundur perlahan. Menunggu dengan sabar, seolah-olah sangkar tak berpintu itu akan terisi sesuatu yang menarik.
Si kenari masih terdiam menunggu di ranting yang sama. Tiba-tiba sayapnya bergetar, bulu-bulu halus di keningnya berdiri menegang, ada yang tercium olehnya. Wangi sedap cendana merasuk dalam menuju ruang rindu yang sudah satu pekan kosong. Menukar sebuah bentuk kesabaran menjadi bahan bakar. Kenari melesat sekencang-kencangnya menuju sangkar yang diletakkan Elina di tepi balkon.
"Apa kabarmu, cantik?" Kenari langsung berkicau riang begitu dia bertengger nyaman di dalam sangkar cendana. Elina berjalan mendekat sambil menunduk bertumpu pada kedua lututnya. Mata mereka bertemu. Seulas senyum indah Elina seakan memberi jawaban. Remaja itu beranjak turun sambil menjinjing ujung besi gantungan kubah sangkarnya ke lantai dasar. Meneriakkan salam pamit kepada ibunya yang sedang terlihat berkutat dengan sebuah kocokan kue dan loyang. "Ma, Elin main ke taman."
"Jam sembilan, pulang ya. Hari ini kan kamu ulang tahun. Ibu buatin pie apel. kesukaanmu," Lembut sang ibu menjawab, tetapi cukup untuk membuat Elina mengangguk sambil terus berlari. Ibu Elina berjalan ke arah pintu mengikuti jejak wangi sangkar cendana.
Tangannya mengambil selembar hasil radiografi dada dari atas meja hias Jepara. Air-air mulai berkumpul di tepi bawah kelopak mata sang ibu. Kemudian jatuh tak terbendung mengalir mengikuti lengkungan pipi yang sesekali bergetar. Ibu menangis.
Mendengar Elina berulang tahun hari ini, hati kenari diselimuti semacam perasaan bahagia. Tiada hari yang secerah hari ini baginya, entahlah. Dia tidak pernah memikirkan, ada jutaan kaumnya di luar sana yang mendambakan kebebasan dan sangat membenci sangkar sempit seperti yang ditempati si kenari sekarang.
"Bukannya aku bodoh. Meskipun mereka sering memanggilku dengan sebutan itu saat melihat diriku menari-nari di dalam sangkar ini." Elina mengangkat sangkar dan memperhatikan si kenari yang berkicau tanpa henti. Dia tak mengerti. Elina hanya tahu satu hal, mereka sama-sama sedang menikmati kebersamaan ini.
"Elina, hari ini ulang tahunmu, kan?" Tanya kenari yang sayangnya terdengar sama dengan kicauan absurd lain sepanjang pagi ini. Lalu pandangannya kosong, kenari berpikir keras tentang bagaimana menyampaikan ucapan selamat juga doa kepada Elina. Hingga sesampainya mereka di taman dan duduk di bawah sebuah mahoni rindang, kenari masih berkhayal tentang caranya ia berbicara.
Angin sejuk berhembus, pelan-pelan membawa Elina merenung. "Oh kenari kecil. Minggu ku tak pernah sepi. Kamu selalu menemaniku menikmati tenangnya berlibur di taman ini. Kadang, aku bertanya-tanya, mengapa kamu mau seharian bermain denganku? Rumahmu di mana? Apakah kamu punya keluarga?"
Melihat sinar mata Elina yang redup, kenari kecil terbang keluar lalu hinggap di atas kubah sangkar. "Apa yang kau pikirkan, Elina?" Kicauan berisik itu segera dibalas tawa lepas si gadis muda. Jemari lembut Elina mengusap kepala kecil kenari. Dia hanya bisa terpejam menunduk, menikmati.
"Aku ingin selalu bermain bersamamu. Jika usiaku mungkin tidak lebih lama darimu, ku mohon sesekali tetaplah mampir ke sangkar cendana ini." Kenari terdiam memandang bibir tipis Elina sejenak. Lalu berkicau, "Jika itu keinginanmu, baiklah, dengan senang hati. Selamat ulang tahun, Elina."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H