Mohon tunggu...
Albertus Aditya Hermawan
Albertus Aditya Hermawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seseorang yang ingin mengetahui banyak hal unik

Seseorang yang ingin mengetahui banyak ilmu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia"

5 Desember 2022   21:10 Diperbarui: 5 Desember 2022   21:14 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Buku ini merupakan karya dari Katharine McGregor yang dimana, beliau adalah dosen Ilmu Sejarah dengan spesialis Sejarah Asia Tenggara di Universitas Melbourne, Australia. Buku tersebut, dirilis pertama kali pada tahun 2007 oleh National University of Singapore Press (NUS). Awalnya ditulis dengan Bahasa Inggris yang berjudul "History in Uniform : Military Ideology and The Construction of Indonesia's Past".

Pada tahun 2008, perusahaan penerbitan buku asal Jogja yaitu "Syarikat" menerbitkan buku ini dengan terjemahan versi Indonesia. Jumlah bab tersebut 6 dengan total 460 halaman. Buku ini menceritakan kisah dibalik sejarah serta mencari pergeseran fungsi sejarah, terutama di era Orde Baru (1966-1998). Artinya, buku ini dijelaskan bahwa sejarah itu digunakan untuk mendukung ideologi Indonesia mulai dari era Presiden Soekarno yang menggagas "Revolusi Belum Selesai" hingga era Presiden Soeharto dengan gagasan utamanya yaitu Pancasila. 

Buku ini bertujuan pada militer untuk membuat gambaran masa lalu Indonesia, terlebih di era Orde Baru militer merupakan hal dominan yang dipakai kepemimpinan Soeharto. Selain itu, tujuan buku ini adalah untuk menjelaskan ulang sejarah yang dibuat pada era Orde Baru dan Masa Demokrasi Terpimpin/Orde Lama serta sejarah pada masa sebelumnya. 

Sejarah dalam Pengabdian kepada Rezim yang Otoriter berisi riwayat penulisan sejarah di Indonesia. Penulis juga ingin mengetahui seberapa rezim zaman Orde Baru menggunakan sejarah sebagai sumber legitimasi kekuasaan. Namun sebenarnya, sejak kemerdekaan Indonesia, sejarah digunakan untuk meningkatkan rasa patriotisme. 

Pada era Orde Lama hingga Orde Baru, sejarah digunakan untuk memajukan kesamaan ideologis dan persamaan tujuan masa lalu nasional. Pada era Orde Baru, penulisan sejarah diarahkan langsung oleh rezim yang berkuasa. Tidak hanya penulisan sejarah, akan tetapi juga pada aspek lain seperti pendidikan dan politik (pemilu). Kebebasan pendapat juga terbatas dan semua yang berbau ancaman bagi rezim diselesaikan dengan militer.

Dalam menyusun sejarah, rezim Orde Baru menggunakan perbandingan negara lain, salah satunya Jepang. Begitu juga dengan Indonesia, Jepang juga mendukung gagasan membuat pendidikan dan sejarah sebagai alat penyampaian nasionalisme. 

Dengan pegangan Kekaisaran yakni kokutai dan UU Pemeliharaan Perdamaian 1925, Jepang semakin dimiliterisasi. Selain itu, pemerintah Jepang juga menggunakan pendekatan secara otoriter dengan memberikan pernyataan bahwa pendidikan berada di bawah naungan negara. Hal tersebut, sejarah juga termasuk kedalamnya.

Kisah hidup seorang Noto Notosusanto hingga Orde Lama saat beliau ditunjuk Jenderal A.H Nasution untuk menanggulangi sejarah. Nugroho Notosusanto lahir di Rembang, 15 Juni 1931. Beliau dibesarkan di 4 kota  yaitu Rembang, Jogja, Jakarta, dan Malang. Sejak usia dini, Nugroho sudah ada jiwa patriotisme yang kuat. Saat masih anak-anak, Nugroho juga main wayang yang terbuat dari kertas. Dan ketika ada lagu kebangsaan di radio, Nugroho mengambil sikap hormat.

Setelah dewasa, Nugroho kuliah dan mengambil jurusan sejarah. Di tahun 1960, Nugroho berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Amerika, tetapi hal itu ditolak oleh temannya yaitu Priyono. Akhirnya Nugroho kuliah di Inggris. Kehidupannya pun tidak bahagia, beliau memutuskan kembali ke Indonesia pada tahun 1962, saat itu, PKI berada di masa jayanya. Secara tidak langsung juga berdampak pada kehidupan Nugroho.

Sesudah peristiwa G30S/PKI, Nugroho segera ditunjuk oleh Jendral Besar A.H Nasution membantu penulisan sejarah komunis yang baru yakni tentang Peristiwa Madiun 1948. Peristiwa G30S PKI paling tidak berpengaruh terhadap penulisan sejarah. Nugroho dan Pusat Sejarah ABRI berhasil meluncurkan tulisan yang membahas kudeta yang dilakukan para komunis berlangsung 40 hari.

Lalu terbitlah buku yang berjudul 40 Hari Kegagalan "G30S" 1 Oktober-10 November. Tampak Nugroho dan karyawannya berusaha untuk menyelesaikannya secara cepat dan berusaha bukunya terbit pada Desember 1965. Selain itu, Nugroho dan karyawannya juga diberikan tempat di Kemang oleh Jendral A.H Nasution agar segera menyelesaikan tulisan ini. Ketika suasana politik negara sedang sulit, Nugroho tetap mengabdikan dirinya kepada ABRI.

Jilid yang ditulis oleh professor dan dosen ternama dari beberapa Universitas di Indonesia saat itu, seperti Prof. Sartono Kartodirjo dan Marwati Djoened. Nugroho Notosusanto terlibat di buku ini sebagai penyunting.

Tetapi, Sejarah Nasional Indonesia (SNI) sempat mendapatkan protes dari ahli sejarah Indonesia untuk mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Mayoritas kritik yang diucapkan berhubungan dengan fakta bahwa guru di sekolah pada 1984 mengajar tanpa bahan ajar, karena penyusunan bukunya belum selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun