Saya juga tidak membawa peta. Saya panik. Pikiran mulai macam-macam, bagaimana kalau tidak menemukan jalan pulang ke apartemen. Di jalan tidak ada orang yang bisa saya tanyakan, suasana mulai agak sepi, sementara hari semakin gelap.Â
Akhirnya, saya teringat mahasiswa Indonesia yang menjadi chaperon saya. Saya pun menelpon dia. Dengan suara yang memelas, saya minta bantuannya untuk menjemput dan menunjukkan jalan ke apartemen saya.Â
Untungnya, dia sedang berada di rumah. Lalu, saya deskripsikan lokasi saya berada. "Tunggu di situ," katanya. Sekitar 15 menit kemudian, saya melihat sosoknya berjalan ke arah saya. Luar biasa leganya saya. "Habis bingung, sama semua bangunannnya," saya menjelaskan mengapa bisa tersesat  tanpa menyebut kalau senja hari saya terkena rabun.
Dia senyum-senyum saja karena sebetulnya saya berada dua blok dari lokasi apartemen saya. Ia pun mengantar saya sampai ke gedung apartemen saya. Saya mengucapkan banyak terima kasih sekaligus meminta maaf karena telah mengganggunya.
Tiba di kamar saya bersyukur karena bisa pulang, tidak terbayang kalau sampai malam saya hanya berputar-putar di kawasan apartemen. Sejak itu, saya berjanji tidak mau keluyuran saat senja hari.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H