Premis bahwa kelompok mayoritas cenderung untuk bersikap menguasai atau pun menang sendiri, sementara kelompok minoritas hanya menjadi penonton, sepertinya tidak hanya berlaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat umum tetapi juga di dunia perjalanan.
Sebagai pelancong saya sering melakukan perjalanan secara mandiri, baik itu perjalanan di dalam negeri atau pun di luar negeri. Dalam perjalanan-perjalanan tersebut sering kali saya berada di situasi di mana saya berada di tengah-tengah pelancong yang melakukan perjalanan secara berombongan. Ketika berada di tengah-tengah rombongan tersebut saya menyaksikan hal-hal yang menurut saya mengganggu dan cenderung mengintimidasi.Â
Biasanya rombongan yang jumlah anggotanya cukup banyak atau rombongan besar itu mengabaikan kepentingan atau pun kenyamanan orang-orang di sekelilingnya. Mereka seperti memindahkan tingkah atau pun kebiasaan mereka di rumah ke tempat umum, dengan kata lain  mereka seperti hilang kesadaran. Hal tersebut sering saya alami bila melakukan perjalanan di dalam negeri, terutama dalam perjalanan dengan kereta api, pesawat, saat berada di stasiun atau pun bandara. Apa saja kebiasaan konyol yang dilakukan oleh pelancong berombongan di tempat umum?
Bising
Tahun lalu saya melakukan perjalanan pendek dengan kereta api ekonomi dari Surabaya ke Sidoarjo. Saat ini masih dalam suasana liburan Lebaran jadi di stasiun masih terdapat  banyak rombongan pelancong yang terdiri dari keluarga besar. Biasanya rombongan seperti itu membawa banyak sekali bawaan mulai dari tas koper, dus-dus, hingga buntelan.
Ketika itu saya mendapat tempat duduk di samping jendela, di sebelah saya duduk penumpang lain juga yang melakukan perjalanan solo. Sepuluh menit menjelang keberangkatan datanglah satu rombongan yang terdiri dari 10 orang. Mereka terdiri dari sepasang orang tua, 1 orang dewasa, 2 anak remaja tanggung, dan 4 anak-anak kecil yang kelihatannya susah diatur, dan seorang bayi. Sejak awal kereta berangkat, kebisingan itu dimulai.Â
Pertama, ketika mereka berebut tempat duduk karena semua anak ingin duduk dekat si ibu. Lalu, mereka menempatkan barangnya di rak di atas tempat duduk, itu juga banyak kehebohan. Sebab mereka berusaha menggeser barang-barang lain. Karena banyak anak-anak, mereka tidak bisa diam, berjalan ke sana-kemari di aisle dan tentu saja berteriak bersahut-sahutan. Mereka menganggap kereta itu seperti rumah mereka sendiri. Jadi, mereka tidak ada kepedulian dengan penumpang lain.Â
Sewaktu tiba saat makan, keadaan menjadi runyam lagi karena mereka mengeluarkan bekal makanan. Terjadi kehebohan karena ada yang minta nasi, lauk-pauk, dan lain-lain. Tempat duduk berfungsi menjadi meja makan. Si ibu sibuk membuat susu. Untung saja petugas kebersihan selalu lalu-lalang sehingga kebersihan cukup terjaga.
Berhadapan langsung dengan rombongan sirkus seperti itu tentu saja agak mengganggu perjalanan saya. Tapi, saya merasa sedikit beruntung karena perjalanan dari Surabaya ke Sidoarjo tidaklah memakan waktu terlalu lama, sehingga saya tidak perlu terus-menerus menyaksikan kehebohan sepanjang perjalanan kereta api, yang seharusnya dapat saya nikmati dengan nyaman.
Ternyata dugaan saya benar, sejak kereta lepas meninggalkan Stasiun Gambir hingga memasuki Purwakarta terdengar kehebohan yang luar biasa di gerbong saya. Suara-suara keseruan anak-anak dalam permainan dengan gawai, tidak sedikit terdengar teriakan-teriakan yang memekakkan telinga. Gerbong saya mirip dengan pusat permainan di mall karena anak-anak itu berseru, berteriak tentu saja dengan suara yang tinggi. Â Mereka duduk dalam kelompok. Â Dari tongkrongannya mereka orang berharta, tapi rupanya tidak beretika.Â
Orang dewasa yang menemani mereka tidak melakukan tindakan apa-apa, mungkin mereka menganggap bahwa gerbong kereta adalah arena bermain seperti halnya di pusat-pusat permainan. Belum lagi, mereka melalukan percakapan seperti di warung kopi, keras-keras tanpa mengindahkan kenyamanan orang lain. Mungkin mereka juga mengganggap bahwa gerbong tersebut adalah milik pribadi, jadi bisa berbuat seenaknya. Bisa dibayangkan gangguan yang mereka ciptakan kepada penumpang lain yang ingin beristirahat sejenak atau pun bersantai dalam perjalanan. Jadi, bayangkan saja jika anda mendapat tempat duduk di sebelah rombongan orkes seperti itu untuk perjalanan selama 10 jam atau lebih.Â
Saya sebenarnya ingin melaporkan ke Kondektur kereta api karena kelakuan mereka yang mengganggu penumpang lain. Tapi, saya urungkan karena saya ingin merekam kelakuan mereka  sehingga saya dapat menunjukkan bahwa pelancong yang berjalan berombongan dengan kendaraan umum itu seharusnya bersikap dengan penuh kesadaran sebagai manusia.
Dalam perjalanan udara, pelancong yang berombongan juga sering kali sama konyolnya. Biasanya kekonyolan itu ditunjang karena naik pesawat atau melancong ke luar negeri adalah pengalaman mereka yang pertama kali. Selain itu, perjalanan dengan grup atau rombongan membuat mereka merasa lebih exist.
Norak
Sekitar dua tahun lalu, saya melakukan perjalanan ke Iran dengan transit di Bangkok. Dalam pesawat saya, banyak wisatawan asal Indonesia yang akan mendarat di Bangkok. Saya terbang solo seperti biasanya. Bersama saya juga ada pelancong-pelancong lain yang melakukan perjalanan dalam rombongan.Â
Kehebohan mulai tampak di ruang tunggu bandara ketika ada rombongan pelancong yang membawa-bawa tongsis. Mereka seakan-akan ingin merekam setiap detik adegan yang mereka lalukan di bandara sehingga mulai dari pemeriksaan tiket dan di ruang tunggu tongsis bergerak ke sana ke mari. Ini belum ditambah dengan foto narsis bersama yang diiringi sorak-sorai selayaknya rombongan atlet yang mau berlaga ke luar negeri. Kenyamanan orang lain tentu saja tidak menjadi urusan mereka.
Entah mengapa tidak sedikit orang yang secara sengaja menyalakan speaker ketika menelpon di tempat umum seperti bandara. Bukan saja menyalakan speaker, mereka juga melakukan percakapan dengan volume yang keras. Apa pun alasannya tindakan seperti itu terkesan norak karena kalau saya lihat jenis telepon yang mereka gunakan bukan telepon kelas kambing yang kualitas suaranya jelek.
Di bandara di luar Indonesia, jika melakukan perjalanan berombongan, banyak pelancong yang cenderung intimidatif, apalagi jika rombongannya besar. Yang paling sering terjadi adalah memonopoli tempat duduk. Sering kali mereka meletakkan barang-barang mereka di tempat duduk, sehingga penumpang lain tidak kebagian tempat.
Jika mereka mengobrol  suaranya terdengar seperti dengungan lebah, belum lagi jika mereka tertawa cekikikkan. Di bandara di Timur Tengah seperti Kuwait, saya pernah menyaksikan rombongan penumpang asal indonesia yang cekikikkan dan tertawa terbahak-bahak. Pemandangan itu sangat kontras dengan penumpang lain yang sedang menunggu dan tampak tenang.
Saya tidak tahu apakah jika mereka melakukan perjalanan mandiri, mereka  akan menyadari tindakan atau pun kelakuan mereka. Sebab,  sering kali rombongan pelancong dengan jumlah yang banyak merasa kuat dan bisa bertindak seenaknya. Mereka juga sering memberlakukan tempat umum seperti ruang pribadi milik sendiri.
Saya bisa menyimpulkan bahwa kelas apa pun yang saya ambil dalam perjalanan di kereta api atau pun pesawat tidak masalah sepanjang tetangga yang duduk di sebelah saya atau pun penumpang lain yang berada di kelas kita adalah orang-orang yang punya kesadaran, yang tahu bagaimana harus berkelakuan di tempat umum. Bagaimana dengan pengalaman anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H