Arus globalisasi yang keras dan cepat membawa dampak yang cukup besar terhadap
masalah-masalah budaya lokal. Proses pembaruan memberikan banyak fasilitas dan akses
informasi yang bermanfaat bagi perkembangan masyarakat; namun, di sisi lain, hal ini dapat
memperburuk nilai-nilai budaya. Dan, kebudayaan yang dipertahankan dan dipraktekkan
sepanjang berabad-abad dan telah mampu beradaptasi dengan sejarah, sepertinya akan
terpinggirkan tanpa mengupas tuntas akar kebudayaan tersebut, hingga sampai pada
keberadaan kebudayaan dianggap sudah kadaluarsa.
Namun demikian, tarian, musik, atau pakaian daerah bukan satu-satunya segi yang menjadi
ciri lokal. Ia mencakup semua kebiasaan, prinsip, format kehidupan yang dimiliki suatu
masyarakat termasuk bahasanya. Lebih jauh dari itu, bagi suku-suku yang ada kehidupannya
dan perkembangan bangsa lain, budayanya tidak sekadar warisan, tetapi juga suatu identitas
yang membedakan dirinya dengan kaum lainnya. Yang lebih signifikan, jika budaya-budaya
yang bersifat lokal pada masa ini seyogyananya didayagunakan oleh kaum muda, apa yang
tersisa yang diharapkan untuk dilakukan.
Sosial budaya masyarakat setempat merupakan tunggakan terbesar untuk dapat
mempertahankan budaya-budaya lokal. Banyak kalangan remaja, di era komputer dan
internet, lebih senang kepada kebudayaan pop yang mendunia. Para remaja tidak mengenal
artis dan tumpuan penting budaya lokal. Mereka dengan gampang mencintai sinema, musik,
atau mode teras dari luar negeri -- tanpa memahami bangunan nyamannya. Dampaknya,
kebudayaan lokal sering hanya disimplifikasi sebagai praktik pada saat acara-acara ritual atau
menarik sokongan turisme, namun mereka tidak menerima maknanya secara utuh.
Di sisi lain, meskipun semua orang sepakat modernisasi catatan tidak selamanya
berseberangan dengan kebudayaan setempat.
Dengan demikian, kemajuan teknologi dapat dianggap sebagai alat yang berguna dalam
mempromosikan dan melestarikan budaya lokal. Misalnya, media sosial dapat digunakan
untuk memperkenalkan tarian tradisional, makanan lokal, atau kerajinan tangan kepada
audiens yang lebih besar. Banyak komunitas muda dan berusaha telah berhasil
mengintegrasikan beberapa elemen tradisional ke dalam yang modern.
Contoh konkret adalah bagaimana seniman lokal telah mengintegrasikan gamelan ke dalam
musik elektronik mereka atau desainer mengintegrasikan motif batik ke dalam pakaian
modern. Upaya semacam itu memastikan bahwa budaya tradisional relevan dengan generasi
muda.
Ada kebutuhan bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk bersatu dalam
upaya-upaya yang ditujukan untuk melestarikan budaya lokal. Pemerintah dapat membiayai
acara budaya dan festival, melindungi hak cipta sumber daya warisan budaya, dan
merangsang pengajaran konten lokal di sekolah-sekolah. Dalam waktu yang lama, sekolah-
sekolah telah memainkan peran signifikan dalam mengajarkan sejarah dan seni budaya
tradisional kepada anak-anak agar mereka menghargai akar mereka.
Demikian pula keluarga. Pendidikan budaya dimulai di rumah, bukan hanya di sekolah atau
di masyarakat. Orang tua anak-anak sejak usia dini dapat mengenalkan mereka pada lagu-
lagu lokal, legenda lokal, dan hidangan lokal sehingga anak-anak mencintai budaya mereka
saat mereka tumbuh dewasa.
Budaya tentu saja terus berubah seiring waktu. Ia harus berevolusi. Namun, evolusi ini tidak
berarti akar yang asli harus lenyap.
Sebaliknya, itu harus dilakukan dengan menghormati prinsip-prinsip asli agar budaya lokal
menjadi pajangan dan bagian dari kehidupan sehari-hari kapan saja.
Akhirnya, setiap orang memiliki kewajiban untuk melindungi budaya lokal. Untuk
melestarikan tradisi, tidak perlu berdiri di depan kemajuan. Sangat penting untuk menemukan
cara menggunakan cara hidup kontemporer tanpa menghapus budaya lokal secara kasar.
Karena budaya bukan hanya hal-hal dari masa lalu tetapi juga berfungsi sebagai jalan menuju
masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H