Mohon tunggu...
Wiwin Winarty
Wiwin Winarty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo its wiwin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Cerita Tentang Kebersamaan dan Persahabatan Dihari Natal

7 Januari 2025   11:50 Diperbarui: 7 Januari 2025   11:50 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari raya selalu menjadi momen yang sangat ditunggu oleh banyak orang, sebab setiap agama memiliki hari rayanya sendiri yang penuh dengan harapan, kebahagiaan, dan tentunya kebersamaan. Bagi banyak orang, hari raya adalah waktu yang penuh makna, di mana keluarga berkumpul, berbagi cerita, dan mempererat hubungan dengan orang-orang tercinta. Bagi umat Nasrani, Natal adalah salah satu hari raya yang sangat dinantikan. Lebih dari sekadar perayaan keagamaan, Natal memiliki makna yang lebih dalam, yaitu waktu untuk merenung, berbagi kasih sayang, dan menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala berkat yang diberikan sepanjang tahun. Natal menjadi simbol harapan dan kedamaian yang menyatukan banyak hati.

Suasana Natal selalu diwarnai dengan kehangatan dan kebahagiaan yang terpancar dari setiap detailnya. Lampu-lampu Natal yang berkilauan, aroma harum kue khas, dan pohon-pohon Natal yang dihiasi dengan ornamen cantik menjadi simbol sukacita yang terasa di setiap sudut rumah dan gereja. Suasana ini membawa kenyamanan dan rasa damai bagi mereka yang merayakan. Namun, yang paling penting dari perayaan Natal bukan hanya sekadar dekorasi dan hadiah, melainkan kebersamaan yang terjalin antara keluarga, teman, dan orang-orang terdekat. Di sinilah Natal menunjukkan makna sesungguhnya: sebuah kesempatan untuk berbagi kasih, baik dalam bentuk materi maupun waktu dan perhatian, yang menciptakan momen berharga bersama orang-orang yang kita sayangi.

Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk merayakan Natal dengan cara yang sama. Bagi sebagian orang, perayaan ini harus dijalani dengan kesendirian. Beberapa orang mungkin terpaksa merayakan Natal jauh dari rumah, terpisah dari keluarga dan orang-orang tercinta, entah karena tuntutan pekerjaan, pendidikan, atau alasan lainnya. Meskipun Natal adalah waktu untuk berkumpul dan berbagi, realitas hidup kadang memisahkan kita dari momen-momen indah tersebut. Kondisi ini bisa menjadi tantangan emosional yang berat, terutama bagi mereka yang terbiasa merayakan Natal dengan keluarga besar dan orang-orang terdekat. Kesepian yang hadir di tengah perayaan bisa menjadi beban yang sulit untuk dipikul, bahkan di tengah kegembiraan yang biasanya datang dengan suasana Natal.

Tahun ini, ketiga teman saya Angel, Chindy, dan Trecya mengalami hal yang sama. Sebagai mahasiswa perantau yang menuntut ilmu jauh dari rumah, mereka tidak bisa pulang untuk merayakan Natal bersama keluarga. Kampus kami, sebuah perguruan tinggi swasta, tidak memberikan libur panjang pada saat Natal atau Tahun Baru. Ditambah lagi dengan jadwal ujian yang bertepatan dengan akhir semester, perjalanan pulang menjadi hampir mustahil. Meski Natal adalah waktu yang sangat penting bagi mereka, tantangan praktis ini membuat mereka harus merayakan momen tersebut tanpa keluarga di sisi mereka. "Kami biasanya merayakan Natal dengan keluarga besar, tapi sekarang... rasanya sepi," kata Angel dengan senyum kecil yang terlihat dipaksakan. Kalimat sederhana itu begitu mengena, mengundang rasa empati yang mendalam bagi kami yang bisa merasakan beratnya perasaan mereka.

Saya, yang berasal dari Bandung, bersama Tria, teman saya yang tidak merayakan Natal, merasa terpanggil untuk menemani mereka. Meskipun kami tahu bahwa Natal bukan bagian dari keyakinan kami, kami ingin menunjukkan dukungan sebagai sahabat. Kami ingin agar mereka tidak merasa kesepian di hari yang seharusnya penuh kebahagiaan ini. Keputusan kami disambut dengan senyuman tulus dan rasa terima kasih yang mendalam. Mereka terlihat sangat bahagia, dan senyuman itu tak pernah lepas dari wajah mereka sepanjang malam.

Namun, meskipun kami sudah memutuskan untuk menemani mereka merayakan Natal, rasa canggung tetap tak bisa hilang begitu saja. Ini adalah pertama kalinya kami ikut merayakan Natal, dan kami merasa gugup karena kami tidak tahu apa yang diharapkan, terutama dalam hal tradisi dan tata cara. Kami khawatir jika kami salah kostum atau tidak tahu bagaimana bersikap di acara tersebut. Ada banyak hal yang kami khawatirkan: cara berpakaian, apa yang harus dilakukan selama ibadah, hingga bagaimana berinteraksi dengan jemaat lainnya. Namun, ketiga teman kami---Angel, Chindy, dan Trecya---dengan sabar menenangkan kami, menjawab setiap pertanyaan dengan penuh perhatian dan menjelaskan segalanya dengan cara yang membuat kami merasa lebih tenang.

Hari yang ditunggu pun tiba. Meskipun kami telah berusaha menenangkan diri, rasa gugup tetap tak terhindarkan. Pikiranku dipenuhi dengan berbagai kekhawatiran: "Bagaimana jika kami melakukan kesalahan? Apa kami akan terlihat aneh di sana?" Setiap detail kecil tentang perayaan Natal terasa penting. Kami merasa terasing, berbeda dari jemaat lainnya. Meskipun kami telah berjanji untuk mendukung teman-teman kami, ketegangan itu tetap ada. Berusaha mengatasinya, kami memutuskan untuk bersiap lebih dulu di kost Angel, yang terletak di lokasi strategis. Ini memberi kami waktu untuk menenangkan diri dan mempersiapkan diri dengan lebih baik sebelum menuju gereja. Kami memeriksa ulang informasi tentang acara tersebut, berdiskusi tentang apa yang seharusnya kami lakukan, dan berharap bisa meminimalkan rasa gugup yang kami rasakan. Kami mencoba untuk meyakinkan diri bahwa yang terpenting adalah niat baik kami.

Ketika kami tiba di gereja, suasana yang menyambut kami jauh lebih hangat dan damai daripada yang kami bayangkan. Di lobi, pohon Natal besar berdiri megah, dihiasi dengan ornamen-ornamen berkilauan yang memancarkan cahaya lembut. Di sekelilingnya, lampu-lampu berkelap-kelip menambah keindahan yang hampir magis. Panitia gereja dengan senyum ramah menyambut kami dan mengarahkan kami menuju lantai lima, tempat ibadah berlangsung. Meski kami tahu bahwa kami adalah tamu yang berbeda dari jemaat lainnya, sambutan mereka yang tulus membuat kami merasa dihargai dan diterima. Kami mulai merasa lebih nyaman. Rasa canggung yang semula menggelayuti perlahan memudar, berganti dengan rasa syukur dan ketenangan. Setiap langkah kami semakin membawa kami pada kenyamanan dan rasa dihargai, meskipun kami tahu bahwa kami berada di tengah perayaan yang sangat asing bagi kami.

Sesampainya di ruang ibadah, kami memilih duduk di barisan ketiga dari depan, cukup dekat dengan altar. Suasana dalam gereja terasa lebih intim, dan meskipun perasaan canggung masih menyelimuti, teman-teman kami terus meyakinkan kami bahwa kami tak perlu khawatir. "Tidak ada yang akan menilai kita. Yang terpenting adalah kita menghormati acara ini," kata mereka dengan penuh keyakinan. Ucapan itu membuat kami merasa sedikit lebih tenang, meski rasa cemas masih ada. Perlahan, perasaan canggung kami mulai menghilang. Kami merasa lebih diterima dan dihargai. Lingkungan yang penuh dengan kedamaian ini membuat kami merenung dan membuka hati untuk memahami makna Natal yang lebih dalam: tentang berbagi momen berharga bersama orang-orang yang kita sayangi, tanpa memandang perbedaan yang ada.

Ibadah dimulai dengan lagu-lagu pujian yang mengalun lembut, menyentuh setiap sudut gereja. Suara paduan suara dan jemaat yang ikut bernyanyi menciptakan atmosfer yang sangat khusyuk. Semua jemaat berdiri, mengikuti gerakan mereka, dan kami pun ikut berdiri sebagai bentuk penghormatan meskipun kami tidak tahu lirik lagu tersebut. Walaupun kami tidak ikut bernyanyi, kami merasa penting untuk turut serta dalam suasana tersebut. Kami ingin menunjukkan penghargaan kami terhadap perayaan ini, meski kami berbeda dalam hal keyakinan. Ketika doa dimulai, saya memilih untuk diam sejenak, meresapi kedamaian yang hadir dalam setiap kata yang diucapkan. Meski berada di tengah-tengah kebiasaan yang asing bagi saya, saya merasa tenang dan penuh rasa syukur, mengingat bahwa kami berada di sini untuk mendukung teman-teman kami, bukan untuk menilai atau menghakimi.

Tiba-tiba, suasana gereja yang damai itu berubah. Lampu-lampu gereja padam, dan seketika itu juga ruangan menjadi gelap. Saya terkejut, dan sedikit panik mulai merayapi hati. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ada rasa khawatir tentang bagaimana jemaat akan merespons gangguan tersebut. Namun, dengan tenang dan penuh kedamaian, jemaat mulai menyalakan lilin-lilin kecil yang mereka bawa. Cahaya lilin itu menerangi ruangan dengan lembut, menciptakan atmosfer yang sangat magis dan tenang. Keheningan yang menyertai suasana gelap itu justru memberikan ketenangan tersendiri. Meski ada gangguan teknis yang tak terduga, ibadah terus berjalan lancar, dan tidak ada yang panik. Semua orang tetap melanjutkan doa dan ibadah dengan penuh rasa syukur. Saya merasa sangat terharu melihat ketenangan jemaat. Mereka tetap bersatu, tidak terpengaruh oleh ketidaksempurnaan yang terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun