Siang itu, di kantor redaksi sebuah koran ternama di Jakarta. Rapat redaksi sedang berlangsung. Kali ini isunya adalah berita pembunuhan seorang pejabat lokal setempat yang ditemukan mati dengan kepala terpisah di sebuah apartemen mewah di Jakarta.
Di situ tertulis, “..bersamaan dengan jasad tanpa kepala, ditemukan pula sesosok wanita tanpa busana dalam keadaan pingsan. Pembunuhan diperkirakan terjadi tengah malam melalui jejak darah yang mengering. Petugas security apartemen membuka flat dengan kunci duplikat karena melihat ceceran darah yang mengering dibawah pintu masuk. Polisi sementara mengumpulan keterangan dengan memeriksa sejumlah saksi. Tapi menurut pengakuan sejumlah saksi, mereka hanya melihat pria itu naik ke Lt 10 apartemen bersama seorang wanita yang juga ditemukan dalam keadaan pingsan dan tanpa busana. Saat ditemukan, di dada pria itu terdapat goresan kecil bertuliskan “KORUPTOR HARUS MATI!”
Satu persatu pihak apartemen diperiksa, termasuk security yang berjaga pada malam pembunuhan. Namun tak satupun yang mengaku melihat orang lain selain korban dan seorang wanita yang kemudian ditemukan pingsan di dalam kamar. Polisi mencari tahu apakah ada orang lain yang terlihat mencurigakan pada malam pembunuhan. Tapi jawabannya nihil, pihak keamanan mengaku tidak melihat. Sampai akhirnya Polisi meninggalkan apartemen sambil membawa rekaman CCTV pada malam kejadian.
Pada halaman lain, koran tersebut mengulas rekam jejak korban pembunuhan. Korban disebut sebagai pejabat tinggi salah satu instansi strategis di Ibu Kota. Ia dikenal memiliki relasi luas, tapi reputasinya buruk. Ia disebut memiliki harta melimpah yang beberapa diantaranya diduga dari hasil korupsi. Ia berkali-kali dilaporkan oleh sejumlah LSM karena dugaan korupsi, namun tak juga diproses oleh aparat penegak hukum. Isu yang berhembus, sejumlah aparat juga sudah disuap agar tak kasusnya tidak diproses.
“Gila, korban itu narasumber kita bulan lalu.” Ujar Erik setengah berteriak dihadapan peserta rapat. Erik Pimpinan Redaksi (Pimred) koran tersebut berdiri sambil memegang dua koran. Satu yang menerbitkan berita pembunuhan tersebut. Satunya lagi koran mereka yang memuat wawancara dengan korban bulan lalu. Tertulis di halaman pertama, “Saya difitnah!”
“Ini korban yang ketiga, dan mereka semua adalah narasumber kita” Johan, wakil Pimred menimpali. “kalau begini, bisa-bisa polisi akan mendatangi kita untuk mengorek informasi seputar pembunuhan ini.” Ujarnya menambahkan.
“Tepat, tidak lama lagi” Tedy, redaktur berita kriminal. “Saya mendapat informasi dari sumber di kepolisian, kalau tidak lama lagi, polisi akan ke kantor kita untuk mencari bukti.”
Sejenak suasana hening. Ketegangan memancar diwajah mereka. Kasus pembunuhan ini memang aneh, karena korbannya adalah pejabat pemerintah yang menjadi narasumber mereka dalam rubrik wawancara khusus.
“Arya, apa komentarmu? Kau yang mewancarai ketiga narasumber ini” Erik berpaling ke sosok wanita yang duduk di kursi ujung.
Wanita yang dipanggil Arya itu membetulkan posisi duduknya. Sejenak semua mata memandangnya. Dengan membetulkan kaca matanya, ia berujar. “Memang kasus ini aneh, dan menurutku bukan sebuah kebetulan ketika semua korbannya adalah narasumber kita.”
“Lantas, apa analisismu? Erik melemparkan pertanyaan.