Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen akhirnya resmi dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK atas sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 tersebut dibacakan pada Kamis, 2 Januari 2025.
Putusan MK tersebut menetapkan bahwa partai politik peserta pemilu berhak untuk mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden tanpa adanya batasan prosentase kursi DPR atau suara sah partai politik secara nasional.
Dalam aturan sebelumnya, yakni pasal 222 Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 mensyaratkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20 persen kursi partai politik atau gabungan partai politik di DPR RI, atau minimal 25 persen suara sah nasional partai poltik atau gabungan partai politik berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.
Putusan MK tentang presidential threshold atas gugatan/permohonan pengujian yang diajukan oleh 4 (empat) orang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (Enika Maya Oktaviana, Rizki Maulana, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna) tersebut mungkin merupakan sebuah kejutan di awal tahun 2025.
Hal itu mengingat gugatan/permohonan pengujian tentang presidential threshold, sebelumnya sudah diajukan sebanyak 34 kali dan sebanyak itu pula ditolak oleh MK.
Alasan MK menolak gugatan/permohonan pengujian tentang presidential threshold karena hal itu merupakan open legal policy, diserahkan kepada pembuat Undang-undang.
Secara objektif, putusan MK tentang presidential threshold tersebut merupakan angin segar bagi demokrasi Indonesia. Putusan MK tentang presidential threshold tersebut juga merupakan putusan yang hebat dan tepat. Sebab hal itu akan membuat demokrasi Indonesia jadi lebih sehat.
Mengapa demikian? Ada banyak konsekuensi positif dari putusan MK tentang presidential threshold tersebut.
Pertama, Setiap partai politik peserta pemilu jadi independen, bisa mengusung calon presiden/calon wakil presiden sendiri tanpa harus tergantung kepada partai politik lainnya.
Hal itu dengan sendirinya akan mengurangi/menghapus "politik dagang sapi" atau politik transaksional diantara partai politik. Hegemoni partai politik penguasa atau partai politik kuat terhadap partai politik yang lebih kecil/lemah untuk membangun koalisi pragmatis akan berkurang.