Jalan di area Tower Zam-zam dekat Masjidil Haram sudah diblokade dan dijaga oleh para asykar (penjaga keamanan). Hal itu membuat jemaah haji yang berada di sekitar jalan tersebut hanya bisa berdiri sambil berdesakan satu sama lain.
Jumlah jemaah haji yang berada di tempat itu sangat banyak. Dalam cuaca dan suhu yang sangat panas mereka berdesakan dan berharap bisa masuk ke area Masjidil Haram.
Namun apa daya, tak satu pun jemaah haji yang diperbolehkan dan bisa masuk ke area Masjidil Haram. Penjagaan malah semakin diperketat.
Dalam kondisi panas dan berdesakan seperti itu, saya sempat berpikir bahwa saya akan dipanggil Tuhan waktu itu. Sebab saya ingat peristiwa tragedi Mina yang memakan banyak korban akibat terjadi penumpukan massa dan berdesak-desakan.
Dalam kondisi yang cukup genting tersebut, allhamdulillah datang waktu salat jum’at. Setelah datang waktu salat jum’at yang ditandai oleh suara azan yang terdengar dari Masjidil Haram, massa tidak berdesak-desakan lagi dan dengan sendirinya berpencar mengambil tempat untuk melaksanakan salat jum’at di atas aspal.
Akan tetapi waktu itu saya masih bingung dan khawatir, sebab saya tidak membawa alas atau tikar untuk salat. Sementara posisi saat itu berada di atas aspal yang panas.
Dalam kondisi itu pertolongan Tuhan datang. Salah seorang asykar tanpa diduga tiba-tiba membawakan kardus bekas bungkus kulkas. Saya pun bisa salat jum’at di atas aspal dengan cukup “nyaman”. Tentunya betapa bersyukurnya saya waktu itu.
Saya, teman, dan jemaah haji lain sampai mengalami kejadian seperti tiada lain karena terlalu memaksakan untuk melaksanakan salat di Masjidil Haram setelah Closing Date yang menyebabkan kepadatan luar biasa. Padahal alangkah lebih baik jika melaksanakan salat fardhu di musala hotel atau masjid yang ada di sekitar hotel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H