Semua jemaah haji yang berangkat ke tanah suci tentu untuk melaksanakan ibadah haji. Kendati jemaah haji berada di tanah suci selama kurang lebih 40 hari, tapi puncak pelaksanaan ibadah haji itu sendiri hanya 5-6 hari.
Puncak pelaksanaan ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah sampai tanggal 12/13 Dzulhijjah. Puncak pelaksanaan ibadah haji tersebut biasa disebut dengan istilah Armuzna (Arafah-Muzdalifah-Mina). Ya, karena puncak pelaksanaan ibadah haji dimulai dari Arafah dan berakhir di Mina.
Sebelum puncak pelaksanaan ibadah haji, jemaah haji mengisi waktu dengan melakukan banyak aktivitas yang bermacam-macam. Pada umumnya jemaah haji "aji mumpung" melakukan umroh sunnat atau ziarah-ziarah ke tempat bersejarah. Ada juga yang sekadar berbelanja mencari oleh-oleh di pasar-pasar atau di pusat perbelanjaan yang ada di kota Mekkah.
Semua itu tidaklah masalah. Jemaah haji mau melakukan aktivitas apa pun dipersilakan. Akan tetapi jemaah haji sebaiknya "mengukur diri", apakah aktivitas yang dilakukan itu akan mengganggu kebugaran badan untuk pelaksanaan puncak pelaksanaan ibadah haji atau tidak.
Sebab semua harus kembali kepada niat atau tujuan awal, bahwa berangkat ke tanah suci itu untuk melaksanakan ibadah haji. Itu yang pokok, yang utama, yang primer. Sedangkan hal lain di luar itu adalah sekunder.
Dengan demikian jemaah haji harus bisa memperkirakan atau "mengukur diri", apakah aktivitas yang dilakukan itu akan mengganggu puncak pelaksanaan ibadah haji atau tidak.
Tidak sedikit jemaah haji yang memforsir diri melakukan umroh sunnat berpuluh-puluh kali atau ziarah ke tempat-tempat bersejarah berulang kali, tapi kemudian jatuh sakit sehingga pas pelaksanaan puncak pelaksanaan ibadah haji tidak maksimal atau malah masuk rumah sakit.
Tidak sedikit jemaah haji yang "pasang target" harus melakukan umroh sunnat 10, 17, atau 20 kali misalnya. Padahal melakukan umroh sunnat terlalu banyak itu cukup menguras tenaga yang luar biasa.
Mari kita cermati, untuk melakukan satu kali umroh sunnat saja cukup menguras tenaga. Untuk memulai umroh, jemaah haji harus keluar dulu kota Mekkah untuk mengambil miqot. Miqot, yaitu tempat untuk memulai niat melakukan umroh.
Tempat yang biasa dijadikan tempat miqot umroh adalah Tan'im (Masjid Aisyah), Ji'ronah, dan Hudaibiyah. Diantara ketiga tempat miqot tersebut, Tan'im (Masjid Aisyah) adalah tempat favorit untuk miqot umroh. Hal itu dikarenakan jarak Tan'im (Masjid Aisyah) dengan kota Mekkah sekira 5-6 kilometer saja.
Sementara Ji'ronah dan Hudaibiyah jaraknya relatif jauh dengan kota Mekkah. Jarak Ji'ronah-Mekkah sekira 35 kilometer. Sedangkan jarak Hudaibiyah-Mekkah sekira 22 kilometer.
Dari tempat miqot, jemaah haji berniat untuk melaksanakan umroh. Setelah itu berangkat ke Mekkah menuju Masjidil Haram.
Seampainya di Masjidil Haram, jemaah haji kemudian melakukan tawaf. Tawaf, yaitu mengelilingi ka'bah sebanyak 7 kali putaran.
Melakukan tawaf cukup menguras tenaga. Jemaah haji harus berjalan mengelilingi ka'bah dan berdesak-desakan dengan jemaah haji lain dari berbagai belahan dunia dengan postur badan yang beragam.
Jika tawaf dilakukan di area ka'bah, mungkin hanya memakan waktu kurang lebih satu jam. Kalau lancar bisa kurang dari satu jam.
Akan tetapi jika tawaf dilakukan di lantai dua atau lantai tiga Masjidil Haram, maka waktu tawaf akan lebih lama lagi. Sebab radius lantai dua atau lantai tiga dengan ka'bah lebih jauh lagi. Dengan demikian waktu tawaf bisa menghabiskan waktu lebih dari 70 menit.
Intinya ketika melakukan tawaf semakin dekat radius dengan ka'bah, maka semakin pendek jarak dan waktu tempuh. Sebaliknya semakin jauh radius dengan ka'bah, maka semakin panjang jarak dan waktu tempuh.
Setelah selesai melakukan tawaf, jemaah haji kemudian menuju mas'a untuk melakukan sa'i. Sa'i, yaitu berjalan dari bukit Safa ke bukit Marwah dan dari bukit Marwah ke bukit Safa sebanyak 7 kali.
Jarak bukit safa ke bukit Marwah dan sebaliknya adalah 500 meter alias setengah kilomter. Berarti jika 7 kali, jemaah haji sama dengan berjalan sejauh 3,5 kilometer.
Jarak sejauh itu tentu akan cukup menguras tenaga. Jarak sejauh itu akan cukup melelahkan jemaah haji.
Nah dari satu kali umroh bisa tergambar seberapa banyak energi atau tenaga yang dihabiskan oleh seorang jemaah haji. Apalagi jika dilakukan berpuluh-puluh berkali-kali.
Pertanyaannya, apakah tidak boleh melakukan banyak umroh sunnat? Siapa yang melarang? Siapa pun boleh dan dipersilakan.
Hanya saja, intinya jemaah haji harus bisa "mengukur diri". Jangan sampai karena melaksanakan banyak umroh sunnat atau melakuakn ziarah-ziarah kemudian menyebabkan jemaah haji jatuh sakit sehingga tidak bisa melaksanakan ibadah haji dengan baik karena harus dirawat di rumah sakit misalnya. Tentu hal itu tidak diharapkan.
Padahal melaksanakan ibadah haji adalah tujuan utama ke tanah suci. Itu yang menjadi keinginan dan harapan semua jemaah haji, bahkan sampai rela menunggu belasan atau puluhan tahun lamanya untuk bisa melaksanakan ibadah haji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H