Suatu pagi seorang teman nge-chat, menanyakan kabar, dan lain-lain. Memang sudah cukup lama sang teman tidak menelpon atau nge-chat.
Tapi perasaan "kurang enak". Sebab saya tahu kalau dia nge-chat hampir dipastikan ada "ujung"nya.
Ternyata benar. Ujung-ujungnya dia mau pinjam sejumlah uang. Dia bilang tak akan lama. Mungkin sekira seminggu an.
Sang teman bilang lagi butuh uang untuk berobat orang tuanya. Dia pun bilang lagi "tak megang" uang.
Saya berpikir beberapa saat. Kalau saya kasih pinjam sesuai permintaannya, mungkin saya akan menyesal. Sebab berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, dia tak pernah tepat waktu menepati janji.
Lagi pula terus terang uang sejumlah itu saya sendiri juga lagi "tak megang". Namanya uang kalau pun kita megang cukup banyak, ya bisa habis dalam sesaat kita gunakan untuk kebutuhan kita dan keluarga.
Saya pun terus terang kepada sang teman bahwa uang sejumlah itu tidak ada. Sebab beberapa hari yang lalu digunakan untuk membeli laptop dan kebutuhan lain.
Namun sang teman sepertinya kurang percaya bahwa saya lagi "tak megang" uang. Dia terus "merayu". Tapi saya katakan yang sebenarnya bahwa saya memang lagi "tak megang" uang.
Akhirnya sang teman minta bantuan untuk mencarikan pinjaman. Dia nampak nya sangat percaya bahwa saya bisa mengusahakannya.
Beberapa hari kemudian dia nge-chat lagi. Dia tidak menanyakan apakah saya berhasil atau tidak mencarikan pinjaman untuknya. Dia to the point mau pinjam uang lagi tapi dalam jumlah yang lebih kecil. Mungkin dia berpikir, masa uang segitu saya gak punya?
Dia beberapa kali meyakinkan saya bahwa uang itu akan dikembalikan dalam waktu tiga hari. Tak akan bohong katanya.
Walau pun saya tahu bahwa dia tak pernah menepati janji dalam hal mengembalikan uang, tapi saya kasihan juga. Akhirnya saya kasih dia pinjaman sejumlah uang sesuai permintaannya.
Sebenarnya bagi saya pribadi, meminjamkan uang adalah sebuah dilema. Di satu sisi kita harus menolong orang lain yang lagi membutuhkan dan kita dalam kondisi bisa membantu. Tapi di sisi lain orang yang kita bantu seringkali suka melalaikan kewajiban dan janjinya mengembalikan uang.
Kita memberi pinjaman kepada orang lain baik teman, tetangga, atau kerabat sesungguhnya bukan karena kita banyak uang. Memberi pinjaman kepada orang lain adalah bentuk tolong menolong yang memang harus kita lakukan di kala mampu.
Bukan satu atau dua orang dan bukan sekali dua kali saya meminjamkan uang berakhir "duka". Ada yang tidak bayar sama sekali sampai saat ini. Ada yang pura-pura amnesia. Ada yang janji mengembalikan uang dua atau tiga hari sampai waktu bulanan belum juga "ingat". Dan lain-lain.
Sekali lagi, kita menolong orang dengan memberikan pinjaman uang bukan karena kita banyak uang. Kalau harus kita jujur, kita pun pasti masih banyak kebutuhan. Akan tetapi karena hal itu merupakan bentuk perbuatan tolong menolong, maka hal itu kita lakukan.
Kadang saya berpikir untuk bersikap tegaan atau jadi "raja tega". Artinya sepilu atau sedramatis apa pun cerita orang yang akan pinjam uang, saya harus mengabaikannya atau tak mempedulikannya. Tapi ternyata hal itu sulit saya lakukan.
Pantas di kalangan orang tua kita di masyarakat Sunda ada sebuah metafor, bahwa orang yang mau pinjam uang itu ibarat Gatot Kaca dan ketika mau bayar seperti Arjuna.
Artinya apa? Waktu mau pinjam sangat semangat dan "enerjik" layaknya Gatot Kaca. Akan tetapi pas saat harus mengembalikan jadi "loyo" layaknya Arjuna.
Padahal orang yang meminjam uang seharusnya ingat bagaimana ketika dia dibantu. Bagaimana leganya perasaan ketika kebutuhannya bisa terpenuhi, bagaimana leganya perasaan ketika dia bisa pergi ke dokter, dan lain-lain.
Tapi tentu saja tidak semua orang bersikap buruk ketika dia meminjam uang dan waktu mengembalikannya. Hanya saja mungkin jumlahnya tidak banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H