Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Tips Menghindari Keracunan Jengkol

28 Desember 2023   18:00 Diperbarui: 28 Desember 2023   18:04 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang suka jengkol? Pasti akan banyak orang yang mengacungkan tangan. Kendati buah yang termasuk famili Fabaceae (Leguminosae) yang juga dikenal sebagai keluarga polong-polongan ini beraroma kurang sedap dan menyengat, tapi banyak orang yang menyukainya.

Terutama di kalangan masyarakat Sunda, jengkol sudah sangat familiar sebagai teman nasi atau dalam bahasa Sunda "rencang sangu". Jengkol juga sudah identik dengan orang Sunda itu sendiri.  

Kalau mau makan enak, banyak orang Sunda cukup dengan jengkol yang masih muda (mentah), sambel, dan lauk asin sebagai "rencang sangu"nya. Dijamin, mereka akan makan lahap dan sulit dihentikan.

Mungkin bukan hanya orang Sunda, masyarakat lain juga banyak yang menyukai jengkol. Baik dimakan mentah atau pun diolah menjadi aneka kuliner yang enak, nikmat, dan lezat.

Jengkol yang diolah biasanya buah jengkol yang sudah tua (matang). Buah jengkol yang sudah tua (matang) itu dimasak, dijadikan semur jengkol, gulai jengkol, goreng jengkol, oseng-oseng jengkol, sambel goreng jengkol, rendang jengkol, jengkol balado, dan lain-lain.

Namun para penggemar jengkol harus berhati-hati. Sebab di balik buah jengkol yang enak dan lezat itu ada potensi bahaya yang mengancam. Ya, jengkol terkadang membuat orang mengonsumsinya keracunan. Keracunan jengkol dalam istilah Sunda disebut dengan "jengkoleun".

"Jengkoleun" adalah kondisi badan orang yang telah mengonsumsi jengkol terasa lemas, nyeri perut, mual dan muntah, dan terjadi gangguan pencernaan. Gangguan pencernaan yang nyata adalah terasa sakit ketika buang air kecil.

Dalam air seni biasanya ada mengandung semacam serbuk kecil berwarna putih. Serbuk kecil berwarna putih itu adalah getah atau "aci" buah jengkol penyebab "jengkoleun".

Mengapa terjadi "jengkoleun"? Hal itu biasanya karena terlalu banyak mengonsumsi buah jengkol mentah atau karena cara mengolah buah jengkol yang kurang tepat.

Selain itu "jengkoleun" bisa terjadi karena orang yang telah mengonsumsi jengkol tanpa jeda langsung melakukan aktifitas fisik yang cukup menguras keringat atau aktivitas yang cukup berat.

Hal itu berdasarkan pengalaman penulis sendiri di masa kecil. Ya, penulis sendiri pernah mengalami "jengkoleun" sekira usia 10 tahunan (ini rahasia ya, jangan bilang-bilang yang lain).

Saat itu penulis masih ingat, siang menjelang sore. Penulis sedang main kucing-kucingan dengan teman-teman sebaya. Tak jauh dari rumah.

Kemudian semua beristirahat terlebih dahulu. Sebagian pulang dulu ke rumah masing-masing untuk makan siang. Termasuk penulis.

Kebetulan menu makan siang waktu itu diantaranya ada sambel terasi dan jengkol muda. Tentu saja sebagai orang Sunda penulis sangat suka. Penulis pun makan dengan lahap.

Nah habis makan penulis dan teman-teman sebaya yang lain kembali bermain kucing-kucingan. Namun tak lama kemudian penulis merasa mual dan mulas. Penulis juga merasa sangat ingin buang air.

Hal yang tak pernah penulis alami sebelumnya terjadi. Waktu buang air terasa panas dan sakit. Penasaran penulis perhatikan warna air seni. Ternyata berwarna keruh dan banyak serbuk putih seperti serbuk kapur tulis.

Tentu saja waktu itu penulis panik. Saat itu fixed penulis keracunan jengkol alias "jengkoleun".

Waktu itu penulis dikasih air kelapa dan disuruh minum banyak air putih oleh ibu. Alhamdulillah esok harinya penulis sembuh dari "jengkoleun".

Setelah kejadian itu ibu memberi semacam "tips" dan menasehati penulis untuk tidak mengonsumsi jengkol terlalu banyak (harus beraturan). Selain itu tidak melakukan aktifitas fisik yang berat atau aktivitas yang menguras keringat setelah mengonsumsi jengkol.

Ibu juga memberi tahu bahwa jika mau mengonsumsi jengkol mentah, harus yang masih muda. Cirinya renyah, tidak alot.

Namun jika jengkol sudah agak alot, sebaiknya ditanam dulu barang dua atau tiga hari di dalam tanah. Istilah ibu, jengkol itu supaya "ngambeu" (mencium) bau tanah terlebih dahulu, sehingga getah atau "aci"nya tidak menyebabkan keracunan.

"Tips" dan nasehat dari ibu penulis camkan dalam hati dan penulis jadikan pegangan agar tak terjadi lagi keracunan jengkol alias "jengkoleun". Dan alhamdulillah penulis tak pernah mengalami "jengkoleun" lagi.

Jadi makan jengkol sebanyak apa pun, penulis tak merasa khawatir terkena "jengkoleun". Sebab penulis selalu ingat dan menjalankan "tips" dan nasehat dari ibu.

Bahkan pernah ada dua kejadian lucu dan sedikit memalukan. Dua-duanya terjadi ketika penulis masih kuliah, masih jadi mahasiswa.

Pertama, waktu penulis ngekos. Suatu waktu ada teman satu asrama, kaka tingkat pulang dari kampung, dari daerah Banten. Dia membawa jengkol banyak sekali.

Alhasil semua penghuni asrama mendapat jatah jengkol cukup banyak. Termasuk penulis dan teman sekamar.

Singkat cerita jengkol itu penulis olah. Entah jadi balado atau oseng-oseng, penulis lupa. Pokoknya rasa jengkol terasa lezat.

Sang teman satu kamar tentu saja makan jengkol olahan penulis dengan lahap karena terasa lezat. Setelah itu dia keluar asrama, entah berolah raga atau apa.

Beberapa lama kemudian sang teman kembali ke asrama. Wajahnya terlihat pucat dan badannya terlihat sedikit lemas. Dia mengaku merasa mual dan ingin buang air. Ternyata sang teman "jengkoleun".

Hal yang sama tidak terjadi pada penulis. Padahal penulis sama-sama mengonsumsi olahan jengkol tadi.

Hal itu karena penulis selalu ingat "tips" dan nasehat dari ibu, bahwa jangan melakukan aktivitas yang berat atau menguras keringat setelah mengonsumsi jengkol. Jadi penulis aman. Sementara sang teman justru melakukan hal yang tidak boleh dilakukan setelah mengonsumsi jengkol. Akibatnya sang teman terkena "jengkoleun".

Penulis kemudian memberi saran sang teman yang "jengkoleun" agar minum banyak air putih. Hal itu agar racun jengkol terkuras, terbawa bersama air seni. Alhamdullilah esok harinya sang teman sehat kembali, sembuh dari "jengkoleun"nya

Kedua, waktu penulis melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Saat itu penulis melaksanakan KKN di Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Kebetulan saat itu lagi musim rambutan, musim petai, dan musim jengkol. Hal itu membuat kami para mahasiswa sering mendapat kiriman rambutan, petai, dan juga jengkol dari warga yang kebetulan sedang panen rambutan, petai, dan jengkol.

Pernah ada warga yang kirim jengkol setengah karung ke rumah tempat kami tinggal. Semua jengkol itu hampir semuanya habis disantap oleh penulis. Memang tidak sekaligus dimakan, tapi tiap hari penulis makan hingga habis.

Tak heran teman-teman KKN waktu itu memberi sebutan penulis dengan "jengkolic". Artinya kurang lebih orang yang maniac jengkol.

Alhamdulillah mengonsumsi jengkol sebanyak itu penulis tak kurang suatu apa pun. Penulis aman tidak terkena "jengkoleun". Sebab penulis selalu ingat "tips" dan nasehat dari ibu.

Sebagian orang termasuk si ibu pemilik rumah menduga penulis kebal tidak terkena "jengkoleun" itu karena penulis punya "anti"nya, yakni berupa mantra-mantra atau doa'-do'a penangkal "jengkoleun".

Hal itu penulis tahu ketika suatu waktu anak perempuan yang punya rumah terkena "jengkoleun". Sepanjang malam teriak-teriak dan menangis.

Si ibu pemilik rumah mendatangi penulis untuk meminta "air do'a". Terus terang penulis waktu itu kaget. Waktu itu penulis seolah-olah dianggap "dukun".

Waktu itu penulis bilang ke si ibu pemilik rumah bahwa saya tidak punya ilmu apa-apa. Saya tidak bisa kasih jampi-jampi gitu.

Tapi si ibu pemilik rumah tidak percaya. Sebab dia melihat sendiri penulis makan jengkol sebanyak apa pun tidak terkena "jengkoleun". Hal itu menurutnya karena penulis punya "anti"nya, yakni berupa mantra-mantra atau doa'-do'a penangkal "jengkoleun".

Karena didesak terus menerus oleh si ibu pemilik rumah akhirnya penulis ambil gelas yang berisi air putih yang disodorkan. Kemudian penulis bacakan beberapa ayat suci al-Qur'an. Setelah itu penulis kasihkan ke si ibu pemilik rumah dan minta untuk segera diminumkan kepada anak perempuannya.

Penulis juga menyarankan kepada si ibu untuk memberi anak perempuannya air kelapa yang cukup banyak dan juga air putih.

Amazing, esok harinya anak perempuan si ibu sembuh dari "jengkoleun"nya. Semua seolah-olah berkat "air do'a" penulis. Padahal apa yang saya sarankan kepada si ibu adalah "tips" dari ibu penulis sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun