Ada sebuah anekdot. Alkisah ada seorang gadis menginap di rumah seorang nenek. Kepada si nenek, gadis itu tidak menceritakan dirinya berasal dari mana.
Namun keesokan harinya ketika mau sarapan, si nenek bisa menerka asal si gadis. Si nenek menyebut bahwa si gadis berasal dari daerah Sunda (Jawa Barat).
Sang gadis tentu saja agak kaget. Sang gadis bertanya-tanya dalam hati mengapa si nenek bisa menerka asal dirinya.
Penasaran, si gadis kemudian bertanya kepada si nenek. "Nek, kok nenek tahu kalau aku berasal dari daerah Sunda (Jawa Barat). Apakah karena aku terlihat cantik?, tanya sang gadis.
Si nenek menjawab, "Bukan Neng! Nenek tahu Neng orang Sunda bukan karena Neng terlihat cantik. Nenek tahu Neng orang Sunda itu karena (maaf) tadi di toilet tercium bau jengkol!"
Itu sekedar anekdot. Maksud dari anekdot itu tiada lain menggambarkan bahwa jengkol dan orang Sunda itu bisa disebut hal yang identik. Jengkol merupakan makanan favorit dan khas bagi banyak masyarakat Sunda pada umumnya.
Ya, orang Sunda memang sangat menyukai jengkol, sejenis buah berbentuk gepeng bundar polong (berkeping dua) yang memiliki aroma bau menyengat. Buah jengkol ini berwarna kekuninagn, dibungkus oleh kulit buah berwarna hitam kecoklatan.
Kendati buah jengkol memiliki aroma bau menyengat, tapi banyak orang menyukainya. Mungkin justru karena baunya yang menyengat itu, banyak orang jadi menyukainya.
Bagi sebagian (besar?) orang Sunda, untuk bisa makan enak itu tak perlu makanan mewah. Cukup nasi putih, sambel, ikan asin, dan lalab jengkol yang masih muda. Dijamin nafsu makan meningkat berlipat-lipat dan makan pun susah untuk dihentikan.
Buah jengkol bisa dikonsumsi mentah tapi bisa juga dikonsumsi setelah diolah terlebih dahulu. Buah jengkol yang dikonsumsi mentah itu biasanya jengkol yang masih muda. Sedangkan buah jengkol yang dikonsumsi setelah diolah terlebih dahulu biasanya buah jengkol yang sudah tua (matang).
Selain agak keras, biasanya buah jengkol yang sudah tua (matang) itu juga aromanya lebih kuat. Aroma buah jengkol yang sudah tua (matang) lebih menyengat dibandingkan buah jengkol yang masih muda.
Buah jengkol yang sudah tua (matang) biasanya diolah menjadi beragam jenis hidangan yang menggugah selera. Seperti semur jengkol, goreng jengkol, gulai jengkol, sambel goreng jengkol, rendang jengkol, jengkol balado, oseng-oseng jengkol, dan lain-lain.
Namun sebelum diolah, buah jengkol yang sudah tua (matang) ditanam atau dipendam dulu di dalam tanah selama dua atau tiga hari. Hal itu untuk menghilangkan "getah" yang bisa membuat orang yang mengonsumsinya keracunan. Buah jengkol yang sudah ditanam atau dipendam di dalam tanah, di daerah Sunda dikenal dengan istilah "sepi".
Menurut "kirata" (dikira-kira tapi nyata), nama "jengkol" merupakan istilah Sunda yang berasal dari singkatan kata "jengke" dan "morongkol". "Jengke" artinya jinjit atau berjinjit. Sedangkan "morongkol" artinya menciutkan badan hampir jadi bulat.
Mengapa jengkol diambil dari kata "jengke" dan "morongkol"? Menurut sebagian versi ada "sasakala" (asal-usul) nya. Berikut ini adalah "sasakala" buah jengkol.
Alkisah zaman dahulu kala di suatu kawasan di tatar Pasundan ada sebuah kerajaan kecil. Raja dari kerajaan itu memiliki seorang pangeran yang sangat tampan.
Suatu hari sang pangeran berkunjung ke suatu desa. Di sana sang pangeran bertemu seorang gadis kembang desa yang sangat cantik. Keduanya pun saling jatuh cinta.
Singkat cerita sang pangeran dan sang gadis sepakat untuk menikah. Namun sebelum waktu pernikahan tiba, sang pangeran jatuh sakit.
Tak ada tabib atau dukun yang bisa mengobati sakit sang Pangeran. Sang pangeran pun akhirnya meniggal dunia.
Tentu saja sang gadis sangat terpukul. Sang gadis merasa sangat kehilangan sang pangeran.
Saking cintanya kepada sang pangeran, sang gadis tiap hari menyiram makam sang pangeran dengan air bunga. Setelah beberapa hari kemudian terjadi sebuah keajaiban.
Dari atas makam sang pangeran tumbuh sebuah pohon yang tidak dikenal oleh masayarakat di sana sebelumnya. Pohon itu semakin lama semakin besar hingga akhirnya berbuah. Buah pohon itu berwarna hitam kecoklatan dan berbentuk memanjang. Â
Sang gadis penasaran dengan buah pohon yang tumbuh dari atas makam sang pangeran. Sang gadis pun mencoba memetik buah pohon itu.
Namun alangkah kagetnya sang gadis. Ketika tangannya mencoba memetik buah pohon itu, buah pohon yang tadinya memanjang jadi mengkerut membentuk seperti melingkar (dalam bahasa sunda "morongkol").
Si gadis mencoba lagi, tapi tetap tak bisa menjangkau buah itu. Bahkan sampai si gadis "jengke" (jinjit), tetap buah itu tak bisa dijangkau karena semakin "morongkol".
Orang-orang di kerajaan tersebut kemudian menyebut buah baru tersebut dengan "jengkol", yakni diambil dari kata "jengke" dan "morongkol".
Ternyata buah jengkol tersebut sangat disukai oleh masyarakat kerajaan tersebut. Buah jengkol tersebut mereka jadikan lauk untuk makan sehari-hari.
Itulah cerita asal-usul atau "sasakala" buah jengkol yang sempat penulis baca dulu dalam sebuah buku berbahasa Sunda. Benar atau tidak, namanya juga cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H