Selain agak keras, biasanya buah jengkol yang sudah tua (matang) itu juga aromanya lebih kuat. Aroma buah jengkol yang sudah tua (matang) lebih menyengat dibandingkan buah jengkol yang masih muda.
Buah jengkol yang sudah tua (matang) biasanya diolah menjadi beragam jenis hidangan yang menggugah selera. Seperti semur jengkol, goreng jengkol, gulai jengkol, sambel goreng jengkol, rendang jengkol, jengkol balado, oseng-oseng jengkol, dan lain-lain.
Namun sebelum diolah, buah jengkol yang sudah tua (matang) ditanam atau dipendam dulu di dalam tanah selama dua atau tiga hari. Hal itu untuk menghilangkan "getah" yang bisa membuat orang yang mengonsumsinya keracunan. Buah jengkol yang sudah ditanam atau dipendam di dalam tanah, di daerah Sunda dikenal dengan istilah "sepi".
Menurut "kirata" (dikira-kira tapi nyata), nama "jengkol" merupakan istilah Sunda yang berasal dari singkatan kata "jengke" dan "morongkol". "Jengke" artinya jinjit atau berjinjit. Sedangkan "morongkol" artinya menciutkan badan hampir jadi bulat.
Mengapa jengkol diambil dari kata "jengke" dan "morongkol"? Menurut sebagian versi ada "sasakala" (asal-usul) nya. Berikut ini adalah "sasakala" buah jengkol.
Alkisah zaman dahulu kala di suatu kawasan di tatar Pasundan ada sebuah kerajaan kecil. Raja dari kerajaan itu memiliki seorang pangeran yang sangat tampan.
Suatu hari sang pangeran berkunjung ke suatu desa. Di sana sang pangeran bertemu seorang gadis kembang desa yang sangat cantik. Keduanya pun saling jatuh cinta.
Singkat cerita sang pangeran dan sang gadis sepakat untuk menikah. Namun sebelum waktu pernikahan tiba, sang pangeran jatuh sakit.
Tak ada tabib atau dukun yang bisa mengobati sakit sang Pangeran. Sang pangeran pun akhirnya meniggal dunia.