Memang dalam sistem Pemilu proporsional terbuka pemilih dilibatkan langsung untuk memilih calon anggota legislatif pilihannya. Hal itu membuat sistem ini dipandang lebih demokratis.
Padahal calon anggota legislatif yang dipilih banyak pemilih dalam sistem Pemilu proporsional terbuka karena memiliki popularitas misalnya, belum tentu memiliki kualitas yang mumpuni. Tak ada kaitannya antara popularitas si calon anggota legislatif dengan kualitas si calon anggota legislatif.
Bisa jadi si calon anggota legislatif hanya memiliki popularitas, tapi tidak memiliki kualitas. Padahal kualitas adalah hal yang diharapkan dari seorang anggota legislatif.
Dalam hal ini sangat mungkin yang paling tahu kualitas seorang calon anggota legislatif justru partai politik sendiri. Partai politik sangat tahu siapa diantara kader atau calon anggota legislatifnya yang layak jadi wakil rakyat.
Masalah adanya kekhawatiran ada "main mata" antara partai politik dengan para calon anggota legislatif tertentu bukan urusan pemilih. Bukankah "main mata" dalam politik itu adalah hal yang lumrah?
Bagi banyak rakyat pemilih sistem Pemilu proporsional terbuka justru menjadi beban. Hal itu bisa dilihat ketika pemungutan suara di Hari-H Pemilu.
Dalam surat suara, para pemilih harus mencari nama calon anggota legislatif yang akan dipilihnya diantara ratusan calon anggota legislatif lainnya. Bukankah itu menyusahkan? Apalagi jika pemilih yang bersangkutan sudah berusia uzur atau sedang sakit. Â
Maka tak heran jika pada akhirnya banyak pemilih memilih calon anggota legislatif sekenanya, asal-asalan karena susah dan terlanjur pusing. Lagi pula banyak pemilih tidak mengenal siapa yang akan dipilihnya. Ujung-ujungnya siapa saja dipilih atau dicoblos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H