Dua sistem Pemilu, yakni proporsional tertutup dan proporsional terbuka pernah diterapkan dalam Pemilu di Indonesia.
Proporsional tertutup pernah diterapkan di Pemilu di Pemilu pertama tahun 1955 sampai Pemilu 1999. Sedangkan proporsional terbuka mulai diterapkan di Pemilu pasca Reformasi, tepatnya mulai Pemilu 2004. Selanjutnya diterapkan pula di Pemilu 2009, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019.
Dalam sistem Pemilu proporsional terbuka, pemilih dapat memilih langsung calon anggota legislatif yang akan dipilihnya.
Sebaliknya dalam sistem Pemilu proporsional tertutup, pemilih tidak dapat memilih langsung calon anggota legislatif yang akan dipilihnya. Pemilih cukup memilih partai politik.
Penentuan calon anggota legislatif nantinya ditentukan oleh partai politik yang bersangkutan. Hal itu tergantung nomor urut calon anggota legislatif di partai politik itu.
Jika si calon anggota legislatif berada di nomor-nomor awal, kemungkinan terpilih jadi anggota legislatif cukup besar. Sebaliknya jika si calon anggota legislatif berada di nomor-nomor buncit, kemungkinan terpilih jadi anggota legislatif cukup kecil.
Tak heran di zaman Orde Baru dulu ada istilah "nomor sepatu" untuk para calon anggota legislatif. Istilah "nomor sepatu" digunakan untuk para calon anggota legislatif yang memiliki nomor besar, yang kecil kemungkinan terpilih oleh partai politik jadi anggota legislatif .
Saat ini sebagian pihak merasa khawatir sistem Pemilu proporsional terbuka akan beralih kembali ke sistem Pemilu proporsional tertutup. Pertanyaannya, apa ruginya bagi pemilih jika hal itu terjadi?
Sejatinya pemilih tidak punya kepentingan. Pemilih tidak akan untung atau rugi. Pihak yang berkepentingan dalam hal ini adalah partai politik dan si calon anggota legislatifnya.
Para pemilih, yakni rakyat sesungguhnya tidak peduli dan ambil pusing siapa calon anggota legislatif yang akan jadi anggota legislatif. Â