Seminggu sudah berlalu sejak terjadinya gempa bumi yang meluluhlantakkan dan menelan ratusan korban di beberapa wilayah kabupaten Cianjur, Senin siang WIB (21/11). Sampai saat ini tercatat lebih dari 300 orang dinyatakan meninggal dunia, puluhan orang masih belum ditemukan, dan ribuan orang mengungsi.
Belum lagi ribuan bangunan rusak dan hancur. Baik rumah, tempat ibadah, gedung pemerintahan, perusahaan, dan sebagainya.
Dahsyatnya gempa Cianjur telah mengundang perhatian, simpati, dan empati banyak pihak. Seperti lembaga pemerintahan, lembaga keagamaan, lembaga sosial, organisasi sosial, termasuk dari perorangan, dan lain-lain. Mereka dengan antusias mengumpulkan donasi/bantuan dan menyalurkannya kepada para korban terdampak gempa.
Satu hari setelah terjadinya gempa, saya saksikan setiap hari setiap saat banyak mobil bertuliskan "Bantuan Bencana Cianjur" berdatangan ke wilayah Cianjur. Mobil-mobil tersebut membawa berbagai macam barang. Seperti sembako, pakaian, tenda, alas tempat tidur, perabot rumah tangga, dan lain-lain.
Bantuan yang datang dari banyak pihak dan dari berbagai kota di Indonesia begitu deras dan banyak. Ini sebagai indikator bahwa tidak benar masyarakat kita sudah individualistis, sudah tipis rasa simpati dan empatinya. Faktanya ternayata masih sangat banyak orang yang masih peduli kepada sesamanya.
Derasnya bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak dari berbagai kota di Indonesia kepada para korban terdampak gempa Cianjur merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Sebab bantuan tersebut memang sangat diperlukan, sangat dibutuhkan oleh para korban.
Namun di sisi lain derasnya bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak dari berbagai kota di Indonesia selama seminggu ini bagi saya pribadi membuat "takut" dan "khawatir" Mengapa? Saya "takut" dan "khawatir" baerbagai bantuan yang datang dengan derasnya hanya di awal-awal saja. Ke sananya bantuan kemudian hanya sedikit atau bahkan mungkin terhenti.
Bisa saja para donatur atau para pemberi bantuan berpikiran bahwa diri atau pihaknya sudah banyak membantu para korban terdampak gempa di awal. Padahal para korban terdampak gempa membutuhkan bantuan yang berkesinambungan dan dalam waktu yang cukup panjang, tidak hanya di awal.
Hal itu dikarenakan pasca gempa, kehidupan masyarakat tidak akan pulih dalam waktu yang cepat dan singkat. Mungkin satu bulan, mungkin enam bulan, atau mungkin juga lebih dari satu tahun.
Bagaimana jika dalam waktu yang panjang itu bantuan tidak ada lagi? Bagaimana nasib para korban terdampak gempa?
Oleh karena itu pemberian dan penyaluran bantuan kepada para korban terdampak gempa mungkin perlu diatur. Hal itu agar bantuan tidak menumpuk di awal dan selanjutnya tidak ada.
Namun bukan berarti pula penyaluran bantuan harus dipersulit. Seperti banyak informasi yang beredar bahwa untuk mengajukan bantuan, masyarakat harus membuat surat permohonan yang harus ditandatangan oleh Ketua RT, Ketua RW, dan kepala desa.
Bagi para korban terdampak gempa, hal itu jelas ibarat "sudah jatuh tertimpa tangga". Sudah mendapat musibah, harus pula mendapat kesulitan dalam memeproleh bantuan.
Pihak penyalur bantuan atau pihak yang memberikan bantuan hendaknya berpikiran positif dan cerdas. Bagaimana mungkin para korban terdampak membuat surat permohonan. Mau ngetik di mana? Mau ngeprint di mana? Apakah stempel RT atau RW nya masih ada, tidak tertimbun reruntuhan?
Lebih jauh lagi apakah ketua RT atau ketua RW nya masih ada, masih hidup? Bagaimana kalau ketua RT atau ketua RW nya jadi korban gempa. Kalau sudah begitu siapa yang harus menandatangani surat permohonan bantuan? Mengadakan pemilihan ketua RT atau Ketua RW baru di tempat pengungsian?
Dalam rentang satu minggu ini ada beberapa teman mengeluh, terkait mekanisme permohonan bantuan. Bahkan ada yang terang-terangan merasa kecewa dengan pihak penyalur bantuan.
Mengapa? Dia sudah membuat surat usulan permohonan bantuan untuk korban terdampak gempa yang ada di dua ke-RT-an kepada pihak penyalur bantuan. Surat itu lengkap ditandatangani oleh ketua RT dan ketua RW.
Kemudian apa yang terjadi? Si pemohon "dipingpong" oleh orang-orang yang mengelola penyaluran bantuan. Kata pihak sini harus ke sana. Kata pihak sana harus ke sini.
Akhirnya setelah "dipingpong" ke sana ke mari, si pemohon diberikan dua kardus mie instan untuk masyarakat di dua ke-R_RT-an. Ya Tuhan!
Bagaimana cukup dua dus mie instan untuk dua ke-RT-an? Sedangkan si pemohon membuat usulan bantuan sembako lengkap. Seperti beras, minyak goreng, dan lain-lain. Ini hanya dipenuhi dua dus mie instan!
Saya sendiri tahu persis bahwa logistik sembako yang ada di gudang penyalur bantuan korban terdampak gempa Cianjur yang ada cukup melimpah. Bisa untuk memenuhi banyak pemohon.
Nah, itu mungkin "tradisi" buruk pelayanan publik di negara kita. Sebagaimana jargon, "Kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?"
Mekanisme penyaluran bantuan bisa dibuat sesederhana mungkin. Apalagi sekarang zaman internet.
Kalau ada pemohon bantuan cukup rincian kebutuhannya saja. Untuk "verifikasi", cukup dengan  video call, cross check dengan orang-orang yang ada di lokasi pengungsian. Mudah bukan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI