Oleh karena itu pemberian dan penyaluran bantuan kepada para korban terdampak gempa mungkin perlu diatur. Hal itu agar bantuan tidak menumpuk di awal dan selanjutnya tidak ada.
Namun bukan berarti pula penyaluran bantuan harus dipersulit. Seperti banyak informasi yang beredar bahwa untuk mengajukan bantuan, masyarakat harus membuat surat permohonan yang harus ditandatangan oleh Ketua RT, Ketua RW, dan kepala desa.
Bagi para korban terdampak gempa, hal itu jelas ibarat "sudah jatuh tertimpa tangga". Sudah mendapat musibah, harus pula mendapat kesulitan dalam memeproleh bantuan.
Pihak penyalur bantuan atau pihak yang memberikan bantuan hendaknya berpikiran positif dan cerdas. Bagaimana mungkin para korban terdampak membuat surat permohonan. Mau ngetik di mana? Mau ngeprint di mana? Apakah stempel RT atau RW nya masih ada, tidak tertimbun reruntuhan?
Lebih jauh lagi apakah ketua RT atau ketua RW nya masih ada, masih hidup? Bagaimana kalau ketua RT atau ketua RW nya jadi korban gempa. Kalau sudah begitu siapa yang harus menandatangani surat permohonan bantuan? Mengadakan pemilihan ketua RT atau Ketua RW baru di tempat pengungsian?
Dalam rentang satu minggu ini ada beberapa teman mengeluh, terkait mekanisme permohonan bantuan. Bahkan ada yang terang-terangan merasa kecewa dengan pihak penyalur bantuan.
Mengapa? Dia sudah membuat surat usulan permohonan bantuan untuk korban terdampak gempa yang ada di dua ke-RT-an kepada pihak penyalur bantuan. Surat itu lengkap ditandatangani oleh ketua RT dan ketua RW.
Kemudian apa yang terjadi? Si pemohon "dipingpong" oleh orang-orang yang mengelola penyaluran bantuan. Kata pihak sini harus ke sana. Kata pihak sana harus ke sini.
Akhirnya setelah "dipingpong" ke sana ke mari, si pemohon diberikan dua kardus mie instan untuk masyarakat di dua ke-R_RT-an. Ya Tuhan!
Bagaimana cukup dua dus mie instan untuk dua ke-RT-an? Sedangkan si pemohon membuat usulan bantuan sembako lengkap. Seperti beras, minyak goreng, dan lain-lain. Ini hanya dipenuhi dua dus mie instan!