Piagam Madinah merupakan bukti bahwa Islam merupakan agama yang melindungi, menjunjung tinggi kebhinekaan, dan memiliki komitmen kuat membangun perdamaian sebagai prasyarat kesejahteraan dan peradaban. Sikap melindungi, menjunjung tinggi kebhinekaan, dan memiliki komitmen kuat membangun perdamaian jelas merupakan bagian dari toleransi.
Toleransi dalam Islam begitu jelas dan tegas, tapi berbatas. Itu karena toleransi dalam Islam hanya diberlakukan dalam ranah kemanusiaan, sosial, politik, atau yang lainnya, tetapi tidak dalam ranah teologis. Misalnya ibadah bersama dengan panganut agama lain. Hal ini jelas ditolak dengan tegas  oleh  Al-Qur'an, melalui QS. Al-Kafirun : 1-6.
Asbab an-Nuzul QS. Al-Kafirun sendiri merupakan respon terhadap ide dari orang-orang jahiliyah yang dimotori oleh Al-Aswad bin Muthalib dkk. yang menawarkan kepada Nabi saw. untuk "arisan" beribadah menyembah Tuhan secara bergantian.
Orang-orang jahiliyah ikut bergabung menyembah Tuhan Nabi saw. selama setahun. Akan tetapi pada tahun berikutnya Nabi saw. dan kaum muslimin bergantian ikut menyembah Tuhan mereka.
Akan tetapi toleransi dalam Islam hanya bisa diterapkan dalam ranah sosial, bukan ranah teologis. Sebab agama adalah keyakinan. Dengan demikian jika beribadah dengan cara agama lain tentu akan merusak esensi dari keyakinan yang dianut.
Dalam hal ini Rainer Forst dalam bukunya "Toleran im konflikt : Geschichte, Gebalt und Gegenwart eines umstrittenen Begriffs" juga mengingatkan bahwa ada hal yang perlu dicatat dalam toleransi, yakni berupa dua garis pembatasan.
Pertama, batas pertama, yaitu antara wilayah normatif dari hal-hal yang disetujui dengan wilayah yang dianggap salah tetapi masih bisa ditoleransi. Kedua, batas kedua, yaitu antara wilayah yang masih ditoleransi dan wilayah yang tidak bisa ditoleransi atau sangat ditolak.
Secara sederhana sikap toleran atau intoleran khususnya dalam beragama bisa digambarkan dengan beberapa analogi berikut ini :
- Saya minum kopi, Anda minum teh. Saya dan Anda saling memaklumi. Itu toleransi;
- Saya minum kopi, Anda minum teh. Saya hina teh dan atau Anda hina kopi. Itu intoleran;
- Saya minum kopi, Anda minum teh. Saya dan atau Anda campur kopi dengan teh. Itu sinkretisme; dan
- Saya minum kopi, Anda minum teh. Saya paksa Anda dan atau Anda paksa saya minum kopi atau teh. Itu intimidasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H