Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toleransi dalam Ajaran Islam

19 Mei 2022   16:23 Diperbarui: 19 Mei 2022   16:31 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com

Dalam ajaran Islam, konsep tentang toleransi sangat jelas dan kuat. Dikatakan demikian karena dasar dan sumber ajaran toleransi disebut secara eksplisit, baik dalam Al-Qur'an maupun hadits Nabi saw.

Konsep toleransi dalam Islam sangat mendasar dan bisa diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan. Baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, terlebih lagi dalam kehidupan beragama. Bagaimana konsep toleransi beragama yang ada dalam ajaran Islam?

Sebelum memahami konsep toleransi beragama yang ada dalam ajaran Islam, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan "toleransi". Secara etimologis, istilah toleransi berasal dari bahasa latin tolerare dan tolerantia, yang berarti kuat menahan kesengsaraan dalam upaya menahan sesuatu.

Tolerantia juga bisa bermakna kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Toleransi, dalam bahasa Inggris merupakan bentuk noun, yaitu tolerance yang berarti kesabaran dan kelapangan dada.

Sedangkan dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan kata toleransi adalah samhah atau tasaamuh. Para pakar leksikograf Arab mengartikannya dengan berlaku lembut dan mempermudah.

Kata tasaamuh sendiri menurut bahasawan Persia Ibnu Faris dalam Mu'jam Maqayis Al-Lughat berasal dari kata "samhan", yang memiliki arti "kemudahan" atau "memudahkan". Sedangkan menurut DR. Al-Luhaidan tasaamuh bearti, "mengambil kemudahan (kelonggaran) dalam pengamalan agama sesuai dengan nash-nash syariat, sehingga pengamalan tersebut tidak sampai kepada tasyadud (ketat), tanfir (menyebabkan orang menjauhi Islam), dan tasahul (menyepelekan)."

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi berarti sifat atau sikap toleran. Toleran sendiri mengandung arti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Menurut UNESCO, toleransi adalah sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan ekspresi dan karakter manusia. Toleransi juga berarti sebuah sikap positif dengan cara menghargai hak orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasinya sebagai manusia.

Makna-makna toleransi di atas baik etimologis maupun terminologis hampir semua memiliki kesesuaian dengan ajaran Islam. Seperti makna etimologis toleransi dari bahasa latin tolerantia, yaitu kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran, hal itu juga ada diajarkan dalam Islam.

Kemudian makna etimologis toleransi dalam bahasa Inggris tolerance, yaitu kesabaran dan kelapangan dada pun ada dalam ajaran Islam. Begitu pula makna etimologis toleransi dalam bahasa Arab samhah atau tasaamuh, lembut dan mempermudah, Islam juga mengajarkan hal tersebut.

Sebagai bukti bahwa makna-makna toleransi di atas sangat bersesuaian derngan ajaran Islam, di sini bisa diketengahkan beberapa contoh. Seperti tentang kesabaran, jelas tercantum, misalnya dalam QS. Ali Imran : 200, QS. Al-Kahfi : 28, atau QS. Al-Insan : 24.

Tentang lapang dada, jelas tercantum, misalnya dalam QS. An-Nur : 22 dan QS. Al-Mujadalah : 11. Tentang lemah lembut, jelas tercantum, misalnya dalam QS. Ali Imran : 159-164 dan QS. Thahaa : 43-44. Tentang mempermudah, jelas tercantum, misalnya dalam QS. Al-Baqarah : 185 dan QS. At-Taghabun : 16.

Sampai di sini secara sepintas pun sudah cukup jelas bahwa toleransi merupakan ajaran yang sangat penting dalam ajaran Islam. Hal itu karena secara eksplisit masalah toleransi ada tercantum dalam kitab suci, yakni dalam Al-Qur'an.

Ajaran Islam yang secara eksplisit ada dalam Al-Qur'an merupakan ajaran yang sangat penting sebab Al-Qur'an adalah sumber (dasar hukum) pertama dan utama dalam Islam. Selaian itu ajaran tentang toleransi juga banyak ditemukan dalam hadits Nabi saw., yang merupakan sumber (dasar hukum) kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an.

Banyak ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw. yang biasa dijadikan sebagai dasar ajaran tentang toleransi beragama. Sebagian "ayat toleransi" yang dimaksud, antara lain QS. Al-Kaafirun : 1-6, Q.S. Yunus : 99, dan Q.S. Al-Baqarah : 256.

Sedangkan hadits Nabi saw. yang populer sebagai dasar ajaran toleransi diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari : "Agama yang paling dicintai oleh Allah (adalah) agama yang lurus dan toleran". Kemudian juga hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim : "Siapa tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan menyayanginya."

Ajaran Islam tentang toleransi semakin mendapat legitimasi yang kuat karena hal tersebut telah diimplementasikan oleh Sang Nabi pembawa ajaran toleransi itu sendiri. Nabi saw. dan para sahabatnya telah memberikan contoh bagaimana seharusnya bersikap toleran di tengah-tengah masyarakat yang plural.

Salah satu referensi yang bisa ketengahkan dari Nabi saw. dan para sahabatnya dalam hal ini adalah berkaitan dengan "Piagam Madinah", yang disebut juga dengan "Konstitusi Madinah" atau "Perjanjian Madinah".

Piagam Madinah atau Mitsaq al-Madinah adalah permakluman sikap toleransi secara tertulis, yang diimplementasikan Nabi saw. dan para sahabatnya ketika memimpin masyarakat Madinah. Masyarakat Madinah pada waktu itu merupakan masyarakat yang majemuk.

Di sana ada komunitas umat Islam, yang terdiri dari kaum Muhajirin (pengikut Nabi yang berasal dari Mekkah) dan ada kaum Anshar (penduduk asli Madinah yang mengundang Nabi untuk berhijrah ke sana). Selain komunitas umat Islam, terdapat juga komunitas Yahudi yang jumlahnya cukup signifikan serta sedikit orang Nasrani.

Dalam Piagam Madinah yang terdiri dari 47 butir kesepakatan dan ditandatangani Nabi saw. sendiri itu antara lain memuat tentang nilai-nilai kemanusiaan, pengakuan terhadap kemajemukan, hak kepemilikan harta, pemberian jaminan bagi setiap pemeluk agama untuk memeluk dan menjalankan agamanya, saling menghormati kebebasan beragama, dan kerjasama dalam bidang sosial, politik, dan keamanan.

Piagam Madinah merupakan bukti bahwa Islam merupakan agama yang melindungi, menjunjung tinggi kebhinekaan, dan memiliki komitmen kuat membangun perdamaian sebagai prasyarat kesejahteraan dan peradaban. Sikap melindungi, menjunjung tinggi kebhinekaan, dan memiliki komitmen kuat membangun perdamaian jelas merupakan bagian dari toleransi.

Toleransi dalam Islam begitu jelas dan tegas, tapi berbatas. Itu karena toleransi dalam Islam hanya diberlakukan dalam ranah kemanusiaan, sosial, politik, atau yang lainnya, tetapi tidak dalam ranah teologis. Misalnya ibadah bersama dengan panganut agama lain. Hal ini jelas ditolak dengan tegas  oleh  Al-Qur'an, melalui QS. Al-Kafirun : 1-6.

Asbab an-Nuzul QS. Al-Kafirun sendiri merupakan respon terhadap ide dari orang-orang jahiliyah yang dimotori oleh Al-Aswad bin Muthalib dkk. yang menawarkan kepada Nabi saw. untuk "arisan" beribadah menyembah Tuhan secara bergantian.

Orang-orang jahiliyah ikut bergabung menyembah Tuhan Nabi saw. selama setahun. Akan tetapi pada tahun berikutnya Nabi saw. dan kaum muslimin bergantian ikut menyembah Tuhan mereka.

Akan tetapi toleransi dalam Islam hanya bisa diterapkan dalam ranah sosial, bukan ranah teologis. Sebab agama adalah keyakinan. Dengan demikian jika beribadah dengan cara agama lain tentu akan merusak esensi dari keyakinan yang dianut.

Dalam hal ini Rainer Forst dalam bukunya "Toleran im konflikt : Geschichte, Gebalt und Gegenwart eines umstrittenen Begriffs" juga mengingatkan bahwa ada hal yang perlu dicatat dalam toleransi, yakni berupa dua garis pembatasan.

Pertama, batas pertama, yaitu antara wilayah normatif dari hal-hal yang disetujui dengan wilayah yang dianggap salah tetapi masih bisa ditoleransi. Kedua, batas kedua, yaitu antara wilayah yang masih ditoleransi dan wilayah yang tidak bisa ditoleransi atau sangat ditolak.

Secara sederhana sikap toleran atau intoleran khususnya dalam beragama bisa digambarkan dengan beberapa analogi berikut ini :

  • Saya minum kopi, Anda minum teh. Saya dan Anda saling memaklumi. Itu toleransi;
  • Saya minum kopi, Anda minum teh. Saya hina teh dan atau Anda hina kopi. Itu intoleran;
  • Saya minum kopi, Anda minum teh. Saya dan atau Anda campur kopi dengan teh. Itu sinkretisme; dan
  • Saya minum kopi, Anda minum teh. Saya paksa Anda dan atau Anda paksa saya minum kopi atau teh. Itu intimidasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun