Judul tulisan ini diambil dari salah satu hadits Nabi saw, dengan sanad Abu Hurairah dan rawi Imam Bukhari dan Imam Muslim. Matan hadits tersebut sebagai berikut, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (hari kiamat), hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam".
Ajaran untuk berkata baik dalam hadits tersebut tidaklah sepele, sebab dikaitkan dengan keimanan. Suatu ajaran yang dikaitkan dengan keimanan berarti ajaran yang sangat penting.
Faktanya ajaran untuk berkata baik juga merupakan ajaran yang memang sangat penting dalam konteks pergaulan antar sesama manusia. Kehidupan yang tenteram, harmonis, tenang, dan damai bisa bermula dari perkataan yang baik.
Sebaliknya kehidupan yang penuh gejolak, pemuh konflik, tidak tenang, atau ada permusuhan, bisa bermula dari perkataan yang tidak baik. Tidak sedikit orang bertengkar hanya karena satu kalimat atau perkataan.
Suami dengan istri, teman dengan teman, tetangga dengan tetangga, bahkan pemimpin suatu negara dengan pemimpin negara lainnya bertengkar atau saling bermusuhan tak jarang disebabkan karena perkataan yang tidak baik, yang menyinggung misalnya.
Dengan demikian "manajemen" pengendalian lisan merupakan suatu yang sangat urgen dalam konteks membangun kehidupan yang tenteram, harmonis, tenang, dan damai. Baik kehidupan di lingkungan keluarga, lingkungan tetangga, atau lingkungan yang lebih luas lagi.
Dalam kaitan ini tidak heran jika ada adagium yang sangat populer, yakni "mulutmu harimaumu". Dalam adagium tersebut mulut (atau lisan) sebagai produsen perkataan atau ucapan diibaratkan sebagai harimau. Maknanya bisa bermacam-macam.
Harimau adalah hewan buas yang sangat berbahaya. Harimau juga adalah hewan yang hebat dan ditakuti hewan lainnya karena memiliki kekuatan yang luar biasa.
Artinya mulut (atau lisan) sebagai "harimau" bisa menjadi berbahaya, baik bagi si empunya mulut atau bagi orang lain. Selain itu mulut (atau lisan) sebagai "harimau" juga bisa menjadi kekuatan yang luar biasa bagi si empunya mulut atau bagi orang lain.
Oleh karena itu setiap orang hendaklah berupaya mengendalikan mulut (lisan) nya demi kehidupan yang tenteram, harmonis, tenang, dan damai. Mulut (lisan) hanya digunakan untuk memproduksi perkataan atau ucapan yang baik-baik saja.
Bagaimana kalau tidak bisa? Sebagaimana dalam hadits Nabi saw di atas, kalau kita tidak bisa berkata yang baik, maka diam merupakan pilihan yang lebih baik. Mungkin dalam konteks inilah munculnya peribahasa bahwa "Diam itu Emas".
Suatu perkataan atau ucapan kalau sudah dikeluarkan, maka ia tidak akan bisa ditarik kembali. Ibarat anak panah yang sudah terlanjur dilepaskan dari busurnya.
Mungkin hati kita sampai saat ini masih merasa sakit karena suatu waktu kita pernah mendengar perkataan seseorang yang menyakitkan. Padahal mungkin saja orang itu tidak secara sengaja mengatakannya. Namun perkataan yang sudah diucapkan tidak bisa ditarik lagi oleh orang itu.
Sebaliknya kita pun mungkin pernah mengucapkan sesuatu perkataan yang menyakitkan orang yang mendengarnya. Padahal mungkin saja kita tidak secara sengaja mengucapkannya. Namun perkataan yang sudah terlanjur kita ucapkan tidak bisa kita tarik lagi.
Ada peribahasa lain yang sangat selaras dengan hal tersebut, yakni "Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna". Artinya kita harus mempertimbangkan terlebih dahulu perkataan termasuk tindakan yang akan kita lakukan secara matang. Sebab kalau sudah terlanjur dilakukan tidak akan bisa kita perbaiki lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H