Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Keuntungan dari Bertani Tak Cukup Menarik bagi Kaum Milenial?

7 November 2021   17:03 Diperbarui: 10 November 2021   18:11 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani padi di Indonesia. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Beberapa saat yang lalu saya bertemu dengan salah seorang teman sekolah dulu. Dia tinggal di desa sebelah yang jaraknya tidak terlalu jauh. Kendati tempat tinggal kami hanya berjarak satu desa, tapi kami jarang bertemu karena kesibukan dan urusan masing-masing.

Dalam pertemuan itu kami ngobrol ke sana ke mari. Mulai dari membicarakan keadaan dan keberadaan teman-teman yang lain sampai membicarakan keluarga dan masalah pekerjaan.

Ketika membicarakan pekerjaan, dia seperti agak malu. Benar saja dia dengan terang-terangan mengaku merasa malu dengan teman-teman lain yang dia sebut "sukses" karena menjadi pegawai negeri sipil, guru, atau pekerjaan "enak" lainnya. Dia sendiri merasa minder karena "hanya" menjadi seorang petani.

Lebih dari itu dia merasa menjadi orang gagal. Cape-cape sekolah tapi akhirnya menjadi seorang petani juga seperti orang tuanya.

"Mengapa harus minder? Petani juga menghasilkan. Petani itu besar jasanya. Coba kalau tidak ada petani, yang lain mau makan apa?" Begitu saya katakan kepada sang teman.

"Ah jadi petani keuntungannya pas-pasan. Hanya cukup untuk makan saja." Jawab sang teman.

Saya tidak bicara apa-apa lagi. Dalam hati saya diam-diam membenarkan apa yang dikatakan teman saya itu. Sebab saya sendiri dulu sebelum berkeluarga pernah mengalami menjadi petani padi. Sedikit banyak saya tahu berapa besar hasil atau keuntungan dari bertani padi.

Saya terlahir dari keluarga petani. Oleh karena itu saya tidak asing dengan hal-hal atau masalah-masalah yang terkait dengan pertanian. Terutama dalam hal ini mengenai bertani padi.

Berdasarkan pengalaman saya dan orang tua dulu, saya tahu bahwa dari setiap sawah seluas 100 tumbak (1.400 m2), biasanya menghasilkan kurang lebih 8 kwintal padi atau gabah (basah). Itu untuk satu musim tanam selama tiga bulan.

Ilustrasi sawah sebagai lahan pertanian (sumber : kompas.com)
Ilustrasi sawah sebagai lahan pertanian (sumber : kompas.com)

Kalau sawahnya bagus dalam artian pengairannya normal, bisa ditanami 3 kali dalam setahun. Tapi kalau sawah tadah hujan, paling bisa ditanami 2 kali dalam setahun.

Padi sebanyak 8 kwintal itu mari kita konversi ke dalam bentuk uang. Kita asumsikan harga padi basah Rp. 4.000 per kilo gram. Berarti padi sebanyak 8 kwintal itu ekuivalen dengan Rp. 3,2 juta. Itu bukan keuntungan, sebab belum dikurangi biaya produksi.

Komponen biaya produksi adalah untuk pengolahan tanah, benih, pupuk, pestisida, sewa alat-alat, dan upah kerja. Kalau sawah bukan milik sendiri berarti biaya produksi ditambah dengan biaya sewa tanah. 

Jika per 100 tumbak menghasilkan 8 kwintal padi atau ekuivalen dengan Rp. 3,2 juta. Berarti jika per satu hektare sawah akan menghasilkan sekira 56 kwintal /5,6 ton padi atau ekuivalen dengan Rp. 22, 4 juta.

Biaya produksi per musim tanam kurang lebih sekira Rp. 13 juta/hektare. Komponen biaya produksi tanaman padi terbesar adalah pengeluaran untuk pekerja/jasa pertanian. Rata-rata mencapai 45 persen dari total biaya atau sekira Rp. 5,4 juta.

Komponen biaya produksi yang cukup besar lainnya adalah untuk pupuk sekira Rp. 1,3 juta/hektare. Selanjutnya pengadaan bibit Rp. 458 ribu/hektare, pestisida Rp. 215 ribu/hektare, sewa alat-alat Rp. 300 ribu/hektare, dan sewa lahan Rp. 3,5-4,5 juta/hektare.

Dengan demikian keuntungan dari menanam padi seluas satu hektare adalah hasil panen Rp. 22,4 juta dikurangi biaya produksi Rp. 13 juta/hektare. Berarti sekira Rp. 9,4 juta.

Rp. 9,4 juta itu adalah keuntungan per tiga bulan/hektare. Artinya jika dibagi tiga bulan, maka keuntungan per bulan hanya sekira Rp. 3,1 juta.

Itu keuntungan dari satu hektare. Padahal tidak banyak petani yang memiliki lahan sawah seluas itu. Sebagian besar petani mungkin hanya memiliki sawah ratusan tumbak saja.

Keuntungan dari bertani padi memang demikian, relatif kecil. Kecuali kalau lahan sawahnya luas berhektare-hektare, tentu keuntungan bertani padi tidak bisa disebut kecil lagi. Bahkan banyak petani padi kaya raya karena memiliki lahan sawah yang  luas.

Kendati keuntungan bertani padi relatif kecil, bahkan tak jarang hanya mencapai BEP (Break Event Point) alias balik modal saja per musim tanamnya, keberadaan para petani padi sangatlah vital. Secara tidak langsung mereka lah yang telah memenuhi kebutuhan makan masyarakat Indonesia yang mayoritas makanan pokoknya nasi.

Relatif kecilnya keuntungan dari bertani padi bisa jadi tidak cukup menarik bagi kaum milenial. Mereka kurang berminat untuk terjun menjadi petani padi. Tidak heran jika mereka kemudian lebih memilih bekerja di sektor lain. Sebab mereka menginginkan pendapatan yang lebih besar lagi. 

Namun hal berbeda jika bertani selain padi. Seperti bertani sayuran atau palawija misalnya. Termasuk juga bertani rempah-rempah.

Keuntungan dari bertani sayuran atau palawija bisa jadi lebih besar dari bertani padi. Sebab harga sayuran atau palawija kadang melambung tinggi. Dalam keadaan ini para petani  mendapatkan untung besar. Tak jarang banyak dari mereka menjadi orang kaya mendadak.

Namun terkadang juga harga sayuran atau palawija sangat murah sehingga para petani mengalami kerugian luar biasa. Seperti banyak kasus terjadi ketika harga tomat, kentang, bawang, atau sayuran lainnya sedang jatuh misalnya.

Para petani bahkan membiarkan tomat, kentang, bawang, atau sayuran lainnya membusuk di kebun mereka. Sebab harga tomat, kentang, bawang, atau sayuran lainnya itu jika dipanen bahkan tidak akan bisa menutup upah/biaya memanen sekali pun.

Nah kalau pun kaum milenial ada yang tertarik mejadi petani, mungkin mereka tidak akan memilih menjadi petani padi. Mereka akan lebih memilih menjadi petani sayuran, palawija, atau rempah-rempah. Sebab keuntungan dari bertani sayuran, palawija, atau rempah-rempah lebih besar dan lebih menjanjikan dari bertani padi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun