Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ihwal Dugaan Gibran dan AHY akan Maju di Pilkada DKI Jakarta

12 Februari 2021   10:43 Diperbarui: 12 Februari 2021   11:15 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembahasan terhadap revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang telah masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2021, akhirnya resmi dihentikan di Komisi II DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia). Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, Rabu (10/02). Dengan demikian revisi UU Pemilu tersebut nanti akan dikeluarkan dari Prolegnas 2021.

Padahal revisi UU Pemilu tersebut semula telah disepakati pemerintah dan DPR dan karenanya dimasukan dalam Prolegnas 2021. Revisi UU Pemilu tersebut bahkan telah ditargetkan selesai pada pertengahan tahun 2021.

Dihentikannya pembahasan revisi UU Pemilu karena dinamika politik yang terjadi. Beberapa partai politik yang semula setuju dengan adanya revisi UU Pemilu berbalik arah jadi tidak setuju alias menolak.

Sikap menolak terhadap revisi UU Pemilu tersebut bermula dilakukan oleh dua partai politik yakni PAN (Partai Amanat Nasional) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Kedua partai itu  menyatakan secara terang-terangan menolak RUU Pemilu tersebut.

PAN beralasan bahwa UU Pemilu tersebut belum saatnya direvisi, karena peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini masih sangat baru, yaitu secara formal diterapkan dalam kurun waktu 4-5 tahun terakhir. Menurut PAN, daripada membahas revisi UU Pemilu, pemerintah dan DPR lebih baik fokus menangani pandemi covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

Sementara itu menurut PPP, UU Pemilu tak perlu direvisi setiap penyelenggaraan Pemilu. Hal itu supaya ada semacam sakralisasi terhadap sebuah regulasi. Selain itu RUU Pemilu akan mengubah banyak aturan yang masih belum terlaksana, seperti aturan tentang penyelenggaraan Pilkada pada 2024 sesuai dengan UU Pilkada.

Sikap menolak terhadap revisi UU Pemilu yang dilakukan oleh PAN dan PPP kemudian diikuti pula oleh PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Selanjutnya Partai Golkar, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), dan Partai Nasdem yang semula ngotot membahas revisi UU Pemilu juga kemudian berbalik arah mengikuti sikap PAN, PPP, PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.

Berarti sudah tujuh partai politik yang memiliki fraksi di DPR yang menyatakan sikap menolak terhadap dilanjutkannya revisi UU Pemilu. Dengan demikian partai politik tersisa yang tetap menginginkan revisi UU Pemilu dilanjutkan hanya dua, yakni PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan Partai Demokrat.

Dua partai politik yang tetap menginginkan revisi UU Pemilu dilanjutkan versus tujuh partai politik yang menolak revisi UU Pemilu dilanjutkan tentu tidak sebanding. Keputusan yang diambil tentu akan berdasarkan suara mayoritas. Oleh karena itu keputusan untuk menolak dilanjutkannya revisi UU Pemilu di Komisi II DPR RI pun diambil berdasarkan sikap mayoritas fraksi.

Berubahnya sikap partai politik yang semula menginginkan adanya revisi UU Pemilu sehingga kemudian bersepakat untuk membahas hal tersebut dan kemudian memasukkannya  ke dalam Prolegnas 2021,  merupakan bentuk inkonsistensi. Dalam politik hal itu bukan sesuatu yang aneh. Politik bersifat sangat dinamis, bahkan dalam hitungan detik sikap politik bisa berubah.

Kepentingan suatu partai politik bisa jadi ada di belakang sikap balik badan sejumlah partai politik itu. Kepentingan yang berbeda bisa jadi juga ada di belakang sikap partai politik yang "konsisten" ingin melanjutkan pembahasan revisi UU Pemilu. Politik memang tidak terlepas dari kepentingan.

Irwan, Wakil Sekretaris Partai Demokrat dalam hal ini kemudian mempertanyakan sikap inkonsisten sejumlah partai politik yang kemudian balik badan menolak dilanjutkannya revisi UU Pemilu. Irwan mencurigai sikap inkonsisten sejumlah partai politik itu karena mengikuti sikap pemerintah, yakni dalam hal ini sikap Presiden Jokowi yang enggan melanjutkan revisi UU Pemilu.

Lebih jauh Irwan mempertanyakan sikap penolakan pemerintah melanjutkan revisi UU Pemilu yang di dalamnya ada kebijakan ditundanya Pilkada ke tahun 2024 karena ada faktor baru. Faktor baru yang dimaksud Irwan adalah kaitan dengan kemunginan majunya putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Pilkada DKI Jakarta 2024.

"Mungkinkah keputusan ini dilatari oleh kemungkinan Presiden Jokowi mempersiapkan keberangkatan Gibran dari Solo ke Jakarta? Karena dirasa terlalu cepat jika Gibran berangkat ke Jakarta tahun 2022", begitu pernyataan Irwan sebagaimana dilansir sindonews.com (11/02).   

Habiburokhman, Wakil Ketua Umum salah satu partai politik yang mendukung dihentikannya revisi UU Pemilu, yakni Partai Gerindra merespon pernyataan Irwan tersebut. Habiburokhman mempersilahkan Partai Demokrat berspekulasi atau curiga bahwa pembatalan revisi UU Pemilu agar Presiden Jokowi mempersiapkan Gibran Rakabuming Raka untuk maju di Pilkada DKI Jakarta 2024.   

Akan tetapi sebaliknya, Habiburokhman pun justru curiga mengenai kegigihan Partai  Demokrat menginginkan Pilkada serentak 2022. Menurut Habiburokhman, mungkin saja AHY akan maju di Pilgub (Pemilihan Gubernur) DKI Jakarta tahun 2022.

Dugaan politikus Partai Demokrat, Irwan, bahwa sikap inkonsistensi sejumlah partai politik yang menolak dilanjutkannya pembahasan revisi UU Pemilu karena "briefing" dari Presiden Jokowi belum tentu benar. Termasuk dalam hal dugaan akan majunya putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Pilkada DKI Jakarta 2024 juga belum tentu benar sebab secara empiris hal itu belum terbukti.

Akan tetapi secara politik, dugaan Irwan atau siapa pun tentang akan majunya putra Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka di Pilkada DKI Jakarta 2024 sah-sah saja. Terbukti atau tidak nanti bisa dilihat di Pilkada DKI Jakarta 2024.

Hal itu dikarenakan dalam politik tidak ada kata "mustahil" atau "tidak mungkin". Bisa saja saat ini orang mengatakan bahwa Gibran tidak mungkin akan maju di Pilkada DKI 2024, tetapi kenyataannya nanti mungkin sebaliknya. Sama halnya seperti ketika Presiden Jokowi sendiri ketika menjadi gubernur DKI Jakarta menyatakan tidak akan maju menjadi calon presiden, kenyataannya ia maju juga di Pilpres (Pemilihan Presiden) 2014 berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Lagi pula tidak ada yang salah jika nanti Gibran Rakabuming Raka maju di Pilkada DKI Jakarta 2024. Begitu pula dengan AHY. Tidak ada yang salah jika nanti AHY maju di Pilkada DKI. Bahkan tidak hanya Gibran atau AHY, siapa pun boleh maju mencalonkan diri di Pilkada DKI Jakarta selama memenuhi persyaratan.

Jadi dalam hal ini kita tidak usah ribut-ribut dan sibuk menyangkal bahwa Gibran atau AHY tidak akan maju di Pilkada DKI Jakarta. Sebab dalam politik, kata "tidak" pada hari ini bisa menjadi kata "ya" pada esok hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun