Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, mantan presiden RI dua periode itu tak bisa dipungkiri merupakan tokoh penting bagi Partai Demokrat. Selain sebagai pendiri Partai Demokrat, SBY juga bisa dibilang merupakan "ikon" Partai Demokrat.
Nama SBY sudah identik dengan Partai Demokrat. Sebaliknya Partai Demokrat juga identik dengan SBY.
Partai Demokrat pernah menjadi partai politik terbesar pada Pemilu 2009 lalu juga tak lepas dari nama SBY. Tanpa nama SBY, Partai Demokrat mungkin tidak akan pernah menjadi partai politik terbesar di Indonesia.
Mungkin hal itu terkesan berlebihan. Tetapi faktanya memang begitu. Nama SBY waktu itu adalah magnet yang mampu menarik banyak orang untuk melirik Partai Demokrat, baik bergabung menjadi kader atau sekedar menjadi pemilih partai itu pada waktu Pemilu.
Dalam sepakbola, SBY mungkin bisa diibaratkan Diego Maradona di klub Napoli di akhir tahun 80 an. Napoli menjadi juara Liga Italia waktu itu memang bukan peran seorang Maradona saja, tapi juga karena ada sepuluh orang lainnya. Namun tanpa adanya Maradona waktu itu dalam tim, Napoli mungkin tak akan pernah menjadi juara Liga Italia.
Begitu pula SBY bagi Partai Demokrat. Partai Demokrat pernah menjadi partai politik terbesar di Indonesia memang bukan karena peran SBY seorang. Akan tetapi tanpa SBY Partai Demokrat mungkin tidak akan pernah merasakan menjadi partai pemenang pemilu.
Hanya sayang, Partai Demokrat yang sudah menjadi besar itu kemudian dikecilkan kembali oleh banyak kadernya yang melakukan perbuatan korupsi. Tak sedikit kader dan elite Partai Demokrat akhirnya dicokok KPK dan menghuni hotel prodeo.
Bahkan tak tanggung-tanggung, beberapa kasus korupsi waktu itu yang membuat Partai Demokrat menjadi gembos diantaranya dilakukan oleh sang Ketua Umum dan Bendahara Umum Partai Demokrat sendiri, yakni Anas Urbaningrum dan M. Nazaruddin.
Terjeratnya Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi mengakibatkan posisi Ketua Umum Partai Demokrat kosong. SBY pun kemudian turun gunung mengambil alih posisi ketua umum yang kosong.
Hanya saja walau pun posisi Ketua Umum Partai Demokrat sudah di-take down oleh SBY, kepercayaan publik terhadap Partai Demokrat sudah terlanjur berkurang. Akibatnya pada Pemilu 2014 suara Partai Demokrat terjun bebas. Â
Suara Partai Demokrat berkurang lebih dari setengahnya pada Pemilu 2014. Partai Demokrat hanya memperoleh 10.19 persen suara. Padahal pada pemilu sebelumnya, yakni pada Pemilu 2009, Partai Demokrat memperoleh suara 20,40persen.
Menurunnya suara Partai Demokrat juga bertepatan dengan memudarnya "magnet" SBY. Hal itu karena SBY tidak bisa lagi maju menjadi calon presiden. Melihat kondisi seperti itu, beberapa kader demokrat memilih lompat pagar, pindah ke partai politik lain.
Pada Pemilu 2019 suara Partai Demokrat terus menurun. Partai Demokrat hanya memperoleh 7,77 persen. Perolehan suara sebesar itu hampir sama dengan perolehan suara Partai Demokrat ketika pertama kali ikut Pemilu 2004, yakni 7,45 persen.
Setelah dua periode menahkodai Partai Demokrat, SBY kemudian "mewariskan" posisi  ketua umum partai kepada putra pertamanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). AHY terpilih secara aklamasi dalam Kongres V Partai Demokrat, 15 Maret 2020.
AHY bukanlah SBY. Wibawa dan "magnet" AHY belum sebesar dan sekuat sang ayah, SBY.
Belum genap satu tahun memimpin Partai Demokrat, AHY sudah digoyang oleh isu kudeta yang dilakukan oleh beberapa kader dan mantan kader Partai Demokrat. Bahkan isu kudeta tersebut juga diduga melibatkan pejabat penting di lingkungan istana, yang santer disebut adalah Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal (purn.) Moeldoko.
Sejumlah kader Partai Demokrat dan mantan kader Partai Demokrat berusaha melakukan upaya "menggulingkan" AHY dari kursi ketua umum tentu bukan tanpa alasan. Berdasarkan sikap yang ditunjukkan oleh sejumlah kader dan mantan kader Partai Demokrat, paling tidak ada lima hal yang bisa disebut sebagai faktor yang mendasari mereka berusaha melakukan kudeta.
Pertama, seperti telah disampaikan bahwa AHY bukanlah SBY. AHY tidak cukup memiliki wibawa dan "magnet" sebagaimana sang ayah, SBY. Â Â
Kedua, adanya kader dan mantan kader Partai Demokrat yang kecewa dengan mekanisme pemilihan AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Tidak sedikit dari mereka menyebut kepemimpinan AHY terkesan dipaksakan.
Ketiga, adanya beberapa kader yang kecewa karena tidak diakomodir oleh AHY. Mereka tidak masuk dalam "kabinet" AHY. Mereka tidak lagi terdaftar dalam struktur Partai Demokrat.
Keempat, adanya beberapa kader yang "iri" dengan AHY yang baru masuk Partai Demokrat tapi langsung menjadi nahkoda partai. Sedangkan mereka yang "berdarah-darah" sejak awal berdirinya partai tidak punya kesempatan mendapatkan posisi seperti yang didapatkan oleh AHY.
Kelima, adanya beberapa kader yang sangat fanatik mendukung Presiden Jokowi pada Pilpres 2019 lalu hingga kini. Sikap mereka jelas bertolak belakang dengan sikap AHY dan Partai Demokrat yang tidak mendukung Presiden Jokowi dan mengambil  posisi sebagai oposisi pemerintahan Presiden Jokowi.
Isu kudeta terhadap kepemimpinan AHY di Partai Demokrat sampai saat ini belum reda. Bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu ke depan hal itu akan semakin menghangat.
Hanya ada sedikit keanehan. Sampai saat ini  sang "ikon" Partai Demokrat, SBY belum bersuara. SBY belum memberikan tanggapan atau komentar mengenai hal tersebut.
Padahal jelas bahwa isu kudeta itu cukup membuat sang anak, AHY kerepotan. Tak sedikit pihak yang menyerang dan memojokkan AHY.
Pengamat politik Said Salahudin dalam hal ini memiliki pendapat mengenai SBY dalam kaitan isu kudeta yang mengancam posisi sang anak, AHY. Sebagaimana dilansir jppn.com (04/02), Said Salahudin justru memprediksi bahwa karena campur tangan SBY lah Partai Demokrat mengungkap isu kudeta ke publik.
Menurut Said, bagaimana pun SBY adalah seorang ahli strategi dan seorang jenderal. SBY tentu tidak ingin partai yang membawanya duduk sebagai presiden dua periode itu diobok-obok oleh pihak tertentu.
Apa yang dikatakan Said cukup masuk akal. Kalau begitu, bisa saja diamnya SBY sampai saat ini juga merupakan strategi sang Jenderal. Lagi pula karakter sang Jenderal terkenal sangat hati-hati dalam merespon sesuatu, sangat penuh pertimbangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI