Menurunnya suara Partai Demokrat juga bertepatan dengan memudarnya "magnet" SBY. Hal itu karena SBY tidak bisa lagi maju menjadi calon presiden. Melihat kondisi seperti itu, beberapa kader demokrat memilih lompat pagar, pindah ke partai politik lain.
Pada Pemilu 2019 suara Partai Demokrat terus menurun. Partai Demokrat hanya memperoleh 7,77 persen. Perolehan suara sebesar itu hampir sama dengan perolehan suara Partai Demokrat ketika pertama kali ikut Pemilu 2004, yakni 7,45 persen.
Setelah dua periode menahkodai Partai Demokrat, SBY kemudian "mewariskan" posisi  ketua umum partai kepada putra pertamanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). AHY terpilih secara aklamasi dalam Kongres V Partai Demokrat, 15 Maret 2020.
AHY bukanlah SBY. Wibawa dan "magnet" AHY belum sebesar dan sekuat sang ayah, SBY.
Belum genap satu tahun memimpin Partai Demokrat, AHY sudah digoyang oleh isu kudeta yang dilakukan oleh beberapa kader dan mantan kader Partai Demokrat. Bahkan isu kudeta tersebut juga diduga melibatkan pejabat penting di lingkungan istana, yang santer disebut adalah Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal (purn.) Moeldoko.
Sejumlah kader Partai Demokrat dan mantan kader Partai Demokrat berusaha melakukan upaya "menggulingkan" AHY dari kursi ketua umum tentu bukan tanpa alasan. Berdasarkan sikap yang ditunjukkan oleh sejumlah kader dan mantan kader Partai Demokrat, paling tidak ada lima hal yang bisa disebut sebagai faktor yang mendasari mereka berusaha melakukan kudeta.
Pertama, seperti telah disampaikan bahwa AHY bukanlah SBY. AHY tidak cukup memiliki wibawa dan "magnet" sebagaimana sang ayah, SBY. Â Â
Kedua, adanya kader dan mantan kader Partai Demokrat yang kecewa dengan mekanisme pemilihan AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Tidak sedikit dari mereka menyebut kepemimpinan AHY terkesan dipaksakan.
Ketiga, adanya beberapa kader yang kecewa karena tidak diakomodir oleh AHY. Mereka tidak masuk dalam "kabinet" AHY. Mereka tidak lagi terdaftar dalam struktur Partai Demokrat.
Keempat, adanya beberapa kader yang "iri" dengan AHY yang baru masuk Partai Demokrat tapi langsung menjadi nahkoda partai. Sedangkan mereka yang "berdarah-darah" sejak awal berdirinya partai tidak punya kesempatan mendapatkan posisi seperti yang didapatkan oleh AHY.
Kelima, adanya beberapa kader yang sangat fanatik mendukung Presiden Jokowi pada Pilpres 2019 lalu hingga kini. Sikap mereka jelas bertolak belakang dengan sikap AHY dan Partai Demokrat yang tidak mendukung Presiden Jokowi dan mengambil  posisi sebagai oposisi pemerintahan Presiden Jokowi.