Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beberapa Tokoh KAMI Ditangkap, Cuma Terapi Kejut?

15 Oktober 2020   07:22 Diperbarui: 15 Oktober 2020   08:10 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat (tribunnews.com)

Demonstrasi yang dilakukan para buruh, mahasiswa, dan beberapa elemen masyarakat lain pada tanggal 6-8 Oktober di sejumlah daerah yang menolak RUU Cipta Kerja, yang telah disahkan oleh DPR RI menjadi UU Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober lalu berujung penangkapan sejumlah demonstran. Di antara para demonstran yang ditangkap, terdapat beberapa nama tokoh KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia).

Sebagaimana diberitakan banyak media, tokoh KAMI yang ditangkap pasca demonstrasi ada delapan orang. Mereka adalah Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, Juliana, Devi, Khairi  Amri, Wahyu Rasari Putri, dan Kingkin.

Kedelapan orang tokoh KAMI tersebut ditangkap di dua tempat berbeda. Empat orang ditangkap di Medan dan empat orang lain ditangkap di Jakarta.

Tokoh KAMI yang ditangkap di Medan adalah Juliana, Devi, Khairi  Amri, Wahyu Rasari Putri, dan Khairi  Amri. Sedangkan tokoh KAMI yang ditangkap di Jakarta adalah Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dan Kingkin.

Sejumlah pihak menyoroti penangkapan beberapa tokoh KAMI itu. Politikus Partai Gerindra Fadli Zon misalnya, menyebut penangkapan tokoh KAMI adalah cara lama yang dipakai lagi di era demokrasi.   

Politikus PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Mardani Ali Sera menyebut penangkapan tokoh KAMI sebagai ujian bagi demokrasi. Semua penangkapan mestinya didasari norma hukum yang tegas. Menurutnya, selama ini UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sering dijadikan dasar penangkapan.

Politikus PKS lainnya, yang juga Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid meyakini bahwa tokoh KAMI yang ditangkap itu tidak akan mengarahkan massa untuk berbuat anarki dalam aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Oleh karena itu pihaknya meminta polisi membebaskan kedelapan tokoh KAMI yang ditangkap itu.

Sementara itu Presidium KAMI sendiri, Gatot Nurmantyo melayangkan protes kepada pihak kepolisian dalam siaran pers pada Rabu (14/10). Gatot menolak KAMI dikaitkan dengan tindakan anarkis dalam aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang dilakukan para buruh, mahasiswa, dan pelajar.

Gatot menyebut KAMI mendukung aksi mogok nasional dan unjuk rasa yang dilaksanakan para buruh sebagai bentuk penunaian hak konstitusional. Namun KAMI secara kelembagaan belum ikut serta, kecuali memberi kebebasan kepada para pendukungnya untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan.

Oleh karena itu mantan Panglima TNI itu meminta pihak kepolisian mengusut adanya indikasi keterlibatan pelaku profesional yang melakukan tindakan anarkis, yang menyusup ke dalam barisan aksi unjuk rasa. Selain itu Gatot juga meminta pihak kepolisian membebaskan para tokoh KAMI dari tuduhan yang dikaitkan dengan UU ITE. Kalaupun UU ITE itu mau diterapkan, Gatot meminta pihak kepolisian bersikap adil, tidak hanya membidik KAMI saja sementara banyak pihak di media sosial yang mengumbar ujaran kebencian yang berdimensi SARA tapi Polri berdiam diri.

Terkait penangkapan delapan orang tokoh KAMI, Ketua Presidium IPW (Indonesia Police Watch} Neta S. Pane menyebut hal itu hanya sekedar terapi kejut untuk para pengikut KAMI di tengah maraknya aksi demonstrasi buruh yang menolak UU Cipta Kerja yang kontroversial.

Menurut Neta S. Pane, sejak semula Pemerintahan Presiden Jokowi sudah mengincar pergerakan dan manuver KAMI yang dianggap menjengkelkan pemerintah. Penangkapan terhadap para petinggi KAMI pada aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja itu merupakan momentum yang tepat bagi Pemerintahan Presiden Jokowi. Sebab jika Pemerintahan Presiden Jokowi ujug-ujug menangkap mereka (tanpa ada momentum yang tepat) pasti akan ramai-ramai dikecam publik.

Pernyataan Ketua Presidium IPW (Indonesia Police Watch) Neta S. Pane yang menyebut penangkapan para tokoh KAMI hanya sekedar terapi kejut bisa jadi benar. Kritikan-kritikan yang disampaikan para tokoh KAMI selama ini memang membuat Pemerintahan Presiden Jokowi terganggu dan kurang nyaman. Selain itu kritikan-kritikan yang disampaikan para tokoh KAMI juga bisa membuat citra pemerintah memburuk.

Agar pergerakan para tokoh KAMI tidak semakin menjadi-jadi, maka pemerintahan Presiden Jokowi berupaya membuat terapi kejut dengan cara menangkap sebagian tokoh KAMI yang disangka melakukan pelanggaran hukum. Padahal orang-orang yang melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh para tokoh KAMI yang ditangkap itu juga banyak, tetapi terhadap mereka tidak diambil tindakan hukum.

Artinya penangkapan terhadap delapan orang tokoh KAMI itu bisa dibaca lebih bernuansa politis daripada hukum. Tujuannya tiada lain agar pergerakan tokoh-tokoh KAMI bisa sedikit direm, tidak terlalu kencang.

Seandainya delapan tokoh KAMI yang ditangkap itu secara nyata melanggar hukum, tentu mereka harus diproses sebagaimana mestinya. Akan tetapi jika penangkapan mereka lebih bersifat politis, tentu kurang fair.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun