Belakangan ini nama Amien Rais kembali ramai menjadi bahan pemberitaan seiring dengan santernya pemberitaan mengenai akan didirikannya partai baru sempalan dari PAN (Partai Amanat Nasional).Â
Akan tetapi pemberitaan mengenai Amien Rais tentu tidak seramai dan sebanyak ketika awal era reformasi tahun 1998 dulu. Waktu itu nama Amien Rais diberitakan di  berbagai media bukan lagi tiap hari, tapi hampir tiap waktu.
Setelah terjadi friksi di internal PAN pasca kongres ke-5 di Kendari pada bulan pebruari lalu, Amien Rais dan para loyalisnya dikabarkan bersiap mendeklarasikan partai baru. Nama yang santer diberitakan adalah PAN Reformasi. Partai baru itu akan dideklarasikan pada bulan Desember mendatang.
Nama Amien Rais di kancah perpolitikan nasional bukanlah nama yang asing. Sebelum membentuk PAN pada tahun 1998 lalu, Amien Rais adalah pendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Akan tetapi banyak orang mengenal Amien Rais sebagai politikus, ya setelah membentuk PAN itu.
Amien Rais merupakan politikus yang mumpuni. Ia pernah dijuluki sebagai "king maker". Hal itu merujuk kepada begitu besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun  2001.
Kemampuan mumpuni Amien Rais dalam perpolitikan nasional bisa dipahami, sebab selain sebagai seorang praktisi politik, ia juga merupakan seorang akademisi politik. Karier politiknya ditunjang oleh pendidikan formalnya dalam bidang ilmu  politik.
Amien Rais tercatat sebagai alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (Universitas Gadjah Mada) dan juga seorang doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.
Kini Amien Rais sudah tidak muda lagi. Usianya sudah lebih dari 70 tahun. Tapi ia masih aktif berkecimpung dalam perpolitikan nasional dan masih (ingin) menjadi "king maker". Salahkah jika seorang Amien Rais terus aktif berkiprah dalam kancah politik padahal  usianya sudah tidak muda lagi ?
Tak ada yang salah dalam diri Amien Rais. Sebab menjadi seorang politikus adalah sebuah pengabdian, bukan jabatan. Artinya menjadi seorang politikus tak mengenal BUP (Batas Usia Pensiun) layaknya jabatan PNS, TNI/Polri, atau pegawai pada umumnya.
Lagi pula Amien Rais tidaklah sendirian. Amien Rais bukan satu-satunya politikus yang masih aktif di usia tua. Selain Amien Rais ada nama Megawati Soekarnoputri, Akbar Tanjung, Prabowo Subianto, dan banyak politisi lain, yang sampai saat ini masih aktif dalam politik dan partai politik, bahkan masih duduk menjadi  anggota  legislatif.
Sesungguhnya andai saja Amien Rais mau, sampai hari ini ia masih bisa menjadi ketua umum PAN. Pasca berakhirnya masa kepemimpinannya di PAN pada tahun 2004, Amien Rais tidak bersedia lagi menjadi ketua umum PAN untuk kedua kalinya. Padahal kalau saja Amien Rais siap menerima keinginan para kader PAN, pasti mereka akan menunjuknya secara aklamasi menjadi ketua umum PAN.
Amien Rais justru ingin memberikan pendidikan politik yang baik kepada internal PAN khususnya, bahwa harus ada sirkulasi dalam kepemimpinan. Amien Rais ingin ada tradisi jabatan ketua umum PAN hanya dijabat satu kali oleh orang yang sama.
Oleh karena itu ketika Zulkifli Hasan maju kembali dalam bursa pemilihan ketua umum PAN untuk kedua kalinya dalam kongres ke-5 PAN di Kendari, Amien Rais tidak merestuinya. Amien Rais lebih memilih mendukung calon ketua umum yang baru, yakni Mulfachri Harahap. Sayang calon ketua umum PAN yang didukung oleh Amien Rais itu kalah dari Zulkifli Hasan.
Hal itu pula salah satu faktor yang menyebabkan Amien Rais marah, karena Zulkifli Hasan dianggap  telah melanggar tradisi ketua umum di PAN yang telah berjalan selama ini. Di sisi lain Zulkifli Hasan berhasil "menciptakan sejarah", karena sebelumnya di PAN tidak pernah ada ketua umum yang menjabat sampai dua kali.
Sampai kapan Amien Rais akan terus berkiprah dalam kancah politik dan mengurus partai politik ? Tak ada seorang pun tahu. Mungkin saja bagi Amien Rais politik adalah pengabdian sepanjang hayat.
Seandainya nanti partai politik baru yang disebut-sebut sebagai PAN Reformasi benar-benar ada, apakah Amien Rais berambisi untuk menahkodai partai baru itu ? Sepertinya tidak.
Secara objektif mungkin bisa dikatakan bahwa Amien Rais adalah seorang yang sangat demokratis. Kalau lah Amien Rais seorang yang haus kekuasaan, ia tentu tak harus membentuk partai baru. Mengapa tidak PAN saja terus ia kuasai dari dulu dengan menjadi ketua umum terus menerus sampai kini.
Kalau lah Amien Rais seorang yang haus kekuasaan, ia juga tak akan membuat sebuah tradisi "hanya satu kali jabatan" ketua umum di PAN. Faktanya Amien Rais tidak seperti itu.
Seandainya nanti partai politik baru yang disebut-sebut sebagai PAN Reformasi benar-benar terbentuk, hampir bisa dipastikan Amien Rais tak akan menjadi ketua umum partai itu. Agung Mozin, salah seorang loyalis Amien Rais pernah menyatakan bahwa Amien Rais justru menghendaki partai dipimpin oleh orang-orang muda. Artinya tak mungkin jika Amien Rais akan mendudukkan diri menjadi ketua umum partai.
Keterlibatan tokoh-tokoh tua dalam politik dan partai politik tidak bisa dibaca sebagai bentuk dari watak "haus kekuasaan" atau "menghambat regenerasi". Kalau dibaca seperti itu, bagaimana dengan Megawati Soekarnoputri, atau Prabowo Subianto ?
Biarkanlah tokoh-tokoh tua memberikan kontribusinya dalam perpolitikan nasional. Mudah-mudahan semangat para tokoh tua itu menjadi inspirasi bagi generasi yang lebih muda. Usia bukanlah penghalang bagi sebuah pengabdian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H