Tulisan Pak Tjiptadinata Effendi tentang almarhum Cak Nur yang berjudul "Putra Terbaik Bangsa Itu Terlalu Cepat Pergi", telah mengingatkan saya kepada sosok cendekiawan muslim Indonesia yang meninggal tepat 15 tahun yang lalu itu. Tanggal 29 Agustus kemarin memang merupakan hari berpulangnya kembali Cak Nur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Cak Nur adalah sebutan akrab atau populer dari Prof. DR. Nurcholish Madjid. Cak Nur merupakan salah seorang cendekiawan muslim Indonesia yang sangat populer dan dikenal luas di era tahun  80 an dan 90 an. Banyak pemikiran-pemikiran dari Cak Nur mengenai toleransi, keberagaman, dan keindonesiaan yang sangat relevan untuk Indonesia yang majemuk, walau tak jarang menghadirkan kontroversi.
Selain dikenal sebagai seorang cendekiawan muslim, Cak Nur juga dikenal sebagai seorang guru bangsa. Ia menjadi teladan bagi banyak orang.Â
Selain Cak Nur, ada dua orang cendekiawan muslim lain yang juga populer dan dikenal pada era tahun 80 an dan 90 an itu. Mereka adalah (alm.) Abdurrahman Wahid alias  Gus Dur dan Prof. DR. Amien Rais. Cak Nur, Gus Dur, dan Amien Rais, mereka merupakan cendekiawan muslim yang cukup berpengaruh di kalangan kampus dan kaum intelektual waktu itu.
Banyak kajian dan penelitian ilmiah, seperti skripsi, tesis, atau disertasi yang dilakukan terkait pemikiran ketiga tokoh diatas. Tak sedikit pula tulisan-tulisan yang lahir dalam bentuk buku tentang ketiga tokoh itu.
Saya ingat menjelang Pemilu 2004, yaitu pemilihan umum yang termasuk di dalamnya pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya. Waktu itu Cak Nur pernah menyatakan diri bersedia untuk dicalonkan (bukan mencalonkan) sebagai calon presiden.
Kesediaan Cak Nur untuk menjadi calon presiden sebetulnya bukan murni keinginan dirinya. Hal itu lebih karena desakan-desakan dan permintaan banyak pihak sejak lama. Banyak pihak meminta Cak Nur untuk mau maju menjadi calon presiden.
Menurut Cak Nur, banyak pihak selalu mendesak dirinya, selalu menanyakan kesiapan dirinya. Bahkan banyak pihak mengatakan bahwa dirinya cuma bisa bicara, tidak berani terjun langsung sebagai pemain (menjadi orang yang mengelola langsung pemerintahan, yakni menjadi seorang presiden).
Ihwal kesediaan Cak Nur menjadi calon presiden waktu itu karena dilatarbelakangi keadaan. Pergantian rezim dari orde baru ke orde reformasi ternyata tidak serta merta mengubah keadaan. Negara yang aman, adil, dan makmur yang didambakan tidak juga terwujud.
Para tokoh yang semula diyakini dan diharapakan akan dapat membawa bangsa dan negara keluar dari krisis, ternyata tak bisa memenuhi harapan yang dibebankan ke atas pundak mereka. Orang-orang parpol (partai politik) dinilai telah gagal memenuhi amanat rakyat tidak bisa mengelola negara secara maksimal.
Cak Nur memang memiliki modal sosial yang cukup tinggi untuk menjadi calon presiden, sekalipun ia tidak memiliki partai. Menurut jajak pendapat APPROACHING 2004 INDONESIAN PRESIDENCY IN THE MAKING : WHO IS ALL-ROUND BEST yang dilakukan pada tanggal 11-17 September 2002, Cak Nur berada di posisi ke-2 (11,82%) di bawah Sri Sultan Hamengku Buwono (12,65%).