Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kehadiran KAMI dan Stigma Barisan Sakit Hati

19 Agustus 2020   21:32 Diperbarui: 19 Agustus 2020   21:42 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deklarasi KAMI (kompas.com)

Banyak pihak menilai dideklarasikannya gerakan bernama KAMI (Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia) oleh banyak tokoh dari lintas bidang, lintas agama, dan lintas etnis di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat sehari setelah peringatan HUT (Hari Ulang Tahun) RI (Republik Indonesia) ke-75 sebagai sesuatu yang positif. Walaupun ada juga beberapa pihak yang menilai sebaliknya.

Ada sebagian pihak menjadi terlalu sensitif dan reaktif merespon kemunculan KAMI pada tanggal 18 Agustus 2020 itu. Mereka terkesan sinis, merasa khawatir, resah, cemas, atau bahkan takut dengan keberadaan KAMI. Padahal KAMI merupakan gerakan yang biasa ada di sebuah negeri yang demokratis.

KAMI bukanlah sekelompok orang-orang bersenjata atau memiliki kekuatan/pasukan bersenjata. Mereka hanyalah kumpulan orang-orang atau tokoh-tokoh mantan pejabat, mantan anggota legislatif, mantan dosen, dan sebagainya yang sebagian besar usianya relatif sudah tidak muda lagi

Sebutlah nama Prof. Din Syamsudin (62 tahun), Prof. Sri Edi Swasono (71 tahun), Jenderal (TNI Purn.) Gatot Nurmantyo (60 tahun), Rocky Gerung (61 tahun), Ahmad Yani (58 tahun), Said Didu (58 tahun), Ichsanudin Noorsy (61 tahun), dan beberapa nama lain. Hanya beberapa nama seperti Prof. Refly Harun (50 tahun), yang usianya relatif masih muda.

Para tokoh KAMI yang berasal dari lintas bidang, lintas agama, atau lintas etnis itu berkumpul melakukan deklarasi karena dipersatukan oleh sikap dan pandangan yang sama. Yaitu mereka sama-sama kritis terhadap pemerintah dan menginginkan Indonesia yang lebih baik.

Memiliki sikap dan pandangan kritis terhadap pemerintah bukan merupakan sesuatu yang haram dalam negara demokrasi. Selama hal itu tidak mengarah kepada tindakan makar atau membahayakan negara, siapa pun boleh memiliki sikap dan pandangan itu.

Akan tetapi sikap dan pandangan para tokoh KAMI yang kritis kepada pemerintah tak jarang memunculkan persepsi yang tidak objektif, tidak faktual, dan tidak adil dari sebagian pihak. Para tokoh KAMI seringkali dilabeli beberapa stigma buruk, misalnya mereka disebut sebagai BSH (Barisan Sakit Hati).  

Persepsi seperti itu mungkin tidak salah, tapi bisa jadi juga tidak faktual. Apakah betul para tokoh KAMI kumpulan orang-orang yang sakit hati? Belum tentu juga.

Mengkritik pada dasarnya menunjukkan kelemahan atau kekurangan pihak yang dikritik. Akan tetapi bukan berarti orang suka melakukan kritik itu karena memiliki atau didasari rasa benci atau sakit hati. Bahkan mungkin saja orang melakukan kritik itu demi kebaikan pihak yang dikritik atau karena didasari rasa cinta kepada pihak yang dikritik.

Misalnya seorang suami yang menunjukkan ada kotoran yang menempel di baju istrinya sehingga mengganggu keindahan pakaian sang istri. Apakah si suami benci atau sakit hati terhadap istrinya? Tentu tidak, malah sebaliknya.

Misal lain, seorang dosen pembimbing yang menunjukkan beberapa kesalahan karya tulis mahasiswa yang dibimbingnya. Apakah dia benci kepada sang mahasiswa? Tentu tidak. Justru sikap sang pembimbing demi kebaikan si mahasiswa itu sendiri.

Seperti halnya juga para wartawan yang biasa menulis atau memberikan liputan tentang penyelewengan kekuasaan atau keuangan yang dilakukan sebuah lembaga pemerintah misalnya. Apakah para wartawan itu para pembenci pemerintah? Tentu tidak. Para wartawan melakukannya justru sebagai kontrol sosial demi kebaikan semua

Begitu pula dengan para tokoh KAMI. Mereka adalah kumpulan orang-orang yang cukup kompeten dan bermoral. Kalau kita lihat, tak ada satu pun diantara mereka mantan pencuri uang rakyat atau penghianat negara. Justru banyak dari mereka mantan orang-orang yang pernah berjasa terhadap negeri ini dalam bidang mereka masing-masing.

Para tokoh KAMI menilai dan mengkritik sesuai kompetensi yang mereka miliki, walau pun mungkin saja bersifat subjektif. Tidak masalah selama kritik itu berdasar, bukan fitnah.

Objek yang dinilai dan dikritik oleh para tokoh KAMI bukanlah pribadi. Kalau lah mereka mengkritik presiden, para menteri atau pejabat tinggi negara lain bukanlah sebagai pribadi, tapi sebagai pengelola negara.

Stigma BSH kepada para tokoh KAMI bagi saya sebuah labelling yang kurang bertanggung jawab. Bagaimana cara mengukur atau menentukan para tokoh KAMI sebagai BSH? Tentu bukan hal yang mudah untuk menentukannya.

Berdasarkan klaim dari para tokoh KAMI sendiri bahwa KAMI merupakan gerakan moral rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan komponen yang berjuang demi tegaknya kedaulatan negara, terciptanya kesejahteraan rakyat, dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukankah tujuan KAMI merupakan sesuatu yang baik?

Bagaimana mereka melakukannya padahal mereka tidak memiliki kekuasaan karena mereka hanya rakyat biasa bukan eksekutif yang memegang kendali pemerintahan? Ahmad Yani sebagai Ketua Komite KAMI menjelaskan hal tersebut.

Berdasarkan penjelasan dari Ahmad Yani, bahwa KAMI (akan) berjuang membangun masyarakat yang sejahtera berdasarkan konstitusi. KAMI (akan) berjuang dengan berbagai cara sesuai konstitusi, baik melalui edukasi, advokasi, maupun cara pengawasan sosial, politik moral, dan aksi-aksi dialogis, persuasif, dan efektif.

Niat dan tujuan yang baik dari siapa pun, dari setiap elemen bangsa tentu harus diapresiasi. Termasuk dari para tokoh KAMI, tentunya.

Akan tetapi siapa pun jangan berharap atau menuntut KAMI untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di negeri ini. Sekali lagi, mereka bukanlah eksekutif yang memegang kendali pemerintahan. KAMI hanya sebuah gerakan moral yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) seperti ICW, IPW, Kontras, atau yang lainnya termasuk para wartawan dan media massa..

Jadi dengan demikian kemampuan KAMI hanya "bicara" bukan "bertindak". "Bertindak" adalah ranah pemerintah, bukan ranah KAMI. Harap maklum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun