Jumlah PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Indonesia saat ini cukup banyak, ada sekitar 4 juta orang lebih. Jumlah sebanyak itu sangat seksi bagi sebuah kepentingan politik. Oleh karena itu tidak heran jika para PNS sering ditarik-tarik untuk terlibat dalam politik.
Tak jarang para PNS dimanfaatkan untuk mendukung calon presiden/calon wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atau calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Padahal secara aturan sangat jelas, hal itu tidak diperbolehkan alias dilarang.
Dalam PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 53 Tahun 2010, pada Bagian Kedua Pasal 4 poin 12-15 disebutkan bahwa PNS dilarang untuk memberi dukungan kepada calon presiden/calon wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Baik dengan cara ikut kampanye, memberikan surat dukungan foto copi KTP, atau dengan membuat keputusan yang menguntungkan salah satu pihak.
Pihak yang paling berpotensi menyalahgunakan para PNS adalah mereka yang sedang memegang kekuasaan (incumbent) atau mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Sebab mereka memiliki akses dan memegang kendali untuk mengarahkan para PNS seperti yang mereka inginkan.
Dalam hal ini berlaku reward and punishment bagi PNS yang mendukung dan PNS yang tidak mendukung. Dalam suatu pemilihan kepala daerah misalnya. Para PNS yang mendukung, nanti jika calon yang didukung itu menang akan mendapatkan promosi ke tempat yang "basah".
Sebaliknya para PNS yang tidak mendukung, nanti jika calon yang tidak didukung itu menang, siap-siap untuk dimutasi ke tempat yang "kering". Itu sudah menjadi rahasia umum, terjadi hampir di tiap tempat.
Potensi penyalahgunaan para PNS paling besar memang dalam ajang pemilihan kepala daerah. Hal itu dikarenakan pihak yang sedang memegang kekuasaan dalam pemerintahan daerah, baik bupati, walikota, atau gubernur memiliki akses dan kendali yang lebih mudah dan besar kepada para PNS.
Hal itu dikarenakan para PNS pemerintahan daerah ada di bawah kendali langsung bupati, walikota, atau gubernur. Seandainya para PNS pemerintahan daerah itu tidak mendukung, taruhannya adalah jabatan dan masa depan.
Ada sepenggal kisah dari sebuah Pilkada di suatu kabupaten. Sebutlah Si X. Si X ini jabatannya adalah Kabag (Kepala Bagian).
Waktu Pilkada, Si X ini tidak mendukung bupati yang kembali mencalonkan diri. Sang bupati ternyata kembali menang untuk kedua kalinya.
Bagaimana nasib Si X ? Sungguh memprihatinkan. Jabatan Kabag (Kepala Bagian) Si X dicabut. Si X dinonjobkan sama sekali. Ia menjadi staf biasa layaknya pegawai negeri golongan II. Padahal Si X itu mantan pejabat Eselon III.
Orang yang mengalami nasib buruk dari tindakan penyalahgunaan wewenang dan aturan seorang kepala daerah yang sedang berkuasa tentu bukan hanya Si X saja. Banyak Si X-Si X lain yang mengalami nasib yang sama.
Dalam Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2020 yang tahapannya telah dimulai kembali pada bulan Juni lalu setelah beberapa waktu dihentikan karena pandemi Covid-19, potensi penyalahgunaan wewenang dan aturan oleh para incumbent yang memanfaatkan para PNS untuk kepentingan mereka tetap ada. Bahkan mungkin lebih masif lagi.
Oleh karena itu demi kualitas Pilkada yang lebih baik, pihak KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) bisa memainkan perannya secara lebih maksimal. Jangan sampai terjadi praktik-praktik penyalahgunaan wewenang dan aturan dari para incumbent yang memanfaatkan para PNS terus terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H