Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Batas Usia Sekolah Sesuatu yang Absurd?

27 Juni 2020   19:55 Diperbarui: 27 Juni 2020   21:33 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum adanya kehebohan terkait syarat usia sekolah dan sebelum Kompasiana mengangkat topik pilihan mengenai PPDB Syarat Usia, sebetulnya saya sempat terbersit mau menulis tentang usia sekolah. Hanya saja niat itu tidak sempat terlaksana karena ada sesuatu pekerjaan yang harus diselesaikan.

Tapi setelah 4-5 hari berlalu, eh saya malah hampir kehilangan momentum karena ternyata Kompasiana mengangkat masalah usia sekolah tersebut sebab dalam PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) dipermasalahkan beberapa pihak. Kompasianer pun sudah banyak yang membahas hal tersebut dengan beragam perspektif.

Baiklah sebelum saya memberikan pandangan tentang "baik" atau "buruk" pembatasan usia sekolah, saya akan menceritakan pengalaman pribadi terlebih dahulu. Dan saya akan memulainya dari sana.

Dulu saya masuk sekolah dasar usia tujuh tahun lebih.  Waktu itu dengan sesama teman sekelas sering "mengadu" usia. Kita saling membandingkan usia masing-masing.

Ternyata usia teman sekelas bermacam-macam. Ada yang berusia delapan tahun, tujuh tahun, enam tahun, bahkan ada yang masih berusia lima tahun. Saya sendiri termasuk berusia "senior", dan karenanya saya merasa "superior" dibandingkan dengan teman sekelas yang lain.

Tetapi  kemudian saya mengamati, ternyata beberapa teman yang masuk usia sekolah dasar hampir atau lebih dari delapan tahun banyak yang mengalami kesulitan di kelasnya. Prestasi mereka bisa dikatakan tertinggal dari teman-teman sekelas lainnya.

Sebaliknya saya melihat justeru banyak  teman-teman sekelas yang berusia lebih dari lima tahun sampai enam tahun rata-rata memiliki prestasi yang bagus. Paling tidak mereka tidak ketinggalan oleh mereka yang masuk sekolah dasar hampir atau lebih dari delapan tahun.

Hal yang sama saya rasakan ketika memasuki jenjang SLTP dan SLTA. Banyak teman-teman sekolah yang berusia di bawah saya, terutama mereka yang memiliki selisih usia sampai dua tahun lebih (artinya ketika mereka masuk sekolah dasar berusia 5-6 tahun) banyak yang memiliki prestasi bagus. Apalagi ketika SLTA, "saingan" terberat di kelas waktu itu datang bukan dari teman yang usianya lebih tua dari saya tapi teman yang berusia dua tahun lebih muda.

Setelah selesai sekolah pun saya terus mengamati, ternyata banyak teman yang usia dua tahun lebih muda dari saya waktu sekolah dulu relatif sukses dalam kehidupannya. Mereka baik-baik saja. Walau pun masalah kesuksesan dalam hidup menyangkut  faktor nasib juga.

Hasil "pengamatan" dari pengalaman sekolah itu kemudian menjadi catatan bagi saya sendiri bahwa ketika saya punya anak, mereka akan saya sekolahkan saat mereka berusia lima tahun.  Hal itu benar-benar saya lakukan. Semua anak saya, saya masukan ke sekolah dasar ketika mereka berusia lima tahun.

Bagaimana keadaan anak saya ? Tidak ada masalah, baik-baik saja. Alhamdulillah, semua anak saya memiliki prestasi yang tidak ketinggalan dari teman-teman sekelasnya yang berusia lebih tua. Lebih dari itu, semua anak saya memiliki prestasi yang baik dan karenaya cukup "disegani" oleh teman-teman sekelasnya dan juga oleh guru-gurunya.

Hal yang ironis justeru terjadi di sekolah dasar tempat anak-anak saya sekolah. Beberapa guru mengeluh karena banyak siswa di sana yang berusia 1-2 tahun lebih tua dari anak-anak saya waktu di sekolah dasar, walaupun sudah kelas 4 atau 5 sekali pun tidak sedikit dari mereka bahkan belum bisa membaca dan menulis. Apalagi menyerap pelajaran dengan baik, mereka susahnya minta ampun..

Mungkin ada sebagian orang yang menyebut saya sebagai orang tua yang "kejam" karena menyekolahkan anak-anaknya saat berusia masih lima tahun. Boleh-boleh saja.  Tapi mari kita bahas masalah ini dengan sedikit ilmiah.

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa menyekolahkan anak di usia "belum cukup umur" sama dengan merampas masa kecil atau masa-masa indah bermain anak. Bagi saya ini tidak masuk akal. Memangnya dengan memasukan anak ketika masih berusia lima tahun serta merta anak tidak boleh bermain atau tidak bisa bermain karena sangat terfokus untuk belajar ?

Bahkan bagi saya justeru kelas-kelas awal sekolah dasar, yakni antara kelas 1-3 tak ada bedanya dengan anak PAUD atau TK.  Di kelas-kelas awal itu mereka tidak banyak menyerap pengetahuan, hanya "bermain" saja. Baru setelah menginjak kelas 4-6, mereka bisa dikatakan belajar karena sudah bisa menyerap pengetahuan dengan baik.   

Kemudian untuk apa anak bersekolah ? Bukankah salah satu indikator seseorang berhasil di sekolahnya adalah memiliki prestasi akademik atau prestasi lainnya ? Dengan demikian, ketika ada anak yang dipandang "belum cukup umur" tapi memiliki prestasi yang bagus kemudian dipermasalahkan, bagi saya merupakan hal yang absurd.

Dasar penentuan (atau keharusan ?) usia masuk sekolah (dasar) tujuh tahun juga perlu dikaji ulang. Ada sebagian orang mengatakan bahwa usia masuk sekolah tujuh tahun itu bertujuan agar anak tidak terganggu mental atau jiwanya. Sebab jika anak yang "belum cukup umur" disekolahkan akan terganggu mental atau jiwanya menjadi hampa. Bagi saya ini perlu ada penelitian ilmiah.  

Masalah mental atau jiwa yang hampa menurut saya bisa dialami oleh siapa saja. Baik oleh mereka yang "belum cukup umur" atau oleh mereka yang "sudah cukup umur". Masalah mental atau jiwa adalah sesuatu yang abstrak, susah mengukur dan memastikan faktor penyebabnya.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami masalah mental atau kejiwaan. Dalam hal ini, justeru sampai saat ini saya belum menemukan satu pun dalam buku-buku psikologi yang menyebutkan bahwa seseorang mengalami masalah mental atau kejiwaan karena ia masuk sekolah ketika "belum cukup umur".

Itulah pandangan saya terkait maslah usia sekolah, berdasarkan pengalaman yang saya alami sendiri. Pandangan yang empiris, bukan teoritis.

Mungkin saya berbeda pandangan dengan sebagian orang. Tidak masalah. Tidak ada ketentuan pula bahwa orang harus memiliki pandangan yang sama.

Akan tetapi pandangan atau perspektif yang baik tentu harus didasarkan kepada argumentasi yang logis dan "metodelogi" yang baik. Kalau tidak, pandangan atau perspektif itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun