Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Konsistensi Para Aktivis Pengeritik Pemerintah

2 Juni 2020   11:58 Diperbarui: 3 Juni 2020   07:40 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada zaman Orde Baru dulu, tidak banyak orang yang berani mengungkapkan ketidaksetujuan, ketidaksepahaman, atau unek-uneknya kepada pemerintah secara terbuka. Sebab resiko yang harus ditanggung cukup berat. Bisa jadi yang bersangkutan dikucilkan, "ditandai", atau bahkan "diamankan".

Paling banter, sebagian orang melakukan kritik dan sindiran kepada pemerintah Orde Baru adalah dengan sikap malu-malu melalui bahasa (lisan atau tulisan) yang halus atau melalui seni. Hal itu pun tidak ada jaminan akan aman, sebab banyak "mata" yang memantau. Salah seorang yang pernah merasakannya adalah si Raja dangdut Rhoma Irama.

Waktu itu Rhoma Irama dianggap berseberangan dengan pemerintah karena mendukung partai bukan Golkar dan membuat syair-syair lagu yang kritis terhadap pemerintah. Akibatnya ia dicekal tidak boleh tampil di TVRI (satu-satunya TV waktu itu) selama 11 tahun sejak tahun 1977.

Akan tetapi ada juga beberapa orang yang benar-benar berani bersuara keras dan bersikap kritis kepada pemerintah tanpa kompromi. Mereka kencang mengeritik pemerintah, menyuarakan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat.

Pada zaman Orde Baru siapa yang tidak mengenal nama Sri Bintang Pamungkas? Ia seorang akademisi dan intelektual yang sangat berani mengeritik pemerintahan Orde Baru dengan pernyataan-pernyataannya dan melalui demonstrasi.

Sri Bintang Pamungkas bahkan berani melakukan demonstrasi di Jerman pada pertengahan April 1995 sewaktu Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke sana. Saat itu Soeharto menyebut para demonstran sebagai  orang-orang edan dan sinting.

Selain Sri Bintang Pamungkas, ada lagi seorang akademisi dan intelektual yang berani bersuara keras dan bersikap kritis terhadap pemerintah  Orde Baru, yakni Amien Rais. Amien Rais banyak mengkritisi kebijakan pemerintah terutama menyangkut hubungan dengan luar negeri. Bahkan dengan berani Amien Rais menulis sebuah buku tentang freeport yang dinilainya hanya menguntungkan Amerika.

Amien Rais, sebagai diketahui bersama bahkan menjadi aktor utama (bukan aktor tunggal) tokoh reformasi yang berhasil mengakhiri pemrintahan Orde Baru. Amien Rais berhasil menggalang kekuatan dari berbagai kalangan : mahasiswa, politikus, tokoh agama, dan banyak kalangan lainnya.

Selain kedua akademisi di atas, dari kalangan muda juga tercatat ada beberapa nama yang berani, yang dikenal sebagai aktivis pengeritik pemerintah Orde Baru. Nama mereka cukup populer waktu itu, seperti nama Budiman Sujatmiko, Dita Indah Sari, Andi Arief, Pius Lustrilanang, atau Desmond J. Mahesa. Nama Fajroel Rachman juga mungkin bisa disebut di sini.

Pasca Orde Baru runtuh, pada zaman pemerintahan BJ. Habibie, Gus Dur, dan Megawati pun muncul beberapa nama aktivis pengeritik pemerintah. Nama yang cukup populer waktu itu adalah Munir dan Teten Masduki. Nama Munir identik dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), sedangkan Teten Masduki identik dengan LSM ICW (Indonesian Corruption Watch).

Pada zaman pemerintahan SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) pun aktivis pengeritik pemerintah tetap ada. Saat itu nama aktivis pengeritik yang cukup vokal diantaranya Rieke Diah Pitaloka dari PDI-P. Kemudian ada juga nama Fajroel Rahman.

Bagaimana dengan pemerintahan Jokowi sekarang ? Sama saja. Para aktivis pengeritik pemerintah selalu ada, hanya mungkin saat ini cara dan sikap dalam mengeritik agak berbeda dari sebelumnya.

Saat ini aktivis pengeritik pemerintah yang cukup banyak disebut antara lain Rocky Gerung, Faisal Basri, Haris Azhar, Said Didu, Rizal Ramli, dan Refly Harun. Nama Amien Rais juga masih cukup kencang terdengar melakukan kritik terhadap pemerintah.

Dengan demikian setiap pemerintahan bisa disebut tidak akan terlepas dari adanya para pengeritik. Ini sebuah konsekuensi dan "hukum alam". Bahkan  bisa disebut sebuah ilusi jika sebuah pemerintahan ingin "steril" dari para pengeritik.

Persoalannya, mengapa para aktivis pengeritik pemerintah melakukan kritikan pada pemerintahan yang ada ? Apa motivasinya ? Apakah benar demi melakukan koreksi konstruktif, atau menyuarakan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat ?

Tentang hal itu tentu mereka sendiri yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan pasti. Dalam hal ini kita paling hanya bisa melihat konsistensi dari sikap dan perilaku mereka.

Adakah para aktivis pengeritik pemerintah yang konsisten mengkritisi pemerintah ? Jawabnya ada. Nama Amien Rais bisa disebut disini.

Sejak zaman Soeharto, BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, sampai Jokowi, Amien Rais tetap konsisten bersuara keras dan  bersikap kritis terhadap pemerintah. Padahal pada zaman Gus Dur dan Megawati, Amien Rais memiliki "kursi", yakni sebagai Ketua MPR RI. Mendapatkan jabatan sekalipun tidak lantas membuat Amien Rais "membisu" terhadap pemerintah.

Selain nama Amien Rais, nama Faisal Basri dan Sri Bintang Pamungkas juga bisa disebut dalam kategori ini. Hanya saja untuk Sri Bintang Pamungkas memang saat ini tidak terlalu terdengar suaranya, beda dengan Faisal Basri. Tapi  pada dasarnya Sri Bintang Pamungkas selalu beruara keras  dan bersikap kritis terhadap semua pemerintahan.

Bagaimana dengan nama lain, Budiman Sujatmiko misalnya ? Ia sangat kritis pada zaman Soeharto, cukup kritis pada zaman Habibie, Gus Dur, dan SBY. Tetapi ia diam membisu pada zaman Megawati dan zaman Jokowi saat ini.

Kemudian bagaimana dengan Andi Arief, Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang ? Mereka sangat kritis pada zaman Soeharto, cukup kritis pada zaman Habibie dan Gus Dur. Tetapi mereka menjadi "jinak" pada zaman SBY dan Jokowi saat ini.

Ada nama lain Dita Indah Sari, Teten Masduki, dan Fajroel Rahman. Mereka cukup kritis pada zaman Habibie Gus Dur, dan SBY. Tetapi bagaimana pada zaman Jokowi ini ? Suara mereka nyaris tak terdengar.

Kita tahu bahwa seperti itulah politik, sangat dinamis dan sangat cair. Kawan bisa  menjadi lawan, atau sebaliknya. Nothing is impossible dalam politik.

Hanya saja kita menjadi tahu bahwa otentisitas dan objektifitas sikap dan perilaku seseorang bisa diketahui dengan ada atau tidak adanya perubahan di waktu kemudian. Kita sebatas hanya tahu, tetapi tidak bisa menuntut.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun