Kisruh yang terjadi di internal PAN (Partai Amanat Nasional) saat ini membuat saya kembali teringat awal terbentuknya partai itu tahun 1998. Saya bukan pendiri PAN. Tapi waktu itu saya memantau dari berbagai media bagaimana lika-liku terbentuknya PAN dan ikut merasakan "suasana kebatinan" waktu itu.
Dalam konteks politik, sebuah partai politik sering dimetaforakan sebagai sebuah perahu. Para pengurus atau anggota adalah para penumpangnya. Dengan demikian di sini saya akan menggunakan metafora itu untuk PAN dan para pengurus atau anggotanya.
Pada tahun 1998 pasca reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, seorang bernama Amien Rais yang menjadi "otak" dan pelopor reformasi mempunyai ide membuat sebuah "perahu" yang bisa menjadi kendaraan banyak orang dari latar belakang yang heterogen. Ia tidak ingin "perahu" itu hanya dinaiki oleh sekelompok orang yang berasal dari latar belakang yang homogen..
Saat itu Amien Rais memilki modal yang sangat memadai untuk membuat "perahu". Selain sebagai seorang akademisi yang familiar di kalangan mahasiswa dan memiliki kemampuan menggerakkan mereka, Amien Rais juga memiliki basis massa pendukung cukup banyak. Basis massa itu berasal dari ormas Muhammadiyah yang dipimpinnya waktu itu.
Modal lain yang tak kalah pentingnya adalah modal sosial, modal popularitas. Waktu itu siapa yang tidak kenal nama Amien Rais ? Anak kecil pun pasti tahu.
Ide Amien Rais membuat "perahu" disokong penuh oleh banyak tokoh yang memiliki nama besar. Mereka itu adalah kaum intelektual, akademisi, aktivis, profesional, mantan tentara, tokoh agama, dan lain-lain. Beberapa nama bisa disebut seperti AM Fatwa, Faisal Basri, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Goenawan Muhammad, Zoemrotin, Emil Salim, Abdilah Toha, Alvin Lie, dan lain-lain.
Mereka menyokong penuh ide Amien Rais untuk membuat "perahu", yang kemudian disepakati diberi nama PAN (Partai Amanat Nasional). "Perahu" ini terlihat cukup bagus, cantik, dan kokoh. Hal itu ditambah dengan para penumpangnya yang hebat-hebat, plural, heterogen, dan mumpuni dalam bidangnya masing-masing.
Pada tahun 1999, untuk pertama kalinya "perahu" PAN berlayar ke "samudera" Pemilu (Pemilihan Umum). Ternyata di luar ekspektasi. Perolehan "ikan" (suara) yang bisa ditangkap oleh para penumpang "perahu" tidak cukup banyak, hanya kisaran 7 persen saja dari total perolehan "ikan" (suara) secara nasional. Â
Tapi itu tidak buruk. Sebab walau pun dengan perolehan "ikan" hanya sebanyak itu, beberapa pembuat "perahu" dan banyak penumpang "perahu" bisa menikmati "kue" kekuasaan. Termasuk sang pembuat "perahu", Amien Rais.
Kemudian waktu berlalu. Beberapa pembuat "perahu" yang membantu Amien Rais ada yang minta turun, keluar dari "perahu". Faisal Basri misalnya. Ia hanya sekitar empat tahun naik "perahu" PAN itu.
Selain Faisal Basri, ada beberapa nama pembuat "perahu" lain yang juga minta turun, keluar dari "perahu". Mereka kembali ke habitatnya masing-masing. Seperti Faisal Basri, ia kembali ke kampus, kembali menjadi peneliti, dan juga ekonom.
Para penumpang "perahu" pun bongkar pasang, keluar masuk. Ada yang pindah ke "perahu" lain, ada yang memang keluar dari "perahu". Penumpang baru pun banyak, mencoba mengarungi samudera perpolitikan Indonesia dengan naik "perahu" PAN.
"Perahu" PAN yang dibuat oleh Amien Rais dan dibantu tokoh-tokoh hebat itu telah ikut mewarnai "samudera" perpolitikan Indonesia. Dengan "perahu" PAN itu pula banyak penumpang bisa merasakan manisnya "kue" kekuasaan. Baik di eksekutif maupun di legislatif.
Waktu terus berlalu. Amien Rais sang pembuat "perahu" semakin menua dan melemah kekuatannya. Ia tidak sekuat dan sehebat waktu membuat "perahu" pada tahun 1998 lalu. Kemudian terjadilah sebuah ironi.
Dalam kondisi sang pembuat "perahu" seperti itu, para penumpang banyak yang menjadi lupa diri. Sebagian dari mereka bahkan menciptakan sebuah kondisi agar sang pembuat "perahu" tidak betah ada di dalam "perahu". Mereka kurang menghargai lagi kepada sang pembuat "perahu", malah ada yang terkesan kurang ajar.
Mereka lupa akan jasa dan peran sang pembuat "perahu" yang telah menghantarkan mereka ke posisi yang nyaman dan terhormat. Amien Rais sang pembuat "perahu" terabaikan atau sengaja diabaikan.
Akhirnya Amien Rais sang pembuat "perahu" benar-benar merasa tidak nyaman berada di dalam "perahu" yang ia desain dan ia buat sendiri. Ia bermaksud keluar dari "perahu" itu dan menurut isu akan membuat "perahu" yang  baru. Â
Tapi kalau lah isu itu benar, bisa dipastikan bahwa "perahu" baru yang akan ia buat tidak akan sebagus, secantik, dan sekokoh "perahu" yang ia buat dulu pada tahun 1998 lalu. Hal itu mengingat Amien Rais yang sekarang bukan Amien Rais yang dulu. Kini sang pembuat "perahu" sudah melemah, menua, tidak sekuat dan sehebat dulu.
Selain itu orang-orang yang akan membantu membuat "perahu" saat ini bukanlah nama-nama besar. Berbeda dengan orang-orang yang dulu membantunya membuat "perahu" pada tahun 1998, yang merupakan orang-orang kelas satu dalam bidangnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H