Oleh karena UN memerlukan alat tes yang dapat mengukur apa yang harus diukur. Mengembangkan alat tes yang ter standar ini penting agar jangan sampai kejadian tahun 2018 ter ulang di mana banyak pihak mengeluhkan adanya soal-soal ujian yang tidak relevan dengan kisi-kisi.Â
Bagaimana Kementerian Pendidikan mengeluarkan batasan-batasan soal ujian melalui kisi-kisi tetapi kemudian dilanggar sendiri. Soal-soal UN yang diterbitkan oleh BNSP harus lebih sering diuji publik oleh pihak-pihak yang lebih luas, oleh ahli evaluasi yang representatif dan oleh guru.Â
Pemerintah harus lebih berani menggunakan ahli evaluasi belajar yang lebih progresif agar menghasilkan soal-soal ujian yang benar-benar dapat menguji dan sekaligus mampu memprediksi masa depan. Ahli-ahli yang berpikir membuat soal hanya untuk menjebak siswa tidak perlu digunakan lagi.
Apakah Ujian Nasional harus bersifat wajib?
Di bagian atas saya menulis Kementerian Pendidikan perlu memiliki alat evaluasi belajar berskala nasional tetapi Kementerian Pendidikan tidak perlu memutuskan siswa wajib mengikuti UN. Siapa yang akan memutuskan? Siswa itu sendiri (otomatis di belakangnya ada orang tua) dan gurunya. Selama ini guru mungkin merasa hak nya telah diambil dalam hal memutuskan apakah muridnya bisa diluluskan atau tidak.Â
Sudah waktunya guru diberi lagi kewenangan untuk menentukan apakah muridnya layak ikut ujian berskala nasional atau tidak. Apabila guru mampu menyiapkan siswa mengikuti ujian dengan skala yang lebih tinggi dari pada ujian sekolah dengan nilai baik sudah selayaknya guru mendapat penghargaan. Sistem evaluasi belajar sudah waktunya dikaitkan dengan mekanisme lainnya seperti penilaian kinerja guru.
Apakah UN harus wajib di sekolah dasar? Â Sistem evaluasi belajar di SD sudah beberapa lama tidak menggunakan UN murni tetapi ujian sekolah berbasis nasional (USBN) yaitu campuran ujian sekolah (lokal) dengan soal-soal dari nasional.Â
Tetapi karena nilai USBN diragukan, anak-anak masih harus mengikuti tes masuk ke SMP. Sebenarnya UN, USBN atau pun ujian masuk SMP sudah tidak relevan dengan diterapkannya wajib belajar 9 tahun. Bagaimana pun anak-anak wajib melanjutkan ke kelas 7 (SMP Kelas 1) setelah selesai kelas 6. Â Apalagi dengan diterapkan dengan zonasi sekolah, anak-anak harus sekolah dalam zonasi rumahnya.Â
Jadi kapan sebaiknya Kementerian Pendidikan melakukan evaluasi belajar untuk SD? Karena ini adalah pendidikan dasar kemampuan yang perlu dicapai siswa adalah membaca, menulis dan berhitung (Calistung). Kadang kita mendengar ada anak masuk SMP ternyata tidak bisa membaca. Anak-anak Indonesia juga tidak memiliki kemampuan menulis yang baik. Menulis satu paragraf saja bisa berisi pokok bahasan semua.Â
Dari hasil tes-tes internasional (misalnya PISA) kemampuan calistung anak Indonesia juga tergolong rendah. Hal ini harus dicarikan jalan keluarnya dan agar tidak terlambat diketahui, alangkah baiknya apabila ada mekanisme evaluasi belajar yang lebih kuat untuk siswa kelas 3 yaitu saat siswa akan menyelesaikan kelas awal dan memasuki kelas tinggi. Â
Guru Kelas 3 membutuhkan panduan untuk dapat melakukan tes ke siswa nya berdasar standar yang ingin dicapai pemerintah. Apabila anak-anak kelas 3 bisa membaca dengan baik (yang ditunjukkan dengan bisa menjawab pertanyaan, tentu saja dari bacaan dan pertanyaan untuk anak kelas 3), mampu menulis (mampu menuliskan ide dan pikirannya dengan bahasa sederhana yang runtut) dan mampu berhitung (matematika sederhana sebagai dasar logika) maka anak akan lebih mudah menyelesaikan kelas tinggi di SD.Â
Dan saat nanti akan menyelesaikan kelas 6 tinggal di uji lagi dengan bacaan yang lebih komplek, menulis yang sedikit lebih panjang dan ujian berhitung dengan logika yang sedikit lebih tinggi.Â