Mohon tunggu...
Wiwik TriErnawati
Wiwik TriErnawati Mohon Tunggu... Pemerhati masalah sosial

Penggerak Literasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengulik Kasus Bunuh Diri Mahasiswa dari Kacamata Sosiologi

8 Oktober 2024   10:22 Diperbarui: 8 Oktober 2024   10:48 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar:samuderausi.com

Maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa merupakan fenomena yang semakin mencemaskan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dari beberapa sumber dapat di;ihat, kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa di Indonesia selama periode 2023-2024 menunjukkan peningkatan yang signifikan, mencerminkan adanya masalah mendalam terkait tekanan sosial, akademis, serta kesehatan mental di kalangan anak muda.

Menurut Kementerian Kesehatan, dalam kurun waktu 2023 hingga pertengahan 2024, diperkirakan ada sekitar 20-25 kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa yang dilaporkan ke pihak universitas atau media. Namun, angka sebenarnya bisa lebih tinggi karena tidak semua kasus dilaporkan secara terbuka.

Fenomena ini tidak hanya menyisakan luka mendalam bagi keluarga dan teman, tetapi juga mengungkap adanya masalah sosial yang lebih kompleks. Dari perspektif sosiologis, bunuh diri di kalangan mahasiswa dapat dipandang sebagai hasil interaksi antara berbagai faktor sosial, budaya, ekonomi, dan psikologis. Melalui tinjauan yang lebih mendalam, kita bisa memahami bahwa kasus-kasus ini bukan hanya tragedi individu, melainkan juga cerminan dari ketidakseimbangan dalam struktur sosial dan ekspektasi yang membebani kaum muda.

1. Tekanan Akademis yang Menjepit: Konsekuensi dari Budaya Meritokrasi

Dalam dunia pendidikan tinggi, meritokrasi -- atau keyakinan bahwa kesuksesan individu ditentukan oleh kemampuan dan usaha -- menjadi prinsip utama. Mahasiswa dituntut untuk berprestasi dalam segala aspek, baik akademik maupun non-akademik. Sistem pendidikan modern sering kali menekankan pencapaian akademis sebagai tolok ukur utama keberhasilan hidup. Dalam konteks ini, mahasiswa yang gagal memenuhi standar tersebut merasa tertekan, dan tidak jarang menginternalisasi kegagalan mereka sebagai cerminan dari ketidakberhargaan diri.

Dari sudut pandang sosiolog Emile Durkheim, kondisi ini bisa memicu bunuh diri egoistik, di mana individu merasa terisolasi dari masyarakat karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial. Dalam kasus mahasiswa, kegagalan dalam mencapai prestasi akademis tidak hanya berdampak pada pencitraan diri, tetapi juga mempengaruhi hubungan sosial dan dukungan emosional yang mereka peroleh.

Tekanan akademis ini semakin diperparah oleh tuntutan untuk terus-menerus bersaing, baik di dalam kelas maupun di luar lingkungan akademik. Budaya kompetitif yang terbentuk sering kali menciptakan rasa cemas, frustasi, dan kelelahan mental di kalangan mahasiswa. Mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan ritme kompetisi ini rentan mengalami depresi dan merasa terjebak dalam lingkaran tekanan yang tak berujung.

2. Disintegrasi Sosial dan Keterasingan Emosional

Salah satu faktor kunci yang meningkatkan risiko bunuh diri di kalangan mahasiswa adalah disintegrasi sosial. Mahasiswa yang pindah dari lingkungan keluarga dan sahabat lama ke lingkungan baru, seperti universitas, sering kali mengalami kesulitan dalam membangun kembali jaringan sosial. Kesepian, keterasingan, dan perasaan tidak terhubung dengan lingkungan baru menjadi pemicu kuat terjadinya depresi dan masalah kesehatan mental lainnya.

Menurut perspektif sosiologi, peran komunitas sangat penting dalam menjaga kesejahteraan individu. Namun, banyak mahasiswa merasa kesulitan untuk menemukan komunitas yang dapat memberikan dukungan emosional dan sosial yang dibutuhkan. Kondisi ini diperburuk oleh stigma yang masih melekat pada kesehatan mental, di mana mahasiswa sering kali ragu atau malu untuk mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau tidak mampu. Akibatnya, mereka menahan diri dari mencari bantuan yang tepat, meskipun sebenarnya membutuhkan intervensi dari segi psikologis dan sosial.

3. Krisis Identitas dan Beban Kehidupan Modern

Fase kehidupan mahasiswa sering kali dikaitkan dengan masa transisi menuju dewasa. Dalam tahap ini, mereka tidak hanya dihadapkan pada tuntutan akademis, tetapi juga harus mulai memikirkan jati diri, tujuan hidup, dan peran mereka dalam masyarakat. Proses pencarian identitas ini dapat menjadi beban tersendiri, terutama ketika mereka menghadapi ketidaksesuaian antara ekspektasi diri sendiri dan kenyataan hidup. Sosiolog Erving Goffman melalui teorinya tentang "manajemen kesan" mengungkapkan bahwa individu sering kali terbebani oleh harapan-harapan sosial yang tidak realistis, yang kemudian menciptakan disonansi antara diri ideal dan diri yang sebenarnya.

Banyak mahasiswa yang merasa tidak mampu mencapai standar keberhasilan yang diharapkan oleh orang tua, masyarakat, atau bahkan diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka terjebak dalam perasaan frustrasi dan kekecewaan yang mendalam, yang jika dibiarkan terus-menerus dapat memicu keinginan untuk mengakhiri hidup.

4. Peran Media Sosial dalam Menyuburkan Depresi

Di era digital, media sosial memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan mahasiswa. Di satu sisi, media sosial memungkinkan mereka untuk tetap terhubung dengan teman dan keluarga. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi arena perbandingan sosial yang tidak sehat. Mahasiswa sering kali membandingkan diri mereka dengan orang lain yang tampaknya lebih sukses, lebih bahagia, atau memiliki kehidupan yang lebih sempurna. Teori perbandingan sosial (social comparison theory) menunjukkan bahwa eksposur terhadap representasi diri yang ideal di media sosial dapat meningkatkan perasaan ketidakberhargaan dan depresi.

Banyak mahasiswa yang merasa gagal jika hidup mereka tidak seindah atau sesukses yang dipamerkan di media sosial. Akibatnya, mereka merasa semakin tertekan untuk memenuhi standar kebahagiaan yang sebenarnya tidak realistis, yang pada akhirnya meningkatkan risiko depresi dan bunuh diri.

5. Stigma Kesehatan Mental yang Masih Kuat

Walaupun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental semakin meningkat, stigma terkait masalah ini masih sangat kuat di kalangan mahasiswa. Banyak dari mereka yang merasa malu atau takut dianggap lemah jika mengakui bahwa mereka mengalami masalah kesehatan mental. Stigma ini tidak hanya berasal dari lingkungan sosial, tetapi juga sering kali ditanamkan sejak dini oleh keluarga yang memandang kesehatan mental sebagai hal tabu.

Menurut perspektif sosiologis, stigma ini merupakan bagian dari norma sosial yang menghambat akses terhadap bantuan yang dibutuhkan. Di banyak universitas, fasilitas dan layanan kesehatan mental juga masih terbatas, sehingga mahasiswa yang membutuhkan bantuan harus menunggu dalam waktu yang lama untuk mendapatkan akses ke konseling atau terapi yang tepat.

6. Tekanan Ekonomi dan Ketidakpastian Masa Depan

Selain tekanan akademis dan sosial, faktor ekonomi juga berperan dalam meningkatkan risiko bunuh diri di kalangan mahasiswa. Biaya pendidikan yang tinggi, beban pinjaman mahasiswa, serta ketidakpastian terkait prospek pekerjaan setelah lulus sering kali menambah beban mental mereka. Dalam beberapa kasus, mahasiswa merasa putus asa menghadapi ketidakpastian masa depan mereka, terutama dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil.

Mahasiswa dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu sering kali harus bekerja sambil kuliah untuk mendukung biaya hidup mereka. Kondisi ini menciptakan tekanan ganda yang semakin memperburuk kesehatan mental mereka. Dalam kondisi demikian, perasaan terisolasi, depresi, dan ketidakberdayaan semakin mendalam, yang dapat mendorong mereka untuk mengambil langkah ekstrem seperti bunuh diri.

Penutup

Bunuh diri di kalangan mahasiswa bukan hanya fenomena individual, tetapi juga merupakan refleksi dari berbagai masalah sosial yang lebih luas. Dari perspektif sosiologis, kasus-kasus ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk tekanan akademis, disintegrasi sosial, krisis identitas, perbandingan sosial yang tidak sehat, stigma kesehatan mental, dan tekanan ekonomi. Untuk mencegah semakin meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif, mulai dari peningkatan dukungan sosial di kampus, pengurangan stigma kesehatan mental, hingga penyediaan layanan kesehatan mental yang lebih mudah diakses.

Mengatasi masalah ini memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk keluarga, universitas, dan masyarakat luas, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mencari bantuan ketika mereka membutuhkannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun