Menurut perspektif sosiologi, peran komunitas sangat penting dalam menjaga kesejahteraan individu. Namun, banyak mahasiswa merasa kesulitan untuk menemukan komunitas yang dapat memberikan dukungan emosional dan sosial yang dibutuhkan. Kondisi ini diperburuk oleh stigma yang masih melekat pada kesehatan mental, di mana mahasiswa sering kali ragu atau malu untuk mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau tidak mampu. Akibatnya, mereka menahan diri dari mencari bantuan yang tepat, meskipun sebenarnya membutuhkan intervensi dari segi psikologis dan sosial.
3. Krisis Identitas dan Beban Kehidupan Modern
Fase kehidupan mahasiswa sering kali dikaitkan dengan masa transisi menuju dewasa. Dalam tahap ini, mereka tidak hanya dihadapkan pada tuntutan akademis, tetapi juga harus mulai memikirkan jati diri, tujuan hidup, dan peran mereka dalam masyarakat. Proses pencarian identitas ini dapat menjadi beban tersendiri, terutama ketika mereka menghadapi ketidaksesuaian antara ekspektasi diri sendiri dan kenyataan hidup. Sosiolog Erving Goffman melalui teorinya tentang "manajemen kesan" mengungkapkan bahwa individu sering kali terbebani oleh harapan-harapan sosial yang tidak realistis, yang kemudian menciptakan disonansi antara diri ideal dan diri yang sebenarnya.
Banyak mahasiswa yang merasa tidak mampu mencapai standar keberhasilan yang diharapkan oleh orang tua, masyarakat, atau bahkan diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka terjebak dalam perasaan frustrasi dan kekecewaan yang mendalam, yang jika dibiarkan terus-menerus dapat memicu keinginan untuk mengakhiri hidup.
4. Peran Media Sosial dalam Menyuburkan Depresi
Di era digital, media sosial memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan mahasiswa. Di satu sisi, media sosial memungkinkan mereka untuk tetap terhubung dengan teman dan keluarga. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi arena perbandingan sosial yang tidak sehat. Mahasiswa sering kali membandingkan diri mereka dengan orang lain yang tampaknya lebih sukses, lebih bahagia, atau memiliki kehidupan yang lebih sempurna. Teori perbandingan sosial (social comparison theory) menunjukkan bahwa eksposur terhadap representasi diri yang ideal di media sosial dapat meningkatkan perasaan ketidakberhargaan dan depresi.
Banyak mahasiswa yang merasa gagal jika hidup mereka tidak seindah atau sesukses yang dipamerkan di media sosial. Akibatnya, mereka merasa semakin tertekan untuk memenuhi standar kebahagiaan yang sebenarnya tidak realistis, yang pada akhirnya meningkatkan risiko depresi dan bunuh diri.
5. Stigma Kesehatan Mental yang Masih Kuat
Walaupun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental semakin meningkat, stigma terkait masalah ini masih sangat kuat di kalangan mahasiswa. Banyak dari mereka yang merasa malu atau takut dianggap lemah jika mengakui bahwa mereka mengalami masalah kesehatan mental. Stigma ini tidak hanya berasal dari lingkungan sosial, tetapi juga sering kali ditanamkan sejak dini oleh keluarga yang memandang kesehatan mental sebagai hal tabu.
Menurut perspektif sosiologis, stigma ini merupakan bagian dari norma sosial yang menghambat akses terhadap bantuan yang dibutuhkan. Di banyak universitas, fasilitas dan layanan kesehatan mental juga masih terbatas, sehingga mahasiswa yang membutuhkan bantuan harus menunggu dalam waktu yang lama untuk mendapatkan akses ke konseling atau terapi yang tepat.
6. Tekanan Ekonomi dan Ketidakpastian Masa Depan