Mohon tunggu...
Wiwik TriErnawati
Wiwik TriErnawati Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah sosial

Penggerak Literasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Tiga Srikandi di Pilkada Jawa Timur, Simbol Emansipasi atau Strategi Populisme?

5 September 2024   07:47 Diperbarui: 14 September 2024   05:55 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendaftaran cagub-cawagub Pilkada 2024 secara serentak telah ditutup oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang berlangsung pada 27 hingga 29 Agustus 2024.

Nantinya, para pasangan bakal cagub-cawagub Pilkada 2024 yang telah mendaftar akan menjalani pemeriksaan administrasi dan kesehatan oleh KPU Daerah untuk ditetapkan sebagai calon pasangan cagub-cawagub provinsi di Pilkada 2024. 

Penetapan pasangan cagub-cawagub dilakukan pada 22 September 2024, sementara pemungutan suara Pilkada 2024 akan dilaksanakan secara serentak pada 27 November 2024.

Dalam perkembangan politik yang tak terduga, Pilkada Gubernur Jawa Timur tahun ini diwarnai oleh fenomena unik: seluruh calon yang berlaga dalam kontestasi politik ini adalah perempuan. Hal ini memicu perhatian publik, baik di tingkat lokal maupun nasional, serta membuka diskusi baru tentang peran perempuan dalam politik Indonesia.

Dengan hadirnya tiga tokoh perempuan di panggung politik Pilkada Jawa Timur, daerah ini menjadi sorotan sebagai simbol kemajuan keterwakilan perempuan dalam politik. Fenomena ini semakin menguatkan tren meningkatnya jumlah perempuan yang berpartisipasi aktif dalam proses politik, dari level lokal hingga nasional.

Ketiga calon tersebut adalah sosok yang sudah tidak asing lagi di dunia politik. Mereka memiliki latar belakang yang kuat sebagai pemimpin, baik dalam birokrasi pemerintahan, organisasi sosial, maupun partai politik. 

Keberadaan mereka dalam Pilkada ini mencerminkan kemajuan yang signifikan dalam perjuangan kesetaraan gender, di mana perempuan tidak hanya dianggap mampu mengelola rumah tangga tetapi juga layak untuk memimpin sebuah provinsi besar seperti Jawa Timur.

Dengan fenomena yang menarik pada Pilkada Gubernur Jawa Timur, keterlibatan tiga tokoh perempuan tersebut  dalam kontestasi politik mengundang perhatian banyak pihak. 

Masyarakat kerap menyebut mereka sebagai "Srikandi", mengacu pada kisah pewayangan yang menggambarkan perempuan-perempuan tangguh. 

Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah ini bisa disebut sebagai fenomena feminisme dalam konteks politik Indonesia? 

Untuk menjawabnya, kita perlu melihat dari berbagai sudut pandang, termasuk sejarah politik perempuan, stereotip gender, politik identitas, peran media, dan pendekatan feminisme itu sendiri.

1. Sejarah dan Keterwakilan Perempuan dalam Politik

Secara historis, politik di Indonesia, terutama di level pemerintahan daerah, masih didominasi oleh laki-laki. Namun, dengan keterlibatan tiga tokoh perempuan atau "Srikandi" dalam kontestasi politik tingkat provinsi, kita melihat perubahan pola pikir masyarakat dan partai politik mengenai keterlibatan perempuan dalam politik.

Feminisme di Indonesia tidak hanya sebatas pada upaya untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam sektor publik dan privat, tetapi juga untuk membuka ruang bagi perempuan agar terlibat dalam proses pengambilan keputusan di berbagai level, termasuk politik. 

Partisipasi perempuan dalam Pilkada menunjukkan bahwa perempuan semakin mampu memecahkan hambatan struktural yang selama ini menghalangi mereka untuk berperan dalam politik.

Perempuan Indonesia memiliki sejarah panjang dalam keterlibatan politik. Salah satu tokoh paling terkenal adalah Raden Ajeng Kartini, yang menjadi simbol emansipasi perempuan sejak era kolonial. 

Setelah kemerdekaan, Indonesia juga menyaksikan kehadiran tokoh perempuan seperti Megawati Soekarnoputri yang menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia.

Meski demikian, keterwakilan perempuan di ranah politik formal masih terbilang rendah. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen, meskipun meningkat dari waktu ke waktu, masih belum mencapai target 30% yang ditetapkan dalam kebijakan affirmative action. 

Maka dari itu, keterlibatan tiga tokoh perempuan dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur dianggap sebagai pencapaian penting dalam perjuangan kesetaraan gender, memperlihatkan bahwa perempuan kini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berkompetisi di tingkat tinggi.

Di tingkat lokal, keterlibatan perempuan dalam politik sering kali terbatas oleh hambatan sosial, budaya, dan ekonomi. Beberapa tokoh perempuan menghadapi tantangan berat, mulai dari stigma hingga kurangnya dukungan dari partai politik. 

Oleh karena itu, munculnya tiga perempuan dalam Pilkada Jawa Timur menjadi simbol kemajuan, baik dari perspektif representasi gender maupun sebagai bagian dari sejarah keterlibatan perempuan dalam politik Indonesia.

2. Kepemimpinan Perempuan dan Stereotip Gender

Dalam masyarakat yang masih didominasi oleh budaya patriarki, perempuan yang tampil sebagai pemimpin sering kali dihadapkan pada ekspektasi ganda. 

Mereka tidak hanya diharapkan untuk menunjukkan kemampuan politik dan manajerial, tetapi juga harus sesuai dengan stereotip feminin yang ada, seperti lembut, peduli, dan emosional. Jika mereka dianggap terlalu tegas atau keras, mereka bisa dituding "tidak sesuai" dengan kodrat perempuan.

sumber gambar: Antaranews.com
sumber gambar: Antaranews.com

Namun, feminisme justru berusaha merombak stereotip gender ini. Feminisme menekankan bahwa kualitas kepemimpinan tidak dibatasi oleh jenis kelamin, dan bahwa perempuan berhak untuk menjadi pemimpin dengan gaya dan pendekatan mereka sendiri. 

Keterlibatan tiga perempuan dalam Pilkada Jawa Timur adalah bukti nyata bahwa perempuan dapat memainkan peran strategis dalam dunia politik yang sering kali dianggap keras dan kompetitif.

Lebih lanjut, kepemimpinan perempuan sering kali dikaitkan dengan pendekatan yang lebih inklusif dan empatik. Penelitian menunjukkan bahwa pemimpin perempuan cenderung lebih memperhatikan isu-isu sosial seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. 

Dalam konteks Pilkada, kandidat perempuan ini juga sering kali dikaitkan dengan harapan masyarakat untuk menciptakan pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan warga.

3. Politik Identitas dan Populisme Gender

Namun, di balik optimisme ini, ada juga argumen kritis yang menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik bisa saja dimanfaatkan oleh partai politik sebagai strategi populisme gender. 

Politik identitas, dalam hal ini berbasis gender, dapat menjadi alat bagi partai untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok tertentu, termasuk pemilih perempuan, kaum muda, dan kelompok masyarakat yang peduli dengan isu kesetaraan gender.

Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah pencalonan perempuan ini murni didasarkan pada kapasitas dan komitmen mereka untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, atau apakah ini hanya strategi politik untuk mengakomodasi tren yang sedang berkembang? 

Beberapa pihak berpendapat bahwa partai politik mungkin melihat keuntungan elektoral dalam mencalonkan perempuan karena meningkatnya kesadaran publik akan pentingnya kesetaraan gender.

Namun, terlepas dari motif di balik pencalonan, keterlibatan perempuan dalam politik tetap memberikan kontribusi positif terhadap proses demokrasi. 

Perempuan yang berhasil menembus batas-batas politik yang biasanya didominasi oleh laki-laki berperan dalam mendorong perdebatan yang lebih inklusif dan diversifikasi perspektif dalam pengambilan kebijakan.

4. Peran Media dalam Pembentukan Persepsi

Media memainkan peran yang sangat penting dalam membingkai citra perempuan dalam politik. Sayangnya, dalam banyak kasus, media cenderung lebih menyoroti aspek gender ketimbang visi, misi, atau program kerja yang diusung oleh kandidat perempuan. Hal ini berpotensi mereduksi pencapaian mereka menjadi sekadar simbolisme gender.

Dalam pemberitaan tentang kandidat perempuan, sering kali media membahas bagaimana mereka "menyimbangkan peran" antara karier politik dan tanggung jawab domestik, yang secara tidak langsung memperkuat stereotip tradisional tentang peran perempuan. 

Sebaliknya, kandidat laki-laki biasanya lebih diberi ruang untuk membahas program kerja dan visi politik mereka tanpa terlalu dihubungkan dengan peran mereka di rumah tangga.

Tantangan bagi kandidat perempuan adalah bagaimana mereka dapat mengarahkan perhatian media dan publik pada kualitas kepemimpinan mereka, bukan semata-mata pada identitas gender mereka. 

Oleh karena itu, penting bagi media untuk mengubah cara mereka menyoroti kandidat perempuan, dengan lebih fokus pada kompetensi dan visi mereka daripada gender.

5. Feminisme dan Realitas Politik

Jika dilihat dari perspektif feminisme, fenomena ini mencerminkan langkah maju dalam perjuangan untuk kesetaraan gender di Indonesia. 

Namun, feminisme juga menuntut evaluasi yang lebih mendalam terhadap konteks sosial, budaya, dan politik di balik keterlibatan perempuan dalam Pilkada. 

Keterlibatan perempuan dalam politik tidak hanya dilihat sebagai pencapaian simbolis, tetapi juga harus diiringi dengan upaya nyata untuk memperjuangkan isu-isu yang relevan bagi masyarakat luas, seperti kesetaraan hak, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial.

Feminisme tidak hanya menuntut perempuan untuk mendapatkan posisi kekuasaan, tetapi juga memastikan bahwa perempuan yang berada dalam posisi tersebut dapat mempengaruhi kebijakan secara positif dan berkelanjutan. 

Selain itu, feminisme juga mendorong adanya perubahan struktural yang lebih luas dalam sistem politik dan masyarakat, agar lebih mendukung partisipasi perempuan dalam politik.

Penutup

Keterlibatan tiga "Srikandi" dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur dapat dilihat sebagai fenomena yang merefleksikan kemajuan sosial dan politik perempuan di Indonesia. 

Ini adalah langkah maju yang signifikan dalam perjuangan feminisme, terutama dalam hal keterwakilan perempuan di posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. 

Namun, kita juga perlu tetap kritis dalam menilai konteks dan motif di balik keterlibatan perempuan dalam politik, serta memastikan bahwa keterlibatan mereka tidak hanya menjadi simbolisme belaka, tetapi juga mampu membawa perubahan substantif yang nyata bagi masyarakat.

Dalam analisis terakhir, fenomena ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender dalam politik semakin diakui, meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi. 

Feminisme harus terus memperjuangkan keterlibatan perempuan yang lebih luas dalam politik dan pengambilan keputusan, serta memastikan bahwa partisipasi tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan yang berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun