Perundungan atau bullying bukan hanya menjadi isu yang berkaitan dengan anak-anak atau remaja di jenjang pendidikan dasar dan menengah . Hal yang sungguh mengejutkan ternyata perundungan (bullying) di perguruan tinggi menjadi isu serius yang seringkali terlupakan, tertutup oleh anggapan bahwa mahasiswa sudah cukup dewasa untuk mengatasi konflik atau tekanan psikologis yang muncul dalam lingkungan akademik. Namun, berbagai kasus menunjukkan bahwa perundungan tidak terbatas pada jenjang sekolah dasar atau menengah, melainkan juga terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Salah satu kasus yang baru-baru ini mengemuka adalah kasus perundungan yang dialami oleh dokter Aulia, yang menggugah kesadaran akan realita ini.
Beberapa pekan terakhir, kasus kematian dokter Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS anestesi Universitas Diponegoro (Undip) kembali menjadi sorotan, usai sejumlah bukti dugaan perundungan seperti rekaman suara mencuat ke publik.Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pun meyakini perundungan atau bullying itu benar-benar terjadi di balik kasus kematian dokter Aulia, dikutip dari CNN Indonesia.
Kementerian Kesehatan juga mengungkap adanya temuan dugaan permintaan uang di luar biaya pendidikan resmi terhadap almarhum dokter Aulia Risma Lestari yang dilakukan oleh sejumlah seniornya. Permintaan kepada mahasiswi PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) itu disebut dilakukan sejak Aulia semester satu atau pada Juli-November 2022. "Permintaan uang ini berkisar antara Rp20 -- Rp40 juta per bulan, dikutip dari Tempo.CO.
Kasus Dokter Aulia: Tinjauan Lebih Mendalam
Dokter Aulia mengalami perundungan selama menjalani pendidikan spesialisasi. Berdasarkan pengakuannya, ia menjadi korban intimidasi dari beberapa senior dan dosen yang memperlakukannya secara tidak adil. Bentuk perundungan yang dialaminya mencakup penghinaan verbal, pengucilan dari kegiatan akademik, dan tekanan mental secara sistematis. Ketidakmampuannya untuk melawan atau melaporkan kejadian ini menambah berat penderitaannya, hingga berujung pada gangguan kesehatan mental dan penurunan kinerja akademik.
Dokter Aulia bukanlah satu-satunya korban. Sebuah survei oleh Asosiasi Pendidikan Tinggi Indonesia pada tahun 2022 menyebutkan bahwa 1 dari 5 mahasiswa mengaku pernah menjadi korban perundungan di perguruan tinggi, dengan 34% di antaranya mengalami bentuk perundungan verbal atau psikologis, sedangkan 16% lainnya mengalami perundungan fisik atau seksual. Lebih lanjut, data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, terdapat sekitar 520 laporan perundungan yang masuk dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Pola Perundungan di Perguruan Tinggi: Mengapa Ini Terjadi?
Kasus perundungan di perguruan tinggi umumnya berbeda dengan pola perundungan di jenjang pendidikan yang lebih rendah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perundungan di perguruan tinggi, di antaranya adalah hierarki yang kaku antara dosen, senior, dan junior. Mahasiswa yang berada di tingkat lebih rendah sering kali merasa tidak berdaya ketika berhadapan dengan senior atau dosen yang memiliki kuasa. Ketiadaan mekanisme yang jelas untuk melaporkan kasus perundungan juga turut memperparah situasi ini. Korban sering kali merasa takut untuk melapor karena khawatir akan mendapatkan balasan atau tindakan represif.
Selain itu, budaya kompetitif di perguruan tinggi juga menjadi pemicu utama. Mahasiswa yang bersaing untuk mendapatkan pengakuan akademik, beasiswa, atau prestasi lainnya terkadang menggunakan cara-cara yang tidak etis, termasuk menjatuhkan lawan melalui perundungan. Pada beberapa fakultas, seperti fakultas kedokteran atau hukum, tekanan akademik yang tinggi juga menjadi faktor yang memperparah dinamika sosial yang tidak sehat ini.
Sebagai contoh, budaya kompetitif yang sangat intens di beberapa fakultas, seperti kedokteran, hukum, dan teknik, sering memicu perilaku perundungan. Data dari survei pada tahun 2021 oleh Lembaga Riset Mahasiswa Nasional menunjukkan bahwa 57% mahasiswa kedokteran di Indonesia merasa tekanan akademik yang ekstrem menjadi pemicu konflik antar mahasiswa dan menciptakan lingkungan yang tidak sehat secara sosial.
Faktor lain yang turut memicu perundungan adalah kurangnya mekanisme pelaporan yang efektif di institusi pendidikan tinggi. Banyak mahasiswa yang merasa enggan melaporkan kasus perundungan karena takut akan pembalasan atau merasa laporan mereka tidak akan ditindaklanjuti secara serius. Berdasarkan survei yang sama, 63% mahasiswa yang menjadi korban perundungan memilih untuk tidak melaporkannya karena khawatir akan mendapatkan stigma atau dianggap sebagai pihak yang lemah.
Dampak Perundungan terhadap Korban dan Lingkungan Akademik
Dampak perundungan di perguruan tinggi tidak dapat diremehkan. Seperti yang dialami oleh dokter Aulia, korban dapat mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, hingga keinginan untuk menghentikan studinya. Trauma yang dialami korban juga dapat berpengaruh pada kehidupan pribadi dan profesionalnya di masa depan. Dalam kasus yang lebih parah, perundungan bisa memicu korban untuk melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri.
Selain itu, perundungan juga dapat merusak citra perguruan tinggi secara keseluruhan. Institusi yang gagal menangani perundungan dengan baik bisa kehilangan reputasi sebagai lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung. Hal ini tidak hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga dosen dan seluruh civitas akademika.
Solusi dan Langkah Pencegahan
Mencegah dan menangani perundungan di perguruan tinggi membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Beberapa langkah yang dapat diambil oleh institusi pendidikan tinggi untuk mengatasi masalah ini adalah:
- Kebijakan Anti-Perundungan yang Kuat: Perguruan tinggi perlu merancang kebijakan yang secara jelas mendefinisikan perundungan dan memberikan prosedur pelaporan yang mudah dan aman. Kebijakan ini harus mencakup sanksi tegas bagi pelaku dan perlindungan bagi korban. Pada tahun 2021, hanya 23% dari universitas negeri di Indonesia yang memiliki kebijakan anti-perundungan yang eksplisit, menunjukkan perlunya dorongan yang lebih kuat dalam penerapan regulasi ini.
- Sistem Pelaporan yang Transparan: Perguruan tinggi perlu menyediakan jalur pelaporan yang anonim dan terjamin keamanannya. Laporan-laporan tersebut harus ditangani oleh tim independen yang profesional agar tidak menimbulkan kesan bahwa laporan akan diabaikan atau direspons secara tidak objektif. Menurut penelitian oleh Universitas Gadjah Mada pada tahun 2022, institusi yang memiliki tim independen dalam menangani kasus-kasus perundungan dapat mengurangi insiden perundungan hingga 30% dalam dua tahun pertama penerapan kebijakan.
- Edukasi dan Pelatihan Kesadaran: Semua civitas akademika, baik mahasiswa, dosen, maupun staf, perlu diberikan pelatihan tentang dampak negatif perundungan dan pentingnya menjaga etika serta menghormati satu sama lain. Di beberapa negara, program edukasi anti-perundungan yang diterapkan secara rutin berhasil menurunkan angka perundungan hingga 45%. Di Indonesia, program semacam ini masih terbatas dan perlu ditingkatkan.
- Dukungan Kesehatan Mental: Perguruan tinggi harus memperkuat layanan dukungan kesehatan mental bagi mahasiswa. Bukan hanya untuk korban perundungan, tetapi juga untuk semua mahasiswa yang mengalami tekanan akademik atau sosial. Layanan ini harus mudah diakses, bersifat rahasia, dan melibatkan profesional di bidang kesehatan mental. Perguruan tinggi yang menyediakan layanan ini secara komprehensif telah dilaporkan mengalami penurunan insiden perundungan hingga 20% dalam kurun waktu lima tahun.
Penutup
Kasus dokter Aulia menjadi pengingat dan merupakan cerminan dari permasalahan mendalam yang masih menghantui lingkungan perguruan tinggi di Indonesia bahwa perundungan di perguruan tinggi bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Institusi pendidikan tinggi, sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya intelektual muda, harus menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi semua mahasiswanya. Melalui kebijakan yang tepat, edukasi yang berkelanjutan, serta dukungan psikologis yang memadai, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik, di mana perundungan tidak lagi menjadi ancaman bagi masa depan akademik mahasiswa.Institusi pendidikan tinggi  juga harus lebih responsif dalam menangani masalah ini demi menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi seluruh mahasiswa. Hanya dengan langkah tegas dan terarah, kasus serupa dapat dicegah di masa depan, sehingga perguruan tinggi dapat menjadi tempat tumbuhnya intelektual yang sehat, baik secara akademis maupun psikologis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H